Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Mungkin ini surat terakhir yang kukirim padamu. Setelah sebelumnya aku rutin mengirimimu surat dan cerita-cerita pendek yang kubuat sebagai naskah untuk di terbitkan tahun depan. Dan di surat ini aku sangat punya alasan untuk mengatakan kalau ini yang terakhir. Pertama, karena aku sudah menuliskan semua rahasia diriku yang tidak di ketahui oleh orang lain padamu. Sudah kutiliskan dalam setiap ceritaku. Kedua, mungkin dirimu sudah muak dan bosan membaca ceritaku yang absurd, tak ada kata lirih nan romantis – semua dipenuh dengan persoalan politis, caci maki kepada rezim dan selalu menyisahkan pertanyaan pada setiap akhirnya. Ketiga, dan ini yang paling krusial yang mungkin dirimu sangat terganggu – karena selalu menjadi pertanyaannmu padaku – bahwa di dalam setiap ceritaku selalu saja ada eksploitasi gender di dalamnya. Tapi baiklah, nanti aku akan jelaskan apa yang dimaksud eksploitasi tersebut, dan apakah benar sebegitu jahatnya aku sehingga memandang satu kaum hanya dengan sebelah mata saja.
Sebelum aku menjelaskan dari ketiga alasan tadi, terlebih dahulu aku ingin menceritakan sebuah kisah yang di tulis Eric Arthur Blair atau yang dikenal sebagai George Orwell – Sastrawan Inggris – yang bukunya sangat terkenal dengan judul Animal Farm. Orwell lahir pada awal tahun 1900-an. Ia sebenarnya lahir di India. Bapaknya keturunan Prancis dan ibunya di besarkan di Burma. Sekitar umur satu tahun ia di bawa oleh keluarganya ke Inggris. Orwell lahir dari keluarga yang miskin. Bahkan untuk biaya sekolah saja keluarganya sangat kesusahan.
Orwell adalah orang yang sangat menentang praktik totalitarian. Hal ini dikarenakan ia sangat mendukung sosialisme demokratis. Buruknya kehidupan buruh, kemiskinan dan penderitaan adalah tema-tema yang diangkatnya jadi tulisan. Dan beberapa karya sastra yang di tulisnya memang bersentuhan dengan pengalamannya. Baik sebagai pekerja, buruh, sakit yang hampir mati dan lain-lain. Orwell bahkan juga melukiskan ceritanya dalam bentuk alegori – seperti dongeng – bercerita dengan tokoh hewan. Tapi sangat jelas bahwa apa yang di ceritakannya adalah kritik sosial dan politik yang sedang berkembang, yang menurutnya sangat eksploitatif. Bahwa manusia itu serakah dalam banyak hal. Sehingga mereka menjadi penghisap yang teramat sangat ganas dan buas. Dan inilah yang dimaksud sebagai kapitalisme. Penghisapan manusia atas manusia lainnya. “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa berlari cepat untuk menangkap Terwelu. Namun ia adalah penguasa atas semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan”. Begitu salah satu satire yang menjadi kritik dalam Animal Farm.
Di dalam Animal Farm, Orwell berusaha membuka tabir atau sisi kehidupan manusia yang menurutnya tidak produktif tapi ingin menguasai keseluruhan. Hal ini ia ceritakan dengan menokohkan hewan seperti kuda, babi, anjing, bebek, angsa dan lain-lain. Hal itu banyak dibuatnya dalam percakapan antar hewan dan kemudian rencana revolusi yang akan dilakukan para hewan untuk melawan dominasi manusia. Jelas di sini Orwell ingin menempatkan pemahaman bahwa eksploitasi itu akan berujung pada buruknya suatu sistem. Hanya saja mungkin belum ada yang bersuara lantang. Eksploitasi itu menurut Orwell sama sekali tidakkan melahirkan tatanan yang egaliter. Yang ada adalah pemaksaan kehendak satu dengan lainnya. Terjadi kekacauan, perang dan sebagainya tak lain adalah cara manusia mengekploitasi manusia lainnya. Mereka ingin menguasai produksi dan distribusi dengan sangat liar. Dan kesemuanya adalah demi keuntungan yang semakin berlipat dan berlipat ganda. Dan ketika yang diperas itu sudah tidak bisa berproduksi lagi, maka jalan terakhir adalah meninggalkannya, bahkan sengaja menghabisinya.
“Sekarang, Kamerad, apa sih, sifat kehidupan kita? Mari kita hadapi; hidup kita ini sengsara, penuh kerja keras dan pendek. Kita lahir, diberi begitu banyak makanan sehingga menjaga nafas dalam tubuh kita, dan diantara kita yang mampu dipaksa kerja dengan seluruh kekuatan kita sampai atom terakhir kekuatan kita; dan segera setelah kegunaan kita berakhir, kita di sembelih dengan cara yang keji. Tak seekor binatang pun di Inggris tahu arti hidup bahagia atau waktu senggang sesudah ia berusia satu tahun. Tak ada satu ekor binatang pun di Inggris ini yang bebas. Hidup seekor binatang super sengsara dan penuh perbudakan; ini adalah kenyataan yang sebenar-benarnya”.
Nah bukankah kehidupan binatang itu hampir sama dengan yang dijalani manusia. Perbudakan dan penghisapan antar manusia juga terjadi hampir sama dengan yang terjadi dengan para binatang tersebut. Bahkan manusia dan bintang dikatakannya tak ada bedanya. Hanya saja Orwell seolah-olah ingin menggambarkan pemberontakan binatang kepada manusia di dalam novelnya. Tapi sesungguhnya yang ia maksudkan ialah pemberontakan manusia kepada manusia. Dan itu penting. Dan itu perlu dilakukan supaya manusia berkehidupan yang baik. Tanpa itu, selamanya akan selalu di tindas.
***
Kira-kira begitu yang ingin disampaikan Orwell. Memang tidak sekeras para penulis yang lain yang meledak-ledak tulisannya dalam menganjurkan perlawanan. Orwell membalut ceritanya dengan sastra. Tapi bukan berarti sastra tidak bisa dijadikan alat untuk melawan penindasan, penghisapan atau eksploitasi yang dilakukan antar manusia. Dan di Indonesia sendiri sebenarnya banyak yang melakukannya. Yang paling terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer. Ada juga Ahmad Tohari. Mereka dalam novelnya mengangkat kehidupan yang teramat sangat penuh dengan penderitaan. Pram, menceritakan dengan apik bagaimana ia menjadi tahanan politik di pulau Buru karena di tuduh komunis. Ia lalu memuat ceritanya ke dalam novel yang sangat panjang, Tetralogi Pulau Buru. Begitupun Ahmad Tohari. Dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, ia bercerita banyak tentang tindakan pemerintah yang membabat habis para simpatisan bahkan yang tidak ada hubungan apa-apa dengan partai komunis indonesia. Akan tetapi ia tidak menjadi pesakitan seperti Pram. Hidupnya sedikit beruntung karena Ronggeng Dukuh Paruk tidak sekeras Pulau Buru-nya Pram dalam mengkritik pemerintah.
Lalu apa yang hendak aku sampaikan padamu dengan menceritakan hal ini tadi? Apakah mungkin mengubah narasi bahwa langit itu sesungguhnya setengah kelabu. Bukan biru. Seperti yang dikatakan Albert Camus – seorang eksistensialis peraih nobel sastra – dari Prancis keturunan Aljazair itu. Dan yang mengatakan bahwa langit itu biru padahal setengah kelabu maka ia telah melacurkan diri pada kenyataan dan sedang mempersiapkan untuk berlaku tiran.
Sebenarnya aku tidak sedang ingin melakukan pembelaan dari apa yang pernah dirimu pertanyakan padaku. Apalagi sampai membuatmu bingung dengan kata-kata yang berpedar di titik itu-itu saja. Justru aku sangat yakin bahwa dirimu memahami apa-apa yang telah aku sampaikan dalam banyak cerita sebelumnya. Sehingga soal tiga alasan – yang kukatakan akan aku jelaskan – bahwa mengapa ini akan menjadi surat terakhir yang kukirim padamu. Karena memang bagiku sudah selayaknya aku mengakhiri semua yang penuh maksud ini yang sering ku alamatkan ke dirimu. Disamping kau juga bingung apa lagi yang hendak aku lakukan, hendak kukatakan, ketika semuanya sudah ku tumpahkan pada cerita-cerita sebelumnya. Tentang perasaan, tentang kegelisahan, tentang rindu, bahkan tentang cinta. Dan aku tahu dirimu sebenarnya paham. Hanya saja juga ada alasan mengapa itu seperti menjadi catatan kosong saja.
Awalnya, pada cerita tentang merpati – kalau engkau mau tahu – bahwa aku banyak menaruh harapan. Kutahu bahwa cahaya yang kecil itu akan selalu lebih bermanfaat daripada aku harus mengutuk semua kegelapan yang ada. Dan cahaya itu tampak belum punah. Masih kelihatan meski samar. Cahaya itulah yang memberiku sugesti pada pengharapan yang belum berakhir. Kita seperti dua nyala lilin yang menyatu – kata Layla kepada si gila – dalam novel Syaikh Nizami ‘Layla Majnun ‘ yang legendaris itu. Dan cahaya itu adalah dirimu. Lilin yang kembali menemukan apinya setelah lama berkelana.
Dan tak kurang satu apapun pengharapan yang kutinggalkan dalam cerita itu sebagai jejak yang butuh untuk di temukan, bukan sekedar bertemu secara tiba-tiba. Jejak yang selama ini menderas perasaan yang kaku dan monoton. Bahwa jejak itu bukan sekedar imaji, bukan pula suatu ilusi. Tapi kenyataan yang seutuhnya dari sebuah kehidupan yang dianugerahi emosi dan rasa.
Pun sama dengan cerita berikutnya tentang Lelaki. Aku pun juga tlah meninggalkan harapan di dalamnya yang menggebu-gebu. Seperti pelari, ini bukan sprint yang bertaruh di lintasan yang pendek. Tapi inilah maraton jauh yang untuk mencapai garis akhirnya aku harus mempunyai nafas yang panjang dan penuh kesabaran. Kutahu itu berat. Dan aku tetap lakukan. Pernah terasa untuk mundur saja dan menjauh dari lintasan. Bahkan dari semuanya. Tapi bayang-bayang itu selalu menyeruak dan memenuhi seluruh isi benak ini. Dan karena itu, ada tuntutan yang harus aku selesaikan sebelum semuanya berakhir; terus merawat harapan itu sampai memang ada batas yang ditentukan. Dan ku yakin engkau pun tahu itu. Hanya saja mungkin hal tersebut belum dapat ditempatkan karena masih belum ada ruang untuk meletakkannya. Atau bisa saja memang sudah tak ada ruangnya lagi. Sehingga aku terus menjadi pelari yang tidak pernah menemukan batas akhir kalau tidak mengakhirinya sendiri.
Karena itu kukatakan padamu, mungkin inilah yang terkahir. Karena dari semua itu sudah ku putuskan bahwa aku memilih untuk berhenti berlari. Bahkan berhenti dari segala kejuaraan ini dan memilih untuk mundur dan mengasingkan diri saja. Mungkin dengan mengasingkan diri aku bisa mengobati seluruh memar pada hati ini yang terlalu keras di pompa saat mengejar sesuatu yang tak pasti. Tepatnya, sesuatu yang tak mungkin aku menangkan. Sesuatu yang mustahil untuk aku dapatkan. Aku tidak sadar bahwa aku sendiri telah melupakan sesuatu yang teramat penting. Walaupun tadinya hal itu terlihat sepele. Kekeliruan, itulah yang membuatku jadi buta dan hilang kendali. Aku selalu berhitung dengan cermat pada setiap lintasan harapan yang kutuju. Tapi aku sendiri lupa memperhitungkan bahwa lintasan ini tidak untuk diriku. Tapi justru untuk orang lain yang lebih sesuai dengan dirimu. Bahwa berhitung itu baik tapi memperhitungkan yang terjadi hari ini itu jauh lebih baik lagi. Aku kalah. Makanya kuputuskan untuk mundur secara teratur.
Lalu, kukatakan surat ini adalah yang terakhir, hal itu kumaksudkan agar dirimu tak perlu lagi menjadi beban untuk membaca dan memahami apa yang aku tulis dan ceritakan. Barangkali ada hal lain yang lebih produktif yang bisa dilakukan daripada hanya membaca coretan yang jauh dari sifat yang mencerahkan. Isinya kok mencaci maki rezim melulu. Setiap kebijakan selalu saja di kritik. Apa tidak ada yang benar dari semua kebijakan yang dibuat pemerintah? Sehingga hampir dalam setiap cerita selalu saja bernada sama, yaitu selalu sanksi dengan apapun. Padahal cerita dari banyak sastrawan lainnya begitu lirih, menyayat hati dan bahkan mampu mengaduk perasaan dengan kisah dan pilihan kata – diksi – yang lebih mengena.
Maka dari itu, perlu ku jelaskan padamu bahwa aku bukanlah seorang sastrawan yang seperti kebanyakan orang. Mereka – sastrawan tersebut – mungkin saja bersekolah tinggi. Ilmu sastranya ditimba dari banyak guru sastra yang sudah terkenal. Sehingga hasil kerja mereka atau karya sastra yang dihasilkannya begitu puitis dan menyentuh hati banyak orang. Berbeda dengan diriku. Aku di tempah oleh pengalaman. Lebih tepatnya perjalanan hidup yang pahit meskipun rezim selalu berganti. Makanya setiap cerita yang kubuat adalah cerminan dari hidup yang sesungguhnya ku jalani. Dan itu memang begitu pahit. Aku mengatakan aparat itu keparat karena memang ada oknum yang berlaku demikian. Aku mengatakan bahwa pemerintah tolol karena memang elit kekuasaan dipilih berdasarkan ketololan demokrasi yang didasarkan dari besaran modal yang dipunyanya, terlepas dari intelektual dan tidaknya. Dan karena itu setiap ceritaku jarang menjadi konsumsi publik secara luas. Pembacanya hanya kalangan tertentu. So, siapa yang mau beli juga karya sastra yang mungkin tidak sastrawi ini. Paling-paling hanya kawan-kawan aktivis yang bersedia dan menyempatkan untuk membacanya. Solidaritas, katanya. Itu pun tak semuanya punya hobi membaca. Dan dirimu yang selalu kukirimi naskah awalnya sebagai pengecualian. Hanya itu saja. Dan kini, ku putuskan bahwa aku akan berhenti mengirimimu cerita – anggaplah ini yang terakhir kalinya juga bersamaan dengan surat terkahir ini – mulai sekarang sampai berikutnya. Aku paham bahwa dirimu mungkin muak membaca cerita yang hanya itu-itu saja. Yang terlihat sok gagah, sok mengerti semua persoalan sosial politik bangsa ini. Tapi yang perlu engkau tahu bahwa hal tersebut bukanlah sok gagah atau sok tahu segalanya persoalan sosial politik hari ini. Tapi itu memang sesungguhnya dari apa yang aku jalani, aku alami dan yang aku rasakan. Makanya kerap tak ada beda antara apa yang sering aku katakan dengan apa sering aku tuliskan dalam banyak cerita. Paling untuk memperkaya pengalaman, aku menambahkan sedikit bumbu dan maksud lainnya seperti yang aku ceritakan tadi.
Dan tentang eksploitasi gender, ku katakan padamu bahwa tidak ada niatan begitu dari apa yang aku ceritakan dalam karyaku. Justru aku ingin mengangkat sisi kelam kehidupan para perempuan yang sudah terbiasa terkekang dalam banyak hal. Dengan harapan hal itu akan membuka mata dan wawasan mereka untuk melihat persoalan yang sesungguhnya – terutama tentang perempuan – agar tidak parsial. Baik bagi laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Seperti yang kusampaikan dalam cerita Orwell tadi, eksploitasi itu lebih bersifat destruktif. Eksplotasi itu tidak membangun kesetaraan. Dan cenderung hanya untuk memanfaatkan kelompok lainnya demi keuntungan pribadi dan golonga. Cerita tentang pelacur, misalnya, bagiku bukan ingin mengatakan betapa rendahnya pilihan dari seorang perempuan pada kehidupan sosialnya. Akan tetapi ada sistem yang sengaja menjadikan mereka seperti itu. Kemiskinan yang terstruktur, kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan ketidakmauan pemerintah menuntaskan persolan kemasyarakatan adalah tujuan yang ingin aku sampaikan. Tapi memang gaya bahasaku yang vulgar dan sedikit sarkas sehingga terkesan eksploitatif.
Dan kalau kita mau melihat lebih jauh persoalan perempuan yang ‘terpaksa’ melacurkan dirinya, hal itu tidak jauh dari sebab mereka tidak mampu mengakses pendidikan yang diatur sebagai hak dasar. Andaikan saja semua masyarakat mampu mengakses pendidikan yang lebih baik, maka tak ada orang yang bercita-cita menjadi pelacur atau lonte. Tapi karena miskin, maka akses pendidikan jadi tersendat. Dan itu tak pernah di tuntaskan pemerintah untuk mengatasinya. Bahwa semua penderitaan itu perlu di rawat agar banyak dana penanggulangan yang di kucurkan. Kucuran dana untuk membantu mereka yang menderita inilah yang dimanfaatkan para elit untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Merekalah penghisap dari sesama manusia yang begitu nyata. Dan bukanah hal itu sama seperti ceritanya Orwell, kan?
Tentang kehidupan mahasiswi yang melacurkan dirinya atas nama cinta pada sang kekasih, hal itu juga tidak bertujuan untuk merendahkan derajat perempuan. Tak juga menjadi anjuran. Akan tetapi itu menjadi kritik autokritik bagi semua pihak. Dan hal itu kan memang terjadi. Ada banyak buktinya. Jadi jelas itu bukan suatu cerita yang bohong. Tapi bahwa perlu ada transformasi pikiran yang lebih maju, itu menjadi wajib agar kaum perempuan tidak merasa rendah dan selalu di rendahkan. Sigmund Freud – sang pakar psikoanalisis – itu mengatakan bahwa terjadinya penyerahan tubuh perempuan pada pasangannya adalah justru bentuk merendahkan derajat kaum perempuan itu sendiri. Dan laki-laki sangat paham bahwa agar kehendaknya bisa dipaksakan dan dituruti, ialah dengan mencari perempuan yang derajatnya bisa di rendahkan pula. Karena bila derajat perempuan lebih tinggi darinya, maka takkan mungkin lelaki tersebut mampu memaksakan kehendaknya. Contohnya kepada atasan kerja. Misalkan atasan tempatnya bekerja adalah seorang perempuan, maka lelaki yang bekerja sebagai bawahan tak mungkin memaksakan kehendak seksualnya dengan atasan tersebut. Karena ia paham bahwa derajat atasan ini lebih tinggi dari derajatnya. Begono. Hehehe…
Jadi seperti itu yang aku maksudkan dalam banyak ceritaku. Tentang mengapa aku mengangkat tema dan topik perempuan, semata-mata hanya untuk membangun wawasan dan cara berpikir yang lebih maju. Terutama pemahaman bahwa setiap kehidupan ini semuanya haruslah egaliter. Setara. Laki-laki dan perempuan itu sama derajatnya. Sehingga perempuan mampu mengeliminir setiap klaim yang seolah merendahkan perempuan. Seperti dikatakan bahwa ada tiga hal yang merusak di dunia ini yaitu harta, tahta dan wanita. Hal itu jelas terlihat merendahkan kaum perempuan, seolah perempuan membawa najis pada dirinya. Seharusnya dengan banyak pemahaman yang kubangun dalam cerita itu, perempuan bisa membantahnya dengan mengatakan bahwa yang merusak hidup di dunia ini adalah harta, tahta dan nafsu yang tidak terkontrol alias liar. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua orang, baik laki-laki ataupun perempuan, bisa menjadi yang dipersalahkan karena nafsunya. Bukan perempuan semata. Dan itu juga yang hendak kusampaikan ke dirimu dalam surat yang terakhir ini. Semoga nanti dirimu setelah lulus strata dua di kampus ternama tersebut bisa memberi perubahan pada pola pikir masyarakat, terutama kaum perempuan.
Kira-kira seperti itu yang bisa aku tuliskan dalam surat terakhir ini. Soalnya suara adzan subuh sudah memanggil. Dan mataku pun sudah lelah menghadapi layar komputer ini. Surat terakhirku ini sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaanmu pada banyak ceritaku yang sebelumnya. Serta surat ini menjadi kenangan yang suatu saat mungkin bisa engkau buka kembali walau itu hanya sekedar untuk mengingatku. Karena setelah ini aku tidak tahu kemana nasib akan membawa diri ini. Jalan memang panjang dan luas. Dan aku – seperti yang dirimu tahu – tak pernah bisa berada di satu titik yang sama. Karena aku seorang pejalan jauh. Aku seorang petualang. Kehidupan adalah jalanku yang sesungguhnya. Terimakasih atas segalanya selama ini. Dan semoga kita tetap terikat dalam silaturahmi yang tak berujung. Terimakasih. []