Oleh Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
Ruangan yang ada di lantai tiga itu terlihat sepi. Papan whiteboard yang diatasnya tertulis ‘Jadwal Sosialisasi’ tidak terlihat ada agenda apapun. Garis kotak-kotak yang bertanggal – yang seharusnya berisi jadwal rapat dan pendampingan – kini bersih. Hanya ada tulisan nama-nama – Azka, Arif, Melki, Aan, Niko, Dian, Eni, Nunung, Onik, Refa, Tiara, Winda, Sinta dan Ipung – yang ada di sampingnya, yang menandakan bahwa disini pernah ada program. Dan sebuah tulisan usang dari spidol bertinta merah di bawahnya; selamat menganggur.
Saat masuk ruangan itu, sebuah almari besar akan langsung kita hadapi. Di dalamnya bertumpuk berkas-berkas dari program yang dijalankan. Di sebelahnya ada tiga lemari besi yang diatasnya ada sebuah mesin Tik tua yang bertuliskan Pemilu 1999. Dan di sekeliling ruangan ada beberapa meja dan kursi yang juga belum ada yang menggunakan. Artinya tampak belum ada orang yang datang, entah sudah berapa hari. Ruangan itu sepi. Meskipun kantor itu juga tak terlalu ramai.
Aku datang ke kantor ini sudah agak siang. Selepas sholat dzuhur. Dan seperti biasanya, sebelum naik ke ruangan yang terletak dilantai tiga tersebut, aku singgah dulu ke kantin yang berada di pojokan dalam dan belakang. Aku biasanya memesan segelas teh hangat sambil melihat-lihat apakah ada lauk yang di masak hari itu. Kalau lauknya cocok, aku langsung saja makan siang. Tapi kalau kurang cocok, biasanya hanya pesan minum. Dan karena aku biasanya masuk melalui pintu belakang, jadi bertemu dengan para pegawai atau pekerja yang ada di kantor tersebut agak jarang. Bertemunya paling di kantin, atau saat di lantai dua sebelum naik lagi ke lantai tiga. Hanya beberapa petugas kebersihan yang kadang sering ketemu, dan sesekali pegawai yang sengaja ngaso – sekedar melepas kantuk. Tapi hari ini hanya ada petugas kebersihan saja. Tak tampak pegawai lainnya yang ada. Mungkin saja mereka sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sesuai bidang. Atau mungkin saja mereka sedang bekerja dari rumah.
Sejak pandemi Covid-19 atau Corona melanda dari awal bulan Maret silam, memang ada perubahan jadwal kerja di kantor ini. Sebagian masuk dan bekerja dari kantor, dan sebagian lagi bekerja dari rumah. Semua pegawai di rolling seperti itu. Dan begitu protokol yang diterapkan untuk mengantisipasi penyebaran wabah. Selain petugas kebersihan yang harus masuk tiap hari karena mereka berkewajiban untuk membersihakan segala ruangan yang ada dan kemudian membereskannya lagi agar bisa di pakai besok harinya.
Timbulnya pandemi Covid-19 ini memang memaksa banyak hal berubah. Selain bahwa ini juga ancaman nyata di masyarakat. Karena hal itulah sebagian program yang ada dan masih berjalan, menjadi berkurang intensitasnya. Tapi ada juga program yang memang di berhentikan sementara sampai batas waktu yang belum ditentukan mengikuti perkembangan penanganan Covid-19. Salah satunya ialah yang aku dan rekan-rekan tadi kerjakan. Dan hal ini sudah bisa di tebak dari awal bahwa program yang kami kerjakan ini sudah pasti akan berhenti sementara. Karena kerja kami terhubung langsung ke masyarakat, datang ke desa, berkoordinasi dengan kepala-kepala dukuh, rapat di padukuhan, dan sebagainya. Dan penyebaran Covid-19 terbesar – berdasarkan informasi pemerintah – yaitu karena interaksi langsung, bersentuhan dan sebagainya antar manusia. Karena itu – mau tak mau – akhirnya pilihan yang ada adalah off.
Dan lama setelah off – hampir enam sampai tujuh bulan – itu membuat keadaan banyak berubah. Aku yang masih sendiri saja pun babak belur di hajar pengangguran. Apalagi rekan-rekan yang lain, yang sudah berkeluarga, yang baru saja menikah dan atau yang sudah punya momongan. Semua merasakan bagaimana kemiskinan begitu keras mendera. Mau bekerja dari rumah seperti anjuran pemerintah tapi tak ada yang bisa di kerjakan. Bukan tak ada yang dikerjakan, akan tetapi kalau mengerjakan sesuatu yang tidak bernilai tukar dalam menutup kebutuhan ekonomi, maka itu juga hal yang sia-sia. Bantuan pemerintah-pun tidak dapat. Bahkan dari kantor sendiri. Alasannya skema pekerjaan yang kami lakukan tidak masuk skema penggajian seperti pegawai atau tenaga kontrak atau petugas kebersihan dan satpam yang outsourching. Sial. Sungguh sial sekali nasib pekerja yang tak tercatatkan sebagai apapun ini. Aku agak beruntung karena meskipun kerja di kantor berhenti, tapi masih ada kawan lainnya yang menawarkan pekerjaan seperti yang ku geluti selama ini di lembaga. Tapi tetap hal itu harus di kerjakan di lapangan. Tetap harus hadir ke tengah masyarakat meskipun banyak ancaman. Pilihannya hanya ada berkerja dan makan, atau tak bekerja dan tidak makan. Itu saja. Dan ancaman virus dan penyakit bukan lagi ancaman primer yang harus di takuti ketika ancaman perut sudah mulai terusik. Orang gemetar karena mabuk itu masih hal yang biasa. Tapi bila orang bergetar karena kelaparan, maka itu hal yang luar biasa. Itu tanda kerawanan akan banyak hal mungkin saja terjadi.
Grup whatapps yang biasa jadi tempat kami berbagi info dan bercanda juga turut sepi. Tapi sesekali kadang ada masuk pesan-pesan singkat dan kecil sebagai pelepas rindu. Walaupun pesan itu hanya seputaran say hallo dan bercandaan saja. Pertanyaan terkait aktivitas pun sering terlontar. Tapi lagi-lagi jawabannya sudah bisa di tebak; hancur bro. Banting setir adalah hal yang harus dilakukan. Sementara banting setir aja pemasukan sangat-sangat jauh sekali seret-nya. Arif berjualan madu, kacang, herbal dan lain-lain. Aan pulang ke kampungnya di Pati – Jawa Tengah – bertani garam. Eni, Refa, berjualan baju secara online. Ipung berdagang kelontong di rumah sambil masih menjadi makelar jual beli tanah dan rumah meskipun katanya semakin tidak terlihat hilalnya. Niko berbisnis burung aduan. Winda entah apa yang dilakukannya. Yang jelasnya ia punya kos-kos-an yang terus mendapat bayaran meskipun orangnya pada mudik. Dian memelihara ikan gurame di kolam sambil juga mengumpulkan rongsokan – barang bekas – yang bisa di jual kembali seperti kertas, botol, kardus dan lain-lain. Onik membantu orang tua nya berjualan makan dan bumbu masakan. Tiara bantu bapaknya berbisnis. Nunung sibuk ngurusin orang yang bermasalah hukum. Sinta menemani dan membantu Nunung. Azka, entahlah apa yang dilakukan. Kabarnya senyap. Dengar-dengar ia terkena masalah. Ia jadi korban. Tapi hal itu sudah di serahkan kepada tim penasehat hukumnya. Dan aku? Aku ya seperti ini-ini saja. Hehehe…. Membaca, menulis, maki-maki pemerintah, isolasi mandiri, dan lain-lain.
“Jangan jualan terus Rif”, ujarku bercanda membalas status WA-nya Arif, “nanti kamu cepat kaya lho. Trus kalo dah kaya ntar malah gak ingat aku lagi, gak mau kerja di kantor lagi, gak mau rapat di padukuhan dengan masyarakatnya lagi”.
“halah…taek bung. Taek semua ini. Pemerintah ya taek. Kabeh-kabeh taek semua. Bantuan ya gak dapat. Gaji ya gak ada. Kontrakan harus di bayar. Anak istri harus makan terus”
“ya iyalah, masa anak dan istri mau diberhentikan pula makannya. Bisa ditarik dealer nanti kalo mereka sampai tidak makan. Wes di keloni kok ora di kasih mangan yo keterlaluan. Tapi tetap asyik toh, meskipun pendapatan minim, tapi kelonan lancar jaya kan. Hehehe…”
“makanya nikah bung, biar bisa kelonan. Ngapain mempercepat habis handbody segala. Yang harusnya habis sebulan tapi dua minggu udah mau beli lagi”
“hahaha…asu asu. Emangnya nikah cukup dengan mokondo doang. Lagian gak pakai handbody Rif, tapi sabun. Murah meriah lah. Hehehe…”
Dengan Ipung pun aku kerap bertukar pesan. Maklum waktu untuk itu sangat berlebih-lebih. Kalau saja tidak ada panggilan alam – makan, tidur, ngising, dan sebagainya – mungkin bisa saja kami bercanda ber-jam-jam lamanya. Mas Ipung – begitu aku memanggilnya – memang orang yang terbilang asyik untuk di ajak bercanda. Tak jarang bercandaan itu pun menyerempet hal-hal yang berbau erotis. Mas Ipung juga sudah punya istri. Tapi belum punya anak. Masih proses. Doain ya bang, katanya. Amin. Moga saja di tengah situasi pandemi ini masih ada berkah yang diberikan Tuhan padanya. Apalagi hari-hari ini lebih banyak di rumah saja. Waktu yang baik dan banyak untuk melakukan berbagai hal. Siang ataupun malam.
“gimana kabarnya mas, dengar-dengar dah jadi pengusaha toko. Bisalah kalau begitu terima aku jadi pelayan atau apa kek di toko” aku mengirim pesan pada mas Ipung.
“Toko apa bang. Toko sembako kecil-kecilan iya. Hanya itu aja yang bisa dilakukan sekarang. Kalau untungnya ya tak terhitung. Maksudnya tidak ada yang bisa di hitung, bang. Hehehe”
“ah masa sih, bukannya toko semakin laris nih kalo lagi musim begini. Soalnya orang-orang pada takut ke pasar kan. Jualan kondom juga bagus prospeknya kayaknya mas. Soalnya orang-orang banyak membutuhkan itu hari ini. Kalau tidak benar, bisa berabeh. Bisa menghasilkan tanpa sengaja. wkwkwkw”.
“wah ada-ada aja, bang. Kalau menghasilkan ya syukur Alhamdulillah. Itu kalo aku ya. Kalau yang lainnya ya gak tahu”.
“tanah dan rumah yang mau di jual gimana, dah laku berapa banyak sekarang?”
“mana ada yang beli saat ini bang. Malahan yang tadinya orang sudah hampir sepakat, sudah lihat tanahnya, sudah mau men-DP, tapi tiba-tiba ada Covid-19 ini malah gak jadi beli. Rusak bang. Duit makin entek sekarang”.
Belum sempat balas, pesan berikutnya masuk.
“lha dirimu apa kabarnya, bang? Kok anteng-anteng aja. Kayaknya banyak proyek nih.”
“proyek apa, proyek bikin anak po? Hahhaha”
“hahaha…di nikahin dulu, bang, baru bikinnya. Sampeyan itu udah pas dan cocok. Calon sudah ada. Semok pula. Apalagi yang di tunggu. Mumpung hari ini, jadi tidak banyak pengeluaran”.
“emang kalo semok kenapa? Lebih asyik po kalo di genjot. Ini pasti dari pengalaman. Hehehe… sampeyan rutin ya mas selama libur ini? Awas, jangan keseringan, turun mesin nanti. Wkwkw…”
***
Jadi selama libur, yang bisa kami lakukan hanya bercanda-bercanda seperti ini saja. Kadang di grup. Kadang di jalur pribadi. Sesekali kadang juga bertanya kepastian kapan bisa kerja lagi. Dan jawaban dari kantor tak berubah. Sama hal nya ketika menanyakan apakah ada bantuan untuk kami yang jelas-jelas sangat terdampak ini. Jawabnya; sedang di usahakan. Ya mau bagaimana lagi. Jawaban itu setidaknya cukup enak di dengar daripada tidak sama sekali. Kalau yang dimaksud dengan buruh itu adalah orang yang terdaftar sebagai pekerja, kemudian dapat bantuan karena terdampak, dan biasanya di manufaktur dan semacamnya, maka kalau melihat perbandingannya dengan kami sendiri, bisa di tarik kesimpulan bahwa kami bukanlah pekerja. Karena kami tidak terdaftar dan tidak masuk skema yang mendapat bantuan dari yang terdampak. Dan ini yang benar-benar sial sekali. Teramat sangat sial – tepatnya.Tapi sebagai pengobat kesialan tersebut sekaligus pelipur lara, kami menanam paksa-kan klaim di dalam diri bahwa di luar sana masih banyak yang lebih susah lagi. Mungkin mereka tidak dapat apa-apa. Tidak pula ada tabungan sepeser pun. Dan parahnya kesulitan itu sudah dialami sedari bertahun-tahun lalu. Tapi mereka tidak selalu mengeluh. Hanya itu saja obat penenang yang bisa dilakukan. Walaupun membandingkan dengan nasib orang di luar itu hanya alasan saja. Nasib kami dan mereka tak lebih seperti dua sisi mata uang, yang kalau di belanjakan akan sama saja nilainya.
Kini – setelah enam bahkan tujuh bulan berlalu – kami di panggil lagi ke kantor. Ada angin segar bahwa program akan berjalan kembali. Hanya saja tidak seperti dahulu. Intensitasnya di kurangi. Artinya, pendapatannya pun auto berkurang juga. Tapi daripada tidak sama sekali, atau daripada kedalaman terus, maka ini adalah pilihan terbaik. Ruangan lantai tiga tersebut akan kembali menemukan gairahnya. Suara-suara itu akan nyaring kembali. Wajah-wajah itu? Ya wajah-wajah itu ternyata menyimpan kenangan dan kerinduan karena lama tak bersua. Aku pun begitu. Tak terhingga kebahagiaan yang tumbuh. Terutama untuk kembali lagi ke masyarakat, diskusi, rapat, saling sharing dan sebagainya. Sambil terus bertanya, sebenarnya ancaman yang paling nyata dan serius bagi kita itu apa?
Sekian.