Oleh: Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
“Kemajuan pekerja bukanlah hadiah dari pemilik modal akan tetapi hasil dari perjuangan para pekerja itu sendiri” – Karl Marx
“Kekuatan tidak berasal dari kemenanganmu, perjuanganmulah yang mengembangkan kekuatanmu. Ketika kamu melewati waktu-waktu sulit dan memilih untuk tidak menyerah, itulah arti dari kekuatan” – Mahatma Gandhi
Mungkin sudah bukan rahasia umum lagi bahwa buruh adalah salah satu dari kelas pekerja yang paling tertindas dan menderita hidupnya. Di tempat kerja seperti perusahan atau pabrik, intimidasi, eksploitasi dan harapan kadang hadir bersamaan dalam lintas kehidupan mereka. Hingga tak jarang kemudian ada yang bersekongkol dan rela menjilat tangan-tangan kuasa. Bahkan mengikuti kemauan yang berkuasa untuk menyingkirkan siapa saja yang menetang dengan segala cara. Dan ada juga sebagian orang lainnya yang berontak dan sadar bahwa ketertindasan ini harus dilawan dan pekerja harus di manusiakan. Tapi yang paling mendominasi adalah mereka yang tidak tahu harus berbuat apa, mereka yang gamang dan hidup dalam kecemasan yang tak berujung dalam setiap detik tarikan nafasnya. Pilihannya, tetap bekerja dengan segala ketertindasan atau diberhentikan dan tak ada pendapatan.
Union Leader, sebuah film drama dokumenter yang menceritakan bagaimana silang sengkarut persoalan buruh yang bekerja pada sebuah perusahan kimia, di Gujarat, India. Film yang diproduksi tahun 2017 ini mengambil plot dan setting yang memperlihatkan bahwa sudah bertahun-tahun para pekerja atau buruh diperas habis-habisan tenaganya bahkan kesehatan dan nyawanya jadi taruhan untuk mengejar keuntungan besar bagi pemilik dan elit pekerja perusahaan.
Diceritakan, di sebuah daerah di Gujarat, ada sebuah perusahaan kimia Appolo. Perusahaan ini memperkerjakan banyak orang. Dan perusahaan ini sudah beroperasi lama dan tidak pernah mendapat inspeksi dari pihak terkait. Setiap hari masin-mesin pabrik harus berproduksi. Tidak ada aturan keselamatan, tidak ada pemeriksaan kesehatan berkala untuk para pekerja, tidak ada asuransi jiwa dan tidak ada jaminan hidup yang layak bagi pekerja. Dan dengan situasi sosial yang miris dengan tingkat ekonomi masyarakat yang rendah sehingga praktik eksploitasi massal terhadap pekerja begitu memungkinkan. Dengan gaji yang kecil dan tidak ada aturan kesehatan dan keselamatan, pekerja tetap bekerja terus menerus. Meskipun pekerja sendiri sadar bahwa mereka di intai oleh penyakit ganas dan kematian yang bisa mengancam siapa dan kapan saja. Jay Gohil, sang pemeran utama, begitu ciamik dalam memainkan perannya. Mula-mula ia hadir sebagai buruh biasa, bekerja seperti biasanya. Akan tetapi ia mengetahui dampak yang terjadi para para buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Kemudian setelah seorang temannya, Manoj, yang vokal dalam memprotes kebijakan perusahan tersebut, yang mati dibunuh oleh orang suruhan pemilik perusahaan, dan ditambah dengan pekerja lain yang mengindap penyakit kanker ganas sebagai dampak, Jay miris melihat itu semua. Dengan dukungan sesama pekerja, ia kemudian dipercaya untuk memimpin serikat buruh menggantikan pemimpin serikat yang lama. Dan hal itu mendesak mengingat bahwa pemimpin serikat buruh yang lama bersekongkol dengan elit perusahan dan pemilik yang tidak pernah mempedulikan sama sekali para pekerja atau buruh. Bahkan berkali-kali protes yang diajukan tidak mendapat tanggapan apapun saking buruknya manajemen yang dijalankan pihak perusahaan.
Mendapat kepercayaan dari para buruh perusahan kimia tersebut, Jay terpilih sebagai pimpinan serikat buruh yang baru; Kamdar Union. Jay menjanjikan bahwa akan ada tuntutan yang berkaitan tentang kesehatan, keselamatan, jaminan dan asuransi untuk pekerja. Bahkan kenaikan gaji. Di awal peranannya ia meminta bantuan Satish Parmar, seorang petugas inspeksi perusahan-perusahaan. Petugas tersebut kemudian melakukan inspeksi dan hasilnya adalah perusahaan kimia tersebut sangat bermasalah. Satish Parmar kemudian memberikan waktu sebulan bagi perusahaan untuk melakukan perbaikan semua fasilitas perusahaan agar para pekerja bisa berkerja dengan baik, aman dan tidak terancam nyawanya. Hal ini sesuai dengan tuntutan dan perjuangan yang dilakukan oleh serikat buruh perusahaan.
Akan tetapi pemilik perusahan dan jajaran elitnya tidak tinggal diam. Yang seharusnya dilakukan menjadi menguap begitu saja seiring persekongkolan pihak perusahan yang menyuap petugas inspeksi tersebut. Perusahaan malah berbalik mengancam dengan mengatakan bahwa akan menutup perusahaan tersebut karena tidak sanggup untuk memenuhi perintah inspeksi yang dilakukan. Alasannya karena ketiadaan biaya. Makanya sesuai keputusan bahwa perusahaan tersebut harus di tutup. Dan konsekwensinya adalah pekerja berhenti. Hal inilah yang kemudian membuat para pekerja mulai resah. Kalau perusahaan tutup maka mereka pasti berhenti bekerja. Dan berhenti pula mendapat uang untuk menghidupi keluarga, istri dan anaknya. Beberapa berbalik tidak percaya lagi kepada serikat buruh yang dipimpin Jay. Bahkan untuk mendapatkan tanda tangan dari para pekerja atau ahli waris para pekerja saja ia begitu kesulitan. Jay coba mengkonsultasikan hal tersebut ke petugas inspeksi yang dulu diajaknya. Ia datang ke kantornya dengan membawa tanda-tangan dari para pekerja dan keluarganya. Akan tetapi petugas tersebut seakan enggan untuk mengungkit kembali kasus perusahaan kimia tersebut. Alasannya masih banyak kasus serupa lainnya yang masih menunggu untuk di selesaikan. Dan yang paling mencengangkan Jay, ketika ia menghadap dan bertemu sang pengacara, ia malah diminta untuk berkompromi dengan pihak perusahaan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Jay mulai sadar bahwa petugas tersebut sudah sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ia kecewa.
Jay kecewa dengan apa yang dialaminya. Awalnya ia begitu diharapkan, dipilih hampir oleh seluruh pekerja untuk memimpin serikat buruh di perusahaan tersebut. Ia berharap agar kejadian seperti ancaman penyakit atau bahkan kematian tidak terulang kembali di perusahaan. Tapi setelah ia memperjuangkan hal tersebut, ia berhadapan dengan tembok kokoh perusahaan yang mempertahankan status quo nya. Ia menjadi yang tertuduh terhadap rencana penutupan perusahaan tersebut. Ia menjadi tertuduh akan hilangnya pekerjaan para buruh tersebut. Makanya kepercayan terhadapnya pudar. Berbalik kemarahan yang dialamatkan padanya. Bahkan sedari awal terpilih sebagai pemimpin, ia sempat cekcok dengan istrinya yang mengatakan bahwa ia membawa masalah dengan menjadi pimpinan serikat buruh. Sementara ia sendiri sudah merasakan dampak penyakit yang ditimbulkan dari berkerja di perusahaan kimia tersebut. Akan tetapi ia merahasiakannya dari anak dan istrinya. Selama ini ia menahankan kesakitan karena kencing darah, awalan dari sebuah penyakit kanker yang sudah merenggut nyawa beberapa rekannya.
Tapi nasib baik masih berpihak pada Jay Gohil. Tak sengaja ia dipertemukan dengan seorang perempuan petugas kesehatan yang kebetulan kerusakan mobil. Jay berhasil memperbaikinya. Dan kemudian mereka saling kenal. Jay bercerita tentang apa yang dilakukannya. Termasuk semua halangan yang dialaminya. Dan perempuan tersebut akhirnya bersedia membuka data tentang cek kesehatan para buruh yang berobat padanya yang di rekomendasikan oleh perusahaan. Bahwa data aslinya berbeda dnegan data yang untuk pertanggungjawaban perusahan pada pihak berwenang. Data aslinya menyebutkan bahwa ada persoalan yang serius pada pekerja terhadap kesehatannya. Sementara perusahaan selalu meminta agar semua laporan di buat agar semuanya tampak baik-baik saja.
Dengan bekal tersebut Jay kemudian berhasrat menggugat perusahan. Ia sangat yakin bahwa ini adalah akhir dari pihak perusahaan yang telah berlaku curang dan kejam terhadap para buruh. Dengan mengajak pengacara yang masih amatiran, yang merupakan saudara dari salah seorang buruh anggota serikat, Jay membuatkan laporan ke kepolisian dan menyerahkan bukti kesehatan yang telah dimanipulasi oleh pihak perusahaan. Tetapi lagi-lagi Jay mendapat tawaran untuk berkompromi dengan pihak perusahaan. Ia diminta untuk menghadap pemilik perusahaan. Yang kemudian permintaan tersebut di sanggupinya. Akan tetapi ia tidak mau tertipu kembali. Diam-diam Jay merekam seluruh pembicaraan tersebut, termasuk upaya iming-iming suap yang ditawarkan pihak perusahaan. Dan setelah berhasil mendapatkan bukti rekaman tersebut, Jay langsung memberikan hasilnya kepada pihak kepolisian.yang sudah di kondisikan di lokasi. Sampai akhirnya petugas berwenang langsung menangkap pemilik dan elit perusahaan. Tapi sayang dalam perjalanan pulang, Jay di tikam oleh komplotan pimpinan serikat buruh yang sebelumnya. Mereka ini adalah orang suruhan pemilik perusahaan, yang telah membunuh Manoj yang dulu vokal menyampaikan protes ke perusahaan sebelum pemilihan pimpinan serikat yang baru.
Akhir cerita, harapan yang diinginkan Jay dan rekan-rekannya berhasil. Pengadilan memenangkan gugatan buruh. Dan pemilik perusahaan beserta elitnya termasuk mantan pemimpin serikat buruh sebelumnya di adili. Perusahanpun akhirnya berubah kepemilikan dan manajemen. Kehidupan pekerja sudah mulai manusiawi.
———
Menonton film Union Leader mengingatkan penulis pada cerita advokasi buruh di Sragen, Jawa Tengah beberapa tahun silam. Dimana buruh yang awalnya antusias dalam memperjuangkan tuntutannya tapi akhirnya berakhir dengan beragam sesalan. Karena persoalan buruh di Sragen ketika itu teramat kompleks dalam melawan kekaisaran modal (perusahaan). Tidak seperti Jay dalam film ini, kompleksnya permasalahan di Sragen ialah bahwa perusahaan mampu menundukkan semua aspek yang awalnya sejalan dengan perjuangan buruh, tetapi lama kelamaan semuanya hilang. Terhitung dari pejabat publik, tokoh setempat, bahkan sampai kelompok religius. Semuanya hilang begitu saja. Terakhir, buruh di tangkap, dijebloskan ke penjara polisi dan kemudian di sidang. Buruh dinyatakan bersalah karena aksi yang dilakukan dianggap mengganggu ketertiban dan menganggu lalu lintas. Padahal buruh aksi di depan pabrik dan tidak ada lalu lintas yang macet, bahkan walau hanya semeter jaraknya. Tapi tangan-tangan kuasa di Sragen begitu kuat hingga mampu membungkam semua golongan. Pihak yang dituntut dan yang bersekongkol dengannya menjadikan ketertiban sebagai alasan receh semata untuk meredam aksi para buruh.
Mungkin nasib Jay Gohil dalam film Union Leader ini terbilang beruntung. Ia bisa dengan gampang mendapat kepercayaan, berjuang bersama, sedikit rintangan, lalu berhasil di sidang sengketa dan menang. Dan keadaan seketika berubah. Akan tetapi kasus buruh di Sragen, bahkan hampir di seluruh Indonesia, mungkin nasibnya sama. Sama-sama nahas dan mengerikan. Karena hampir dalam semua lini kehidupan baik sosial, ekonomi dan politik, buruh bukannya beruntung tetapi malah selalu buntung. Bahkan di tahap akhir proses sengketa, yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang menjadi jalurnya untuk menyidangkan sengketa atau permasalahan perburuhan pun terbilang tak pernah memenangkan tuntutan kaum buruh. Buruh selalu kalah dalam setiap pertarungan perjuangannya. Makanya dapat dikatakan buruh adalah tragedi sekaligus lelucon. Tragedi bagi kemanusiaan yang hidupnya terus menerus di ekploitasi dan terhisap. Dan menjadi lelucon bagi para pemilik modal yang memperkerjakannya. Yang bagi perusahaan apapun tuntutan buruh akan selalu bisa dikandaskan dengan hanya membayar uang tak seberapa pada orang yang berkepentingan; bisa aktivis buruh itu sendiri atau orang yang terlibat dalam perjuangan buruh.
Untuk kasus yang ada di Indonesia sendiri, memang perjuangan buruh sudah teramat sangat berat dan rumit. Dari hulu dan hilirnya memang sudah membentang lautan persoalan yang tak pernah berkesudahan. Politik yang dipercaya sebagai panglima di negeri ini juga tak memberikan kesempatan apa-apa untuk menempatkan buruh sebagai kelas yang berpengaruh secara global. Bahkan kekuatan buruh pun sedari awal sudah benar-benar remuk dan hancur pasca tragedi 65/66 ketika rezim otoriter dan refresi Soeharto berkuasa. Gerakan buruh yang biasa melakukan tuntutan kepada negara, kemudian dengan mudah di cap sebagai bagian dari upaya membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan ini tidak saja untuk kalangan buruh, tapi juga bagi semua kalangan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk kaum tani,mahasiswa dan lain-lain. Sehingga terlegitimasi dengan sendirinya bagi aparat negara yang sudah terkoordinasi di bawah payung kekuasaan Soeharto untuk membabatnya habis. Bahkan bukan tidak mungkin aktivis yang terlibat di dalamnya dijatuhi hukuman penjara dan disematkan label komunis yang berakhir menjadi pesakitan seumur hidup. Selalu begitu. Bahkan sampai hari ini setelah rezim berubah.
Seiring perjalanan waktu, Soeharto pun tumbang. Rezim pun berganti. Akan tetapi kehidupan kaum buruh di Indonesia pun juga tak beranjak kemana-mana. Gerakan buruh seolah stagnan dalam gegap gempita demokrasi. Bahkan terserak dalam euforia penjatuhan kekuasaan semata. Hal ini memungkinkan karena menurut Olle Tornquist, guru besar di Departemen Politik University Of Oslo Norwegia, dalam Labour and Democracy? Reflection on the Indonesia Impasse, 2004, bahwa pasca Soehato jatuh, buruh sudah berusaha melakukan perlawanan terhadap ekploitasi ekonomi. Mereka juga menentang setiap bentuk otoritarian akumulasi kapital primitif. Makanya selalu terselip tuntutan hak dasar, sipil dan politik dalam setiap agendanya. Selain bahwa juga ketidakmampuan memanfaatkan kesempatan pasca Soeharto tumbang ialah karena faktor struktural utama demokrasi terbesar ketiga di Indonesia bukan dilahirkan dari pembangunan kapitalisme, namun dari krisis sosial dan ekonomi yang mendalam, yang berarti daya tawar buruh secara subtantif lenyap. Akan tetapi buruh tetap berperan dalam banyak proyek pengembangan demokrasi seperti pengorganisiran kelompok buruh dan sebagainya. Dalam Translating Membership into Power at the Bailot Box? Trade Union Candidates and Worker Voting Pattern in Indonesia, 2014, Teri Caraway, Michele Ford dan Hari Nugroho masih meragukan kemampuan serikat buruh dalam kontestasi politik. Hal ini menurutnya ada beberapa faktor, antara lain ketiadaan sokongan finansial serta data keanggotaan buruh yang pasti yang membuat partai buruh gagal total dan partai lain menjadi enggan untuk mengambil calon dari kalangan buruh. Selain juga adanya friksi dan perpecahan di internal serikat buruh itu sendiri sebagai dampak dari otoritarianisme yang diwariskan orde baru, sehingga calon dari kalangan buruh tidak memukau, termasuk bagi kelompok buruh itu sendiri. Dan selalu seperti ini yang terjadi di Indonesia.
Inilah yang membuat kontras dari film Union Leader ini saat kita menontonnya. Bahwa perjuangan buruh itu teramat sangat berat dan panjang. tidak gampang. Akan tetapi, film Union Leader tetap layak di tonton. Setidaknya film ini menghembuskan semangat bagi kita, para pekerja, buruh, termasuk serikat yang turut memperjuangkannya. Bahwa dalam perjuangan, kita tidak boleh menitipkan nasib pada orang lain. Karenanya kita harus membawa diri kita sendiri untuk terlibat apapun di dalam barisan. Sekian.