Entah bagaimana mulanya sampai BIN, TNI AD, dan Unair bisa bersama membuat vaksin. Konon katanya tinggal menunggu izin dari BPOM untuk beredar secara luas. Rektor Unair sangat percaya kalau vaksin ini memang sudah melalui uji ilmiah yang bisa dipercaya. Pernyataan yang sayangnya banyak disangsikan oleh para epidemolog dan pengamat militer. Khususnya berkait dengan artikel yang mustinya dipublikasi dan bisa dibaca sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik. Semua pertanyaan itu disanggah dengan banyak dalih karena yang penting hari ini adalah keberadaan vaksin yang mampu menumpas virus Covid-19. Terutama Surabaya yang angka positifnya makin mengkuatirkan—kota di mana kampus Unair berada.
Bersamaan dengan kerja sama itu juga muncul pernyataan Wakil Menteri Pertahanan soal pendidikan wajib militer di kampus. Entah bagaimana pula Pak Wakil Menteri Pertahanan memberi contoh Korea Selatan. Katanya Korea Selatan anak-anak mudanya mampu melahirkan K-Pop dan populer di antaranya karena wajib militer. Logikanya sulit dipahami sebagaimana pernyataan Mendagri tentang sistem pemerintahan otoriter dan oligarki merupakan kunci penanganan pendemi. Semua pernyataan yang dikatakan itu kadang tanpa referensi, hasil riset yang valid apalagi merujuk pada pendapat ahli. Mirip sebuah retorika kosong yang dikatakan untuk mengisi waktu senggang. Ucapan yang lebih serupa dengan bualan.
Maka ketika ada tank militer melindas melon hingga menabrak warung, kita semua terperanjat. Bukan karena tank itu salah sasaran tapi betapa publik makin berani menyiarkan info yang dulu mungkin dianggap bahaya. Media sosial kini menjadi senjata paling demokratis yang dapat memuntahkan informasi apa saja terutama berita yang sensasional. Berita soal tank ini memicu beragam komentar tapi semua mengacu pada bagaimana militer kita memang harus berbenah. Kuncinya bukan saja pada kembali ke tangsi lalu tingkatkan kesejahteraan prajurit melainkan juga kepercayaan penuh pada nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Pilar yang kini diguncang keras bahkan oleh partai politik sendiri sekaligus kalangan akademisi.
Kampus utamanya yang sebaiknya berani untuk mengambil sikap independen dan menjadi pusat pengetahuan kritis. Langkah yang dilakukan Unair selain tidak tepat juga mengguncang sendi dasar dari sebuah kampus sebagai pusat pengetahuan. Baiknya riset apa pun mengikuti prosedur ilmiah, melibatkan sebanyak-banyaknya kalangan ahli dan terbuka untuk diuji. Jangan sampai sebuah riset seperti proyek politik yang miskin pertanggungjawaban dan tidak bisa dijelaskan secara jujur dan terbuka. Itu pula yang membuat kampus sebaiknya menyampaikan pandangan pada keinginan yang tidak sesuai dengan kebutuhan apalagi bertentangan dengan prinsip akademik. Seperti soal wajib militer.
Apa kegunaan pendidikan wajib militer hari ini? Benarkah kita berada di bawah tekanan ancaman negara lain sebagaimana Israel dan Korea Selatan? Dua negara yang memiliki program wajib militer. Bisakah kecintaan negara itu disandarkan pada bukti ikut sertanya mahasiswa dalam kegiatan militeristik. Tesis seperti ini dari mana asalnya? Siapa ahli yang dirujuk untuk memperkuat pandangan ini? Lebih mudahnya, apa memang mahasiswa membutuhkan pendidikan seperti ini dan di tengah kompetisi pengetahuan apa benar ini bisa dijadikan solusi? Mana yang lebih mendesak hari ini, memperkuat tradisi pengetahuan pada mahasiswa sehingga bisa bertarung dengan negara lain, atau memberikan mereka dasar-dasar kemiliteran yang kita tidak tahu untuk tujuan yang tidak terlalu darurat?
Kampus mustinya bisa memberi pandangan yang bijaksana dan akademis. Para akademisi yang di antaranya banyak meraih pendidikan di luar sebaiknya bisa memberitahukan pada Wakil Menteri Pertahanan tentang apa itu kampus, tugas pokoknya apa dan bagaimana dukungan yang sebaiknya diberikan oleh negara. Jangan sampai para pejabat itu memberi peryataan yang tidak saja kehilangan dasar pengetahuan tapi malah membahayakan keberadaan kampus. Tidak lagi sebagai pusat pengetahuan tapi malah menjadi agen mobilisasi kekuatan pertahanan. Beranilah kampus untuk memiliki pandangan yang kritis terutama terhadap kekuasaan yang belakangan ini pernyataanya banyak yang kontroversial. Adalah peran kampus untuk meluruskan semua logika yang sesat apalagi kalau itu diucapkan oleh pejabat.
Sebab jika kampus tidak berperan kita bisa mengacaukan segalanya. Lihat saja ketika pendemi meledak di Cina dan negara tetangga, banyak pejabat kita omong ngawur. Mulai dari kepercayaan bahwa pendemi tidak akan meyentuh bangsa ini hingga pendemi itu bisa dilawan dengan doa saja. Lebih memalukan lagi itu dinyatakan oleh Menteri Kesehatan. Bahkan ada pejabat yang titelnya guru besar mengibaratkan pendemi itu seperti seorang istri: menyebalkan tapi kita tetap harus bersama. Sungguh kenyataan memalukan ini membuat kita lama kelamaan jadi masyarakat yang kurang percaya pada akal sehat dan meremehkan pengetahuan. Kampus sebaiknya segera menjadi penyelamat dari azab yang bisa jadi petaka untuk negeri ini.
Bayangkan saja kalau semua mahasiswa dilatih baris-berbaris, lalu bagaimana gunakan senjata dan selalu merasa kalau kita berada dalam ancaman maka tumbuh manusia muda macam apa nantinya? Anak-anak muda yang mudah sekali menyelesaikan persoalan dengan kekerasan serta menggunakan cara berfikir yang simpel dan seragam. Lebih bahaya lagi mempercayai bahwa patriotisme itu letaknya pada senjata dan meyakini kalau menjadi serdadu cara satu-satunya melindungi negara. Secara umum pemahaman ini juga berbau doktriner bahkan manipulatif serta ketinggalan zaman. Saat dimana revolusi digital meyentuh semua aspek kehidupan maka bayang ancaman itu bukan serangan pasukan tapi gejolak pemikiran yang dapat membajak kedaulatan.
Untungnya banyak kritik ditujukan pada Wakil Menhan. Terutama dari mahasiswa yang memang paham apa yang dibutuhkan hari ini, apa yang ingin diraihnya saat ini, dan bagaimana kampus bisa memenuhinya. Dalam logika sederhana mahasiswa, jika ingin jadi serdadu mending masuk Akmil atau Akpol: di sana pasti ada baris berbaris hingga bagaimana rambut bisa potonganya seragam serta pendek. Saat memutuskan untuk menjadi mahasiswa yang namanya patriotisme itu bisa berujud unjuk rasa menentang ketidak-adilan atau menuntut adanya pengadilan HAM.
Bagi mereka patriotisme itu seperti yang ditunjukkan oleh Sukarno dan Hatta semasa jadi mahasiswa. Mereka memutuskan jadi aktivis, membangun pergerakan dan menentang kekuasaan kolonial. Itulah patriotisme yang tidak hanya mengantarkan bangsa ini menjadi negara merdeka tapi sikap yang mampu menghancurkan tahta kolonial. Kelak Sukarno dan Hatta menjadi pencetus Proklamasi: Sukarno dari Fakultas Teknik dan Hatta dari Fakultas Ekonomi. Mereka berdua bersama mahasiswa lainnya berjuang mempertahankan Republik tanpa seragam dan senjata. Mereka mendayagunakan pengetahuan, akal, dan naluri kemanusiaan. Itulah yang melahirkan negeri ini.
Malah kita menganjurkan Wakil Menteri Pertahanan untuk membuka buku sejarah kembali. Terima kasih. (EP)
Ilustrator: Hisam