“Awal dari suatu kehidupan yang patut untuk dijalani adalah konfrontasi dengan diri kita sendiri” (Harry Emerson Fosdick)
Barusan terbit buku menarik tentang Jokowi: Man of Contradictions. Buku yang menguliti siapa sebenarnya pak Jokowi. Presiden yang muncul dengan dukungan luas massa. Pertama kalinya karir politik menuju puncak tahta didaki dengan benar. Diawali seorang Walikota, kemudian Gubernur lalu Presiden. Karir politik yang cemerlang sehingga banyak julukan baik menempel padanya. Pemimpin populis, merakyat dan berasal dari rakyat kebanyakan. Ia menampilkan apa yang dirindukan oleh rakyat saat itu: mudah ditemui, berpenampilan sederhana dan suka bekerja. Sikap yang membuatnya mampu menjadi magnet bagi banyak orang untuk mendukungnya. Kini setelah melalui periode kedua masa pemerintahanya banyak kalangan kecewa. Terutama kelas menengah yang dulu sempat menjadi barisan utama pendukungnya.
Buku itu ingin melihat Jokowi dari asal muasalnya: pengusaha mebel. Seorang yang mencari penghasilan melalui cara berdagang. Dikelilingi oleh buruh yang kebutuhanya sederhana: gaji, makan cukup dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Kalau sakit bisa berobat. Dikuasai oleh pengalaman sebagai majikan Jokowi memerintah dengan modus seorang pengusaha. Mengutamakan pembangunan ekonomi sambil berusaha untuk mengerti apa yang jadi keluhan umum. Baginya rakyat itu seperti karyawan mebelnya yang butuh makan cukup, rumah untuk tempat tinggal dan anak-anak yang bisa hidup mandiri. Logikanya yang sederhana itu membuat pemerintahanya sangat antusias dalam membangun apa saja. Jalan tol hingga pindah ibu kota. Jokowi ingin rakyat dipuaskan oleh pembangunan fisik dimana-mana.
Kalau ada gangguan maka cara berfikirnya juga simpel: atasi dengan cara keamanan. Maka di masa pemerintahanya anggaran untuk pertahanan dan kepolisian luar biasa besarnya. Jokowi ingin dalam memerintah semuanya bisa dikendalikan. Buku itu bilang Jokowi lebih mirip Suharto ketimbang Sukarno bapak ideologi PDIP. Itu sebabnya Jokowi banyak dikelilingi oleh para pemuja yang menjaga benteng kekuasaanya dengan cara apa saja. Jika dihantam kritik maka balasanya adalah serangan balik yang menguliti bahkan mengkriminalisasi. Himpunan buzzeRp hingga influncer jadi pengeras suara semua kebijakanya. Saat genangan massa berjumlah ribuan mengutuk kawanya Ahok dengan mudah Jokowi mengakomodasi tuntutan massa. Ahok dihukum dalam penjara bahkan pencetus fatwanya diakomodasi Jokowi untuk menjadi pasangan tetapnya: KH Makruf Amin.
Kekuasaanya berjalan nyaris tanpa serangan berarti. Terutama ketika seluruh kekuatan oposisi yang ada di parlemen ditaklukkan. Penuh percaya diri Jokowi bersama seluruh pendukungnya menyakini praktek pembangunan ekonomi neoliberal itu sebagai cara paling manjur menuju perubahan. Dirinya tak menyangka ada serangan yang jauh lebih mencekam, berdampak jangka panjang dan memukul semua kartu yang dulu pernah dimainkannya. Covid-19 bukan hanya virus tapi pembangkit dari apa yang menjadi persoalan abadi di kekuasaan Presiden Jokowi. Diantaranya adalah kemampuan kepemimpinan dan pilihan prioritas penanganan. Pada kedua aspek itulah Presiden tampaknya berada di tepi jurang ketidak-pastian karena apa yang diyakininya sebagai pengusaha kini berbalik menerkam posisinya. Setidaknya jika yang dipakai ukuran adalah kemampuanya menangani pendemi dibanding dengan negara tetangga lainya.
Kemampuan dalam menyelamatkan nyawa warganya yang skornya buruk. Angka kematian karena Covid 19 makin merisaukan bahkan tidak bisa dihentikan hanya dengan tiupan kabar penemuan vaksin. Angka itu terus menerus bertambah hingga semua orang seperti berada dalam antrian kematian. Suasananya seperti di hari akhir dimana setiap orang musti bersiap untuk merenggang nyawa. Setidaknya gema kerisauan itu dinyatakan oleh kalangan medis, para epidemolog hingga masyarakat kelas menengah. Semua tahu angka yang bertambah ribuan tiap harinya itu seperti menjadi petanda kalau kita bukan hanya tidak mampu melainkan juga sudah kewalahan. Saran untuk perluasan test hingga kepatuhan atas protokol kesehatan tidak lagi gampang dilakukan karena menganggap situasinya lebih membaik. Berada dalam kondisi yang darurat seperti ini upaya menarik rem tidak gampang dilakukan karena Jokowi memang tidak bisa sendiri. Dirinya musti mengajak semua pihak atau memimpin dengan keberanian untuk mengambil segala resiko.
Kemampuan kepemimpinan semacam inilah yang sulit dicapai. Covid itu bukan gerombolan separatis apalagi teroris yang diatasi cukup dengan pasukan dan undang-undang. Pendemi ini musti diselesaikan melalui pendekatan saintis, yang membutuhkan waktu panjang dengan pertimbangan para ahli medis yang berpengalaman. Kesulitanya terletak disini yakni jangkauan pemikiran abstrak dan ilmiah yang memahami persoalan ini bukan dalam pilihan sederhana ekonomi atau kesehatan. Pertimbanganya lebih banyak pada kemampuan mengerti kompleksitas masalah, memahami kalau jalan keluarnya butuh berbagai pendekatan dan cara penangananya musti setahap demi setahap. China, Korea Selatan, Jerman hingga Vietnam berhasil bukan karena sistem otoriter apalagi oligarki seperti kesimpulan tuan Mendagri. Keberhasilanya kombinasi antara pendekatan saintis, kepemimpinan yang bisa memberi arahan dan kepercayaan masyarakat yang tinggi. Aroma kesimpulan simpel itulah yang terkadang mengelilingi Presiden.
Pandangan yang dangkal, beraroma konspirasi bahkan berbau hoax. Seperti kepercayaan konyol atas kalung hingga indikator angka kesembuhan. Optimisme yang berlebihan dan dinyatakan berulang kali malah membuat kita seperti bangsa pandir yang sulit diberi masukan. Seolah lebih baik bangsa ini mati karena virus ketimbang celaka karena menganggur. Dasar pertimbangan ekonomi yang terus menerus diutamakan itulah yang membuat bangsa ini kehilangan dimensi pengetahuan dan religiusitas. Kita dibimbing oleh naluri untuk bisa bertahan makan, melipat gandakan keturunan dan tetap bisa menumpuk kekayaan. Kita lama kelamaan kehilangan pesona sebagai manusia yang terdidik, peduli pada sesama dan percaya akan kekuatan akal. Seluruh energi kita bukan untuk menghindar dari covid atau berusaha untuk memahami penyakit ini tapi nekat untuk hidup bersama dengan covid-19. Siapa tahu covid-19 dan kita bisa saling mengenal, memahami dan mengetahui kebutuhan. Cara penanganan virus yang mirip dengan penaklukkan oposisi.
Betapa malunya kita saat Malaysia melarang warga Indonesia bertandang ke negaranya. Sebagai tetangga yang paling dekat kita seperti spesies yang membawa bencana. Jika kemudian sikap Malaysia ditiru oleh sejumlah negara maka kita jatuh sebagai negara yang dihukum oleh negara lainnya. Presiden tak lagi bisa diam apalagi memberi harapan jika situasinya itu baik-baik saja. Lebih baik kalau mulai mendengarkan pandangan dari orang yang kompeten: tenaga medis hingga epidemolog. Juga sebagai perbandingan mulai belajar dari kesuksesan negara lain. Bagaimana Vietnam, China hingga Jerman bisa menundukkan virus dengan kepemimpinan bukan pemercepatan produksi vaksin. Walau terlambat dan memang sudah telat tetapi rakyat bisa melihat kalau yang dilakukan pemimpin kita itu juga dilakukan oleh para pemimpin negara lain. Rakyat mengerti bahwa kebijakan itu diambil dengan referensi yang sahih dan diputuskan dengan pertimbangan sains.
Maka Jokowi harus menginjak rem secepatnya. Rem untuk meminta bawahanya untuk tidak omong sembarangan. Rem untuk menahan aparat keamananya untuk tidak sewenang-wenang. Rem supaya semua kalangan elite mulai percaya bahwa pengetahuan itu dasar untuk mengatasi pendemi. Rem untuk menahan agar Presiden bisa memberi pernyataan lugas, terarah dan memandu para bawahan. Dipastikan bukan kesehatan atau ekonomi dulu tapi elite sadar kalau memang masalahnya sudah gawat. Masalahnya tak lagi biasa diatasi dengan komentar tapi pengetahuan yang cukup. Jikalau tidak mampu memberi komentar atau pernyataan yang benar lebih baik diam saja. Diam itu bukan tanda kebodohan tapi kerendahatian kalau memang kita tak mengetahui apa yang sedang kita dihadapi.
Artinya Presiden musti melepaskan kerangka pikir sebagai pengusaha. Anda pemimpin yang tugasnya bukan mencari laba tapi melindungi rakyatnya. Sebagai pemimpin maka tugas utamanya adalah mendengarkan kerisauan rakyatnya, memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi dan yang paling penting meyakinkan bahwa memang keselamatan nyawa rakyat itu lebih diutamakan. Pemimpin itu dalam situasi darurat lebih baik diam tapi bekerja dan berani untuk mengorbankan kepentingan dirinya demi untuk keselamatan nyawa dan nalar rakyatnya. Rakyat itu bukan karyawan yang keinginanya hanya uang dan makan tapi juga keyakinan bahwa hidupnya itu tidak terancam. Pendekatanya tidak lagi keamanan tapi kesehatan. Dengarkan para epidemolog baru para ekonom dan libatkan dokter sebelum aparat keamanan.
Artinya Presiden juga sepantasnya menunjukkan pada negara luar kalau dirinya bisa, mampu dan mau mengatasi keadaan. Jika negara luar mampu untuk taklukkan pendemi dengan cara yang sama maka kenapa kita musti membuat pilihan berbeda jika resikonya lebih bahaya. Kini waktunya belajar karena sikap merasa bisa dan berbangga diri kalau kita lebih tahu keadaan diri kita sendiri ternyata membawa malapetaka. Harusnya kita mulai naikkan bendera setengah tiang agar semua orang sadar bahwa situasinya ini belum aman. Presiden, anda pasti mengerti kalau apa yang anda putuskan tidak hanya diketahui oleh rakyatnya tapi juga rakyat negara lainnya. Jangan sampai kita menjadi contoh dari sebuah negara gagal yang tidak mampu mengendalikan pendemi karena tidak mau belajar dan merasa bisa mengatasi dengan caranya sendiri.
Presiden anda dipercaya dan dipilih bukan karena punya latar belakang pengusaha. Anda dipilih tidak karena partai politik yang mencalonkannya. Bahkan anda dipilih tidak karena keluarga yang kini sebagian mencalonkan diri mengikuti langkah anda. Terpilihnya anda karena rakyat tidak punya kandidat yang lebih baik saat itu, mungkin rakyat percaya anda bisa memenuhi harapanya dan rakyat yakin anda selayaknya dipilih untuk kedua kalinya. Kini jangan sampai rakyat kembali kecewa pada pemimpinya sebagaimana rakyat kecewa pada Orde Baru pada akhirnya. Kalau Presiden ingin dikenang secara terhormat dalam sejarah bangsa ini mulailah untuk belajar lebih keras agar paham: apa itu pendemi, bagaimana saran para saintis untuk mengatasinya dan jangan malu untuk minta dipandu para pemimpin negara lain yang kini sudah berhasil mengatasinya. Rendah hatilah bahwa kita bisa gagal dan karena itu sebaiknya lebih banyak belajar bukan bicara apalagi tebar retorika yang tak banyak gunanya.
Saatnya Presiden memimpin dengan cara belajar pada Presiden lainnya. (EP)
Ilustrator: Hisam