Selama beberapa hari ini saya banyak diminta bicara soal uang semester mahasiswa. Yang diharapkan bisa dipotong atau bahkan gratis. Alasanya selalu sama: pendemi covid 19 yang memberi beban ekonomi luar biasa. Kuliah yang memang biayanya tidak kecil jadi persoalan luar biasa jika tidak diringankan sama sekali. Seolah kampus seperti tidak memahami beban ekonomi yang dirasakan para orang tua. Jika kemudian ada aksi protes menuntut penggratisan itu sesuatu yang normal. Malah aneh jika mahasiswa bersikap diam atau tak peduli dengan situasi ini. Mengapa musti menuntut penggratisan uang kuliah?
Alasan yang mudah adalah tidak adanya kuliah tatap muka. Selama lebih dari tiga bulan mahasiswa pulang ke rumahnya masing-masing dan kampus kosong tanpa ada kegiatan. Kuliah dilakukan secara online yang itu pasti beda suasana bahkan malah tambah biaya. Tidak semua daerah punya jaringan internet yang stabil dan kuota bukan barang murah. Kuliah online bukan menjawab semua masalah malah kerap kali menimbulkan soal tambahan. Itu sebabnya uang kuliah gratiskan saja karena memang tidak ada kegiatan yang namanya kuliah. Menarik biaya uang semester sama dengan penipuan karena tidak ada kegiatan belajar-mengajar yang sebenarnya.
Alasan berikutnya karena kampus tidak melakukan apapun selama pendemi. Kuliah tidak berjalan, perpustakaan tutup, kampus tutup bahkan kegiatan semacam seminar atau pratikum tidak ada sama sekali. Kampus ibaratnya tinggal bangunan kosong yang tidak punya jejak aktivitas sama sekali. Kampus juga tidak membagi masker untuk mahasiswa dan tidak pula hand sanitizer. Bahkan tidak ada bantuan bahan pokok untuk mahasiswa. Jadi sungguh menggelikan kalau kampus masih menarik uang semester padahal tidak ada kegiatan yang patut untuk dibayar. Kita membayar untuk siapa? Dosen, bangunan atau kegiatan yang memang tidak ada sama sekali.
Alasan selanjutnya karena kampus memang berdiri tidak untuk meraih laba. Sejak awal kampus didirikan tujuan utamanya adalah menaburkan pengetahuan. Melalui pengetahuan kampus meletakkan sendi-sendi peradaban. Disana yang dipupuk bukan sekedar kecerdasan tapi juga kebijaksanaan. Cerminan kebijaksanaan itu adalah sikap yang lebih berpihak pada nilai-nilai ideal ketimbang sikap yang ingin mementingkan kepentingan diri sendiri. Maka sungguh memalukan pada saat pendemi bisa-bisanya kampus membebani mahasiswa biaya kuliah seolah situasinya berjalan normal seperti biasa. Pertimbangan etis apa yang membuat kebijakan penarikan uang semester tetap diberlakukan?
Alasan lainya karena memang kampus tidak layak untuk menarik iuran pada saat saat seperti ini. Saat ekonomi dilanda resesi dan pengangguran ada dimana-mana. Kampus waktunya untuk menunjukkan dedikasinya dalam pengabdian masyarakat. Bukan lagi melalui mekanisme KKN tapi menempatkan mahasiswa sebagai bagian utuh masyarakat. Mahasiswa bukan lagi konsumen layanan jasa pendidikan tinggi tapi anggota masyarakat yang butuh mendapatkan perlindungan. Sebab hanya itu yang secara minimal mampu dilakukan kampus. Idealnya semua kampus ikut dalam riset penemuan vaksin covid 19 atau menerjunkan mahasiswanya sebagai relawan. Tapi jika itu belum mampu saatnya melakukan apa yang pasti bisa dilakukan.
Alasan yang paling pokok lebih bersifat pertanyaan: apa memang kampus tidak pernah untung selama ini? benarkah kampus tidak mendapatkan laba sama sekali dalam kegiatanya? Bukankah mobil dinas kampus yang baru, gedung kampus yang mewah hingga rumah dosen yang menawan itu semua karena uang mahasiswa. Waktunya pejabat kampus tahu diri kalau mahasiswa tidak bisa diperas terus-terusan. Bahkan inilah waktunya untuk tidak berhitung rugi dan laba. Saatnya kampus membantu dengan antusias mahasiswa yang ingin meraih harapanya. Relasi mahasiswa dengan kampus saatnya berubah lebih manusiawi. Tunjukkan pada masyarakat bahwa kampus itu bukan korporasi tapi lembaga pendidikan tinggi yang melayani mahasiswa dalam situasi apa saja. Gratiskan biaya pendidikan tinggi untuk masa pendemi ini karena itulah yang semustinya menjadi tanggung jawab sosial kampus hari ini.
Alasan yang lebih jelas lagi adalah pelajaran tentang keberpihakan. Ada dosen yang bersuara keras dan mengutuk tuntutan gratis biaya kuliah. Dianggap tuntutan itu cermin kebodohan. Mensejajarkan mahasiswa yang menuntut itu dengan anak SD segala. Argumentasi kacau, fasis dan terbelakang itu muncul karena minimnya pengetahuan. Gratis kuliah itu SUDAH terjadi di banyak negara jika dosen itu sudah pernah bepergian kesana kemari. Kuba salah satu contohnya. Jerman diantaranya. Bahkan Australia untuk beberapa mahasiswa. Jadi kuliah gratis itu bukan kebijakan bodoh bahkan dilakukan pada banyak negara maju. Jika mau contoh jauh lagi di sejumlah negara Timur Tengah, semacam Mesir dan Yordan. Kebetulan penulis bertandang kesana saat covid 19.
Kuliah gratis bukan hal langka dan sudah di berlangsung di sejumlah negara. Apa dampaknya? Kuba yang kuliahnya gratis kini pelopor terdepan penanganan covid 19. Fakultas kedokteranya tidak bayar. Konsekuensinya tenaga medis luar biasa jumlahnya. Malah kini Kuba banyak mengirim tenaga medis ke sejumlah negara untuk bantu penanganan covid 19. Jerman yang kuliahnya juga gratis kini memimpin Uni Eropa dengan prestasi luar biasa dalam meredam pendemi covid 19. Kanselir Jerman Angela Marker merupakan produk pendidikan murah. Jadi ilmuwan sekaligus politisi yang kini dipuji oleh dunia karena keandalanya menangani covid 19. Jadi kuliah murah itu berdampak luar biasa terutama dalam peningkatan mutu warganya.
Pelajaran apa yang bisa dipetik? Menjadi dosen jangan komentar ngawur kalau tidak tahu sama sekali. Kuliah gratis telah jadi kebijakan umum di sejumlah negara maju karena efeknya yang luar biasa. Bahkan kuliah dengan ongkos murah sudah populer dimana-mana. Di Australia untuk memilih kuliah S1 tidak serumit disini: test yang memakan banyak waktu, banyak biaya bahkan harus banyak banyak doa. Kuliah sudah tahu berapa biayanya bahkan bisa pindah ke kampus yang kita suka jika nilai kita mencukupi. Paling penting dengan kuliah murah mahasiswa bisa menikmati pengetahuan dengan lebih mudah dan itu memberi lorong jalan keluar dari keterbatasan. Terutama untuk mahasiswa yang secara ekonomi tidak mampu.
Jadi saatnya kampus kita meniru banyak negara maju yang pendidikanya lebih bermutu. Terutama untuk dosen yang sudah pernah ke luar sebaiknya memberi dukungan pada tuntutan mahasiswa yang mulia ini. Para dosen yang kuliah ke luar negeri karena bea siswa sebaiknya berkaca diri: anda bisa meraih titel tinggi karena biaya rakyat yang selama ini juga menjadi orang tua dari banyak mahasiswa. Saatnya anda membalas budi rakyat dengan mendukung tuntutan gratiskan biaya kuliah selama pendemi. Bukan karena tuntutan itu bisa dibenarkan tapi karena merekalah anda bisa belajar tenang di luar negeri dan membawa gelar ketika pulang kemari. Berikan dukungan untuk mereka yang sebagian besar juga ingin seperti anda: mendapatkan bea siswa sehingga mudah meraih cita-cita.
Kesimpulanya jelas kalau kampus sebaiknya memutihkan biaya kuliah selama pendemi. Logikanya jelas karena itulah memang tugas pendidikan tinggi. Dasar filosofinya terang karena itulah pengabdian etis yang mustinya dilakukan oleh pendidikan tinggi. Pembandingnya ada karena di berbagai negara kini melakukan kebijakan yang sama. Hasilnya semua sudah diketahui dengan pendidikan tinggi yang murah kita bisa melahirkan anak-anak muda yang berasal dari kasta sosial mana saja untuk mengubah nasib diri dan bangsanya. Jadi kalau kampus masih saja membebani biaya kuliah selama pendemi maka pertanyaanya tinggal satu saja: pantaskah itu disebut sebagai kampus jika uang telah jadi berhala dan mahasiswa diperlakukan seperti seorang pembeli yang tidak punya hak apapun kecuali membayar uang kuliah sebagaimana biasanya? (EP)