“Ketika wabah itu datang dengan cepatnya, segala akal budi dan kepandaian manusia tak berdaya menghadapinya….wabah itu merebak dengan kecepatan luar biasa dan teramat mengerikan, dan akibat yang ditinggalkan sungguh tidak terkira.” (Giovanni Boccaccio)
“Meski sekarang hanya ada ratusan orang yang dirawat karena virus Corona, para dokter di Indonesia mengaku bahwa sistem kesehatan sudah sangat terbebani.” (Reuters)
Manusia punya reputasi dalam mengalahkan keterbatasan. Salah satu kemajuan yang paling diagungkan hari ini adalah penciptaan ekosistem digital. Di mana semua manusia dari mana saja asalnya dan apapun kepercayaanya terkoneksi begitu rupa. Sehingga, komunikasi tak lagi berjalan dalam dua arah tapi memancar ke mana-mana. Efeknya bukan saja manusia lebih cepat mengetahui peristiwa apa saja di dunia tapi juga manusia lebih mudah dipengaruhi satu sama lain. Kini dunia digerakkan bukan oleh gagasan tapi peristiwa.
Hingga Corona muncul dengan kemampunya yang luar biasa. Dunia dibuat terperangah dengan aneksasi Corona yang begitu ekspansif. Meyentuh warga dunia dengan daya cekik melebihi kekuatan zombie. Corona tidak menggigit tapi melekat pada naluri manusia sebagai makhluk sosial. Interaksi bisa membawa penularan. Terutama interaksi normal yang mencerminkan keakraban dan kehangatan: jabat tangan. Seakan Corona membawa pesan bahwa manusia selamanya musti dicurigai sebagai pembawa petaka bahkan ketika melakukan interaksi sosial. Maka, untuk terhindar dari Corona manusia musti mengucilkan diri.
Hanya manusia percaya dengan pengetahuan yang dimiliki. Sejarah memberi petunjuk manusia mampu mengatasi musibah apa saja. Benar ada korban tewas tapi mustahil mampu memusnahkan ras manusia. Hanya kiamat yang dipercaya akan mengakhiri hidup manusia dan bumi seisinya. Tapi kali ini Corona menular dan membunuh dengan kecepatan kilat. Indonesia saja antara yang sembuh dan tewas jaraknya masih jauh. Bahkan prosentase kematianya mulai menduduki rekor di Asia: di atas 8,0%. Berbeda dengan Korea dan Singapura yang mampu melawan Corona dengan kemampuanya yang luar biasa.
Pantas kita iri menyaksikan kemampuan pemerintahanya dalam atasi keadaan ini. Belum lagi keunggulan Kuba dan Venezuela yang seringkali kena tuduhan Sosialis dan Komunis. Dua negara itu mampu menaklukkan Corona dengan pengetahuan, kebijakan serta kesadaran warganya. Bahkan, China yang menjadi titik start mulainya Corona sudah mampu membinasakan virus itu. Semua percaya itu semua kombinasi yang lahir dari pengetahuan dan keberanian penguasa. Dua hal yang tampaknya lahir dari pengalaman sejarah sekaligus kemampuan kekuasaan dalam merespon situasi. Karena tak semua negara mampu seperti mereka.
Jika kita menyebut contoh sederhana adalah diri kita sendiri. Berulang-ulang kritik pada penguasa selalu sama: lamban, ragu, dan tak terkoordinasi. Bahasa manajerial itu yang selalu jadi sasaran kritik. Padahal yang terjadi sesungguhnya jauh dari tata kelola. Corona membuka rahasia terdalam bangunan politik pasca Orde Baru yang memang porak poranda. Sistem bangunan politik itu ditegakkan di atas landasan yang rapuh: penjahat kemanusiaan tak pernah diadili, korupsi terus dibiarkan saja, dan diutamakannya logika ekonomi dalam urusan apapun. Sehingga kita memiliki sistem pemerintahan yang mudah sekali mengabaikan nilai keadilan dan keberpihakan pada yang lemah. Corona menerobos sistem ini dengan mudah.
Jantung serangan utama Corona adalah sistem kesehatan. Sistem yang selamanya tak pernah jadi prioritas. Pendidikan kesehatan di negeri ini dikenal paling mahal. Bahkan berbau komersialisasi. Secara umum semua paham jika menjadi dokter di negeri ini butuh biaya raksasa. Aroma bisnis telah meracuni sistem kesehatan sehingga julukan orang miskin dilarang sakit masih tenar hingga hari ini. Memang BPJS kemudian jadi program andalan tapi keluhan yang didengungkan selalu defisit. Sehingga pasien, dokter hingga rumah sakit diwarnai dengan hubungan yang saling curiga, sangsi, dan terbebani. Artinya layanan kesehatan memang orientasinya bukan pelayanan semata. Maklum, jika infrastruktur yang paling tidak merata adalah fasilitas dan tenaga kesehatan.
Kesenjangan adalah fakta berikutnya. Semua tiba-tiba memahami kalau dalam urusan kesehatan kita rentan. Serangan demam berdarah hingga TBC masih menghantui. Pukulanya mematikan bahkan mampu menyita nyawa siapa saja. Andai kita membongkar lagi data, pasti tak heran dengan angka kematian akibat dua penyakit tadi. Bukan karena gaya hidup saja penyakit itu mencuat, tapi peran preventif dari pusat kesehatan masyarakat memang minim. Terlampau banyak anggaran tersita untuk pengobatan ketimbang kampanye hidup sehat. Jika diibaratkan mobil maka perlindungan kesehatan kita baru dalam tahap membawa penumpang bukan keselamatan perjalanan.
Kini Corona telah menusuk semua sel sistem kesehatan publik. Reaksi pemerintah masih memilih antara melindungi penumpang atau tetap membuat mobil bisa jalan. Mobil itu adalah pertumbuhan ekonomi dan penumpang itu sistem kesehatan. Sayangnya sejarah memberi petunjuk pertumbuhan ekonomi selalu menang. Caranya tak lain mengatasi penyakit dengan logika stabilitas: melarang orang berkerumun, membiarkan daerah melakukan lock down, hingga menghukum siapa saja yang mengabaikan aturan. Uniknya yang terdepan dalam proses preventif bukan petugas kesehatan, tapi polisi dan serdadu. Lagi-lagi kita selalu memilih yang pragmatis ketimbang yang logis.
Sudah berulang kali pendekatan pembatasan hak itu diterapkan. Pada masa Orba bahkan untuk mensukseskan KB kita menggunakan militer. Corona seperti mengulang lagi metode itu tapi dengan alasan yang berunsur penyelamatan hidup warga. Sayangnya metode ini ditiru oleh banyak pemuka masyarakat sehingga mereka menciptakan sistem kediktatoran lokal: melarang orang luar untuk masuk, mencurigai siapa saja yang bertandang hingga membatasi pergerakan warganya sendiri. Melalui Corona kita diam-diam menciptakan sistem penjara kolosal yang hebatnya itu diakui sebagai cara mujarab. Padahal tanpa sistem kesehatan yang kuat maka tindakan isolasi hanya melahirkan keresahan.
Keresahan itu sedari awal sudah dipicu: masker susah dicari, vitamin harganya mahal, dan banyak orang kaya memborong bahan makan. Corona memicu praktek brutal konsumsi yang menambah suhu kecemburuan sosial. Diperuncing oleh jubir Corona yang memberi sterotipe pada orang miskin sebagai penebar penyakit. Hawa perseteruan bisa membara kalau pemerintah membiarkan semuanya diambil alih oleh pasar. Sederhananya, meski pemerintah memberi saran tetapi kepatuhan jangan diharap kalau publik dilanda kepanikan. Satu-satunya jalan yang dianggap mujarab adalah penegakan hukum sekaligus pemberian mekanisme sanksi. Mirip dengan kehidupan di bui, siapa yang melanggar dikenai hukuman keras.
Legitimasi pemerintah bisa meluncur jatuh kalau kesulitan ekonomi datang bersamaan dengan meluasnya wabah. Keluhan sudah muncul dan tanda-tandanya bisa dibaca: PHK, pengurangan jam kerja dan tiadanya penghasilan. Kecaman atas kelambanan membuat pemerintah daerah melakukan inisiatif sendiri. Berdasar atas kebijakan otonomi tiap pemimpin daerah melakukan praktik lock down dengan pertimbangan keselamatan publik. Hak warga dibatasi begitu rupa dan alasan nyawa membuat semua pihak memaklumi. Tapi benarkah warga mentolelir kalau ancaman ekonomi lebih dulu mengancam jaminan hidup mereka? Dilema ini yang sedang ditawar oleh pemerintah. Jika pilihan ekonomi diambil maka hutang luar negeri yang ditumpuk. Strategi ini memang terus diulang karena itulah yang paling lazim. Sembari terus memastikan yang positif Corona, merelakan yang mati dan membatasi hak warga maka Corona menciptakan kekaisaran lama. Kekuasaan yang didistribusikan dengan merata tapi melalui dijalankan dengan cara sama: memangkas hak asasi manusia dengan alasan nyawa dan tetap mempertahankan sistem ekonomi pasar yang menggantungkan diri pada negara luar. Corona bisa membuat kita makin terpuruk sebagai negara yang terus tergantung dan bergantung. Kita hanya berharap: semoga saja bukan skenario ini yang menjadi akhir dari kisah corona. (EP)