Oleh: Ceos Arendt
Beberapa warsa terakhir ini, Rakyat Indonesia dihadapkan dengan konsep hukum yang menjadi public opinion (opini publik). Konsep hukum yang dimaksud adalah konsep hukum Omnibus Law. Yang menjadi menarik dari Omnibus Law adalah ‘perhatian publik’ (mahasiswa, kelas pekerja—buruh, seniman, dan khalayak umum lainnya) menjadi tersentral. Dalam kategori ini saya menyebut Omnibus Law adalah isu Rakyat.
Ada dua perspektif yang akan saya pakai dalam melihat fenomena sosial-politik ini, diantaranya, perspektif orang banyak (populisme) dan konflik kelas (Marxisme). Dari perspektif kelompok populisme, rakyat adalah kebanyakan orang yang mempunyai idea yang sama dalam menentang kekuasaan yang menindas (korup)[1]. Dalam kata lain, Rakyat adalah yang berdaulat (The People Sovereign—sumber kekuasaan politik yang esensial). Sedangkan perspektif Marxisme, rakyat adalah kelas sosial didalam produksi masyarakat pada perkembangan tertentu yang sepenuhnya hidup dengan menjual tenaga kerja dan yang tidak mendapatkan apa-apa dari hasil kerja. Dalam kata lain, rakyat adalah kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi.
Perhatian publik yang dimaksud adalah peralihan public opinion—yang tidak pernah bicara soal politik borjuasi beralih membicarakannya, yang tidak pernah melibatkan dirinya dalam konsolidasi dan aksi demonstrasi menceburkan dirinya. Melihat fenomena sosial-politik seperti ini, tentunya saya akan melayangkan dua pertanyaan pokok sebagai berikut;
1. Bagaimana peralihan itu bisa terjadi?
Dalam kacamata politik, pertama, untuk mengetahui peralihan itu bisa terjadi tentunya kita harus tahu ‘obyek’ isu yang sedang berkembang. Kedua, yang diangkat dalam obyek itu mengarah ke siapa. Ketiga, siapa yang memainkannya. Dari ketiga dalil diatas, saya lebih mengarah kepada siapa yang memainkannya? Dalam hal ini, kalau konteksnya Omnibus Law, tentunya obyek isu itu mengarah kepada semua kelas—katakanlah rakyat dalam perspektif populisme.
Hemat saya, Omnibus Law adalah isu yang meng-homogen-kan semua kelompok rakyat. dengan kata lain, isu Omnibus Law tidak memandang dari kelompok mana dia datang, hal yang penting adalah kelompok-kelompok tersebut ‘menolak’ Omnibus Law. Hal ini yang membuat isu Omnibus Law dapat dimainkan oleh kelompok mana dan siapa saja, termasuk kelompok borjuasi nasional (BORNAS) dan rente yang bertentangan dengan kelompok Bornas lainnya yang memegang kendali penuh pemerintahan.
Peralihan itu terjadi, karena kendali atas isu Omnibus Law sangat sarat dengan kepentingan Bornas dan rente yang bertentangan dengan sesama kelasnya. Tentunya peralihan itu dapat diukur dengan kuantitas rakyat yang menolak Omnibus Law, berbeda dengan isu lainnya yang lebih fundamental seperti, perampasan tanah, politik upah murah dan urbanisasi kelas tertindas pedesaan ke kota menjadi kaum miskin kota, yang dari tahun ke tahun terus meningkat sebelum adanya Omnibus Law.
2. Bagaimana Omnibus-Law menjadi Kehendak Umum?
Dalam sejarah Indonesia, People (rakyat) selalu dihubungkan dengan The general will (kehendak umum) untuk membenarkan tindakan dari aktivitas yang dilakukan. Konteks ini, bukan hanya muncul dari logika ‘negara/pemerintah’ yang mengkonsepsikan kebijakan dan atau peraturan perundang-undangan, namun juga terdapat didalam gerakan sosial. Dan untuk membenarkan perspektif menolak Omnibus Law adalah kehendak rakyat atau kehendak umum. Yang akan kita temukan adalah meledaknya penolakan di berbagai daerah atau kota yang ada di Indonesia.
Kuantitas massa yang menolak Omnibus Law menjadi titik pangkal dari isu ini menjadi kehendak rakyat. Bahwa semakin banyak kelompok yang menolak keberadaan Omnibus Law, isu ini akan menjadi isu rakyat. Demikian kalau kita bertolak dari pandangan populisme.
Penjelasan yang berbeda akan ditemukan kalau ditinjau dari perspektif Marxisme, bahwa kehendak umum adalah kehendak yang lahir dari kelas pekerja bukan kehendak banyak orang yang tentunya lahir dari kelas yang kepentingannya berbeda: antara borjuasi dan proletar. Tentunya, kedua kelas ini tidak dapat di homogenkan dalam satu kepentingan bersama. Karena kontradiksi dari diferensiasi kelas itu selalu inheren didalam kelas sosial masyarakat.
Fenomena sosial-politik ini juga terdapat contradictio in termini atau kelas borjuasi tidak akan bertahan dalam kondisi yang semakin represif yang dilakukan oleh borjuasi nasional yang memegang kendali penuh atas pemerintahan. Tentunya yang dirugikan adalah kelas pekerja. Karena bagaimanapun juga kontradiksi didalam internal borjuasi itu dapat di damaikan dengan konsesi-konsesi yang lahir dari kepentingan kelas mereka.
Dalam konteks Omnibus law, lebih tepat kita gunakan sebagai keinginan orang banyak (the will of all) untuk terlibat secara bersama didalam proses pembentukan hukum (aturan bersama) untuk mendorong kepentingan bersama (commont interenst). Di sisi lain, Omnibus Law memang sangat merugikan kelas pekerja dan memberikan karpet merah kepada oligarki untuk melancarkan ekspansi kapital dalam memperoleh akumulasi kapital dari penghisapan yang dilakukan di berbagai sektor bisnis kapitalis (Perkebunan sawit, Pertambangan, Infrastruktur, Pendidikan, industri manufaktur dan bisnis hitam lainnya).
Modifikasi
peraturan perundang-undangan adalah jalan dari oligarki untuk terus hidup
dibawah ketiak imperialisme. Hal ini terjadi secara mekanis. Dan untuk menutup
tulisan ini, mengutip pernyataan Dianto Bachriadi, “Menolak Omnibus Law saja tidak cukup!”.
[1] Ernesto Laclau: On populist Reason