“Cerita dari masa lalu menentukan jati diri kita. Cerita dari masa depan menentukan harapan kita” (Mark Manson)
***
Mark Manson kini jadi penulis paling popular. Sejak bukunya Seni untuk Bersikap Bodo Amat meraih jutaan pembaca. Mark tak menulis dengan data detail apalagi analisis yang rumit. Tulisanya simpel, argumenya sederhana dan bahasanya provokatif. Keistimewaanya adalah memicu pertanyaan yang kontroversial. Ditunjang oleh contoh yang selalu padat humor.
Di buku sebelumnya ia mengaduk aduk nalar pikir pembaca. Baik itu soal disiplin, kerja keras atau keinginan meraih kenikmatan. Mark kali ini bicara soal yang lagi populer: Harapan! Diantara terpaan virus Corona yang sudah meyentuh lebih 80 negara kita semua dilanda kecemasan. Bukan hanya pada kemampuan kita menangkal tapi adakah harapan kita bisa hidup dalam situasi yang aman dan bebas dari ancaman?
Mark punya kelebihan dalam soal cerita. Bukunya selalu dimulai dari kisah: Witold Pilecki merupakan warga Polandia yang unik. Hidup di masa Hitler lagi berkuasa dan tentara Soviet yang keji. Pilecki membentuk kelompok yang bernama Secret Police Army (Tentara Rahasia Polandia) Kelompok perlawanan yang mulai mencurigai pembangunan kawasan penjara di selatan wilayah Polandia. Namanya Auschwitz!
Plecki yakin penjara itulah yang digunakan untuk menampung banyak perwira dan pejabat Polandia yang hilang. Plecki ingin menyelidiki penjara itu dengan cara yang gila: sengaja masuk ke Auschwitz! Keputusan gila dan satu satunya dari ribuan orang yang terdampar di dalam sana atas alasan keingin-tahuan. Plecki tak menyangka tempat itu lebih dari neraka. Melalui laporan yang ditulis lalu diselundupkan kita jadi tahu apa yang ada dalam neraka Aushwitz.
Bayangkan sosok macam apa Plecki ini. Pria yang kelak dijatuhi hukuman mati oleh rezim Komunis. Keyakinanya akan Polandia yang berdaulat membuat dirinya memberi pidato akhir sebelum dihukum mati. Katanya: ‘Aku telah mencoba untuk menjalani hidup sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang kurasakan justru kegembiraan, bukan ketakutan’ Plecki hidup untuk melawan dua diktator: Hitler dan Stalin.
Plecki mirip Mawlana Rumi. Saat hampir meninggal Rumi malah menginginkan pesta. Sebab Rumi tahu dirinya akan bertemu dengan kekasih yang sejati. Kematian yang disambut setelah menjalani hidup yang sangat heroik. Tapi apa yang membuat Plecki berbuat heroik dan punya keberanian yang menyala begitu rupa? Mark katakan itulah harapan. Pupuk kebahagiaan hidup manusia. Nilai yang kini makin lenyap. Harapan Plecki: Polandia yang merdeka dan berdaulat.
Walau ada banyak buku atas kemajuan yang kita alami dan kenikmatan hidup yang dinikmati, tapi kita semua juga dilanda keresahan yang sulit disangkal: kesenjangan sosial, kemiskinan dan ancaman atas keamanan. Rasanya mencari pekerjaan semakin sulit apalagi mendapatkan karir yang gemilang. Sebenarnya kita mulai kehilangan harapan atas hidup yang lebih aman dan menantang.
Mark lalu memberi kita tiga bekal untuk memupuk harapan: kesadaran akan kendali, kepercayaan akan nilai sesuatu dan sebuah komunitas. Serangkain bab sebenarnya mau menceritakan tentang tiga kekuatan itu tadi. Selalu Mark punya kelebihan dalam soal contoh. Sebutlah seorang eksekutif bernama Elliot yang berpendidikan, kaya dan penting. Hanya karena operasi tumor di kepala membuat dirinya kehilangan emosi.
Kehilangan yang berefek fantastis: Elliot kehilangan perasaan. Walau bisa memberi pertimbangan tapi dirinya tak bisa memahami sekitar. Dalam bahasa Mark Elliot kehilangan Otak Perasa meski Otak Pemikirnya masih normal. Mark menyebut inilah yang sebenarnya mengendalikan kita selama ini. Emosi yang memicu perangai kita, tindakan kita bahkan keputusan sehari-hari. Saya setuju kalau melihat kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Emosi mereka tak menyala sehingga menganggap kejahatan itu biasa saja dilakukan. Pertimbangan akalnya logis tapi perasaanya beku!
Otak pemikir itu objektif dan faktual sedang otak perasa itu subjektif dan relatif. Harapan mampu tumbuh kalau kita menjaga keseimbangan dan tak terlalu terseret pada salah satunya. Mark buat penjelasan yang lebar soal ini. Baginya otak perasa itu tak bisa menyeret kita terlampau jauh sehingga kita kehilangan nalar tapi juga tak mungkin diabaikan.
Mark mengajak kita menengok Nietszche. Pria pesakitan yang hidupnya banyak sekali alami derita. Deklrasinya tentang Tuhan telah Mati mencoba mengajak manusia untuk keluar dari mental budak. Mental yang membuat manusia tak memiliki harapan sendiri karena hidupnya digantungkan pada kepentingan orang lain. Nietszche membawa ilmu pengetahuan sebagai kuasa baru bagi manusia. Tapi Nietzche pula yang memberi kabar suram dari kemajuan.
Kemajuan pada kenyataanya memperbudak manusia. Keunggulan tekhnologi hari ini malah membawa manusia dalam petaka virus yang tak bisa diramalkan. Manusia mulai berkubang dalam masalah tapi manusia pula yang mampu mencipta harapan. Nietzche katakan orang musti melampui harapan dengan menerima kenyataan. Raihlah apa yang ada serta nikmati saja pengalaman apapun yang dialami.
Tapi berbeda dengan Immanuel Kant. Pria paling disiplin dalam hidup dan kelak dirinya yang menyatakan pertama kalinya: manusia memiliki martabat dalam dirinya yang harus dihormati. Kant mungkin seorang rasional yang kaku tapi melaluinya akal sehat dijernihkan dan prinsip moral dikembangkan. Argumen Mark Manson berakhir di sisi ini.
Manusia tumbuh dengan peringkat kesadaran yang berurutan. Pada fase anak yang tumbuh adalah eksplorasi. Keinginan untuk menikmati apa yang dianggap menyenangkan. Tumbuh kemudian fase remaja yang muncul adalah transaksi. Kita melakukan sesuatu asal ada imbalan yang menyenangkan. Fase paling penting adalah kedewasaan dimana tindakan kita menjadi sebuah kebiasaan yang bisa memberi makna.
Itulah yang oleh Immanuel Kant dinamai dengan kesadaran. Katanya: nilai tertinggi dalam alam semesta adalah sesuatu yang dipandang sebagai nilai itu sendiri. Satu satunya makna sejati bagi eksistensi adalah kemampuan untuk membentuk nilai. Anjuran yang jadi titik argumentasi Mark Mansson kali ini agak berbau filosofis. Ia ingin membawakan kembali gagasan Immanuel Kant dalam membangun kesadaran.
‘Bertindaklah dengan mendudukan kemanusiaan, baik berlaku untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, senantiasa sebagai tujuan, bukan sarana’
Harapan itu bisa tumbuh kalau kita dalam membangun hubungan apa saja selalu meletakkan tujuan sebagai nilai tertinggi bukan sarana. Harapan hancur karena kita selalu memperlakukan manusia lain sebagai sarana bukan tujuan. Kejujuran itu sepenuhnya baik karena kejujuran adalah satu-satunya bentuk komunikasi yang tidak memperlakukan orang lain sebagai sarana.
Salah satu contoh dari buku ini yang mengaggumkan adalah pengurbanan bikhsu yang melawan kekuasaan diktator Ngo Dinh Diem. Penguasa Vietnam Selatan yang dikagumi oleh Barat. Tumbuh menjadi Tiran dengan menempatkan sanak familinya dalam posisi penting. Ngo Dinh Diem juga membenci penganut Budha. Padahal 80% warga Vietnam adalah seorang Budhis. Ngo Dinh Diem menolak upacara Budha, menghancurkan pagoda-pagoda seisi negara dan rahib Budhis terlantar dalam kemelaratan.
Hingga pada 10 Juni 1963 protes Buhdis berlangsung mengejutkan. Thich Quang Duc, rahib tua yang demo di jalan, duduk di atas bantal dalam posisi lotus menyiramkan bensin ke tubuhnya lalu membakar diri. Quang Duc disaksikan banyak warga jalanan membakar tubuhnya dengan tenang meski semua orang menjerit. Potret dirinya membakar diri itu mengejutkan dunia dan Ngo Dinh Diem dianggap penguasa keji yang musti dibasmi. Keluarga Ngo Dinh Diem kelak terbunuh dan dirinya dikudeta.
Penderitaan adalah konstanta universal. Tak bisa dihindari seberapa banyak anda berkelit. Maka mengutip Plato dan Aristoteles, hidup bukanlah tentang kebahagiaan, tetapi tentang karakter, menumbuhkan kemampuan untuk menanggung penderitaan dan berkorban secara tepat-itulah harapan yang bisa memantul dan dipantulkan. Quang Duc yang membakar diri dengan tenang sebenarnya telah mengirimkan pesan berantai yang kuat: diktator itu membahayakan siapa saja.
Buku ini agak lebih ‘berat’ ketimbang yang pertama. Urainya selain berbau filosofis juga membentangkan apa yang hilang dari buku-buku motivasi sekarang ini, kesederhanaan tanpa harus diikuti dengan tuntutan tuntutan praktis. Mirip sebuah rangkain refleksi buku ini hendak mencoba mematangkan apa yang hilang dalam hidup masyarakat modern: harapan.
Yang saya sukai dari Mark Mansonn adalah kritikanya pada gaya hidup hari ini. Mirip dengan buku sebelumnya ia kritik pandangan hidup yang menginginkan kesenangan, selalu menyukai hal-hal sepele, terlampau mudah fokusnya untuk diallihkan dan mengutuk pandangan yang selalu orientasinya pasar. Sebuah kritik atas budaya kapitalisme yang remeh tapi menusuk pandangan kita.
Mark mulai melihat kita hidup dalam keinginan untuk selalu mendapat kenikmatan, selalu mencandu hal-hal remeh sehingga kita mudah rapuh dan karena itu kita selalu mengagungkan kemerdekaan. Penyakit masyarakat modern yang dulu sempat digelisahkan pula oleh Erich Fromm. Nyaris serupa dengan resep Erich Fromm, manusia musti kembali untuk berani mengikat komitmen pada hal-hal prinsip yang mendasar.
Buku ini memang pengantar ringan. Dunia menyukainya karena anjuranya sederhana dengan dibalut oleh argumen para filosof. Tiap kali baca buku Mark Manson saya seperti diseret dalam argumentasi yang kocak tapi unik dan mengejutkan. Terutama contoh-contohnya yang selalu informatif. Jika disebut kelemahan buku ini kurang padat dalam menyusun argumen dan selalu memandang sebelah mata peran agama.
Tapi Mark Manson mengingatkan kita untuk selalu menyangsikan kebiasaan yang lazim sekarang ini. Mencandu media sosial, selalu panik kalau HP menyala dan terseret oleh acara televisi. Bahkan keinginan kita untuk mendapatkan kenikmatan dalam hal apa saja. Buku ini secara ringkas bisa dikatakan upaya kita untuk mampu menahan nafsu yang bisa membuat kita mampu menanam benih harapan!