Tanpa adanya tujuan yang dirumuskan dengan jelas, kita menjadi orang yang setia melakukan pekerjaan sepele sehari-hari sampai diperbudak olehnya (Robert Heinlein)
***
Saya terkejut mendengar berita tentang kematian siswa SMP Negeri 1 Turi Sleman DIY. 249 siswa melakukan penyusuran sungai dengan pengawalan yang minim dan tidak berkoordinasi dengan masyarakat setempat. Delapan orang meninggal karena kegiatan ini. Keteledoran guru olahraga yang juga pembina Pramuka tidak mengkomunikasikan kegiatan itu pada kepala sekolah dan orang tua. Ia menganggap kegiatan itu biasa, karena rata-rata siswa berasal dari sekitar sungai. Cara pandang yang meremehkan dan tidak meletakkan pengetahuan sebagai alat ukurnya.
Bayangkan saja kegiatan penyelusuran sungai dengan 249 siswa di tengah suasana hujan, dikawal enam pembina dengan satu orang yang menjaga tas. Hanya ada lima pembina untuk 249 siswa! Saya lalu menebak apa yang terjadi di sekolah ini sebenarnya lemahnya koordinasi.
Saya merasa situasi ini tidak terlalu istimewa. Sekolah yang terbiasa melakukan kegiatan pembelajaran, kegiatan itu musti dipatuhi oleh semua siswa dan tak ada jaminan keamanan, apalagi menyenangkan. Sedari awal, sekolah telah menyusun semua aktivitasnya berdasarkan kebiasaan dan kepentingan sekolah. Pengalaman saya menjadi wali murid jarang sekali sekolah membiasakan diri untuk membagi gambaran program awal pada masing-masing orang tua.
Terutama sekolah negeri yang sudah punya legenda tentang mutu. Tiap kegiatan pembelajaran punya tujuan untuk meningkatkan pengalaman dan pengetahuan siswa. Keyakinan itu dipupuk sejak awal anak masuk sekolah. Di tempat itu akan diberi apa saja pengetahuan dan praktik pembelajaran yang berguna untuk hidup di masa depan. Keyakinan itu dibalut dengan kepercayaan diri sekolah atas kemampuanya mendidik siswa selama ini. Mereka percaya semua kegiatan sekolah -apapun itu bentuknya- untuk meningkatkan kualitas siswa.
Kapan orang tua terlibat? Kalau ada tambahan biaya atau sosialisasi program yang mungkin butuh biaya. Saya sering sekali diajak pertemuan dengan sekolah melalui rapat yang melibatkan banyak orang tua di mana kepala sekolah bicara kesana kemari. Tentang mutu, kualitas, kemenangan kompetisi hingga diraihnya juara. Nyaris tak ada diskusi dan debat mendalam. Monopoli kepala sekolah mendominasi seakan dirinya yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak.
Percaya diri kalau semua kegiatan sekolah tak usah dipertanyakan apalagi dievaluasi. Katanya sang pembina SMP Negeri Turi saat diingkatkan kegiatanya yang bahaya hanya menjawab dengan sinis: ‘hidup dan mati itu di tangan Allah’ Kalimat yang menusuk dan menghina iman serta akal itu yang membawa kecerobohan. Pernyataan yang mencerminkan bukan hanya arogansi tapi sikap merasa lebih tahu, paling paham dan lebih mengerti. Lagi-lagi itulah yang lazim terjadi di sekolah.
Sekolah selalu merasa ‘lebih tahu-mengerti-paham’ pada kegiatan pembelajaran yang diselenggarakannya. Hampir tak ada kesempatan siswa untuk mempertanyakan maksud dan tujuan. Apalagi kegiatan Pramuka yang nyaris wajib dilangsungkan di semua sekolah. Saya punya pengalaman buruk dengan aktivitas pramuka: senioritas sangat berperan besar, kegiatannya kadang menantang bahaya, dan semua aktivitas dikatakan-oleh pembinanya- untuk tujuan petualangan, kemandirian dan bekal masa depan.
Seolah yang tahu masa depan itu pembinanya ketimbang diri kita sendiri. Sudah waktunya status Pramuka itu dikategorikan sebagai kegiatan esktra bukan wajib. Alasan yang masuk akal adalah zaman yang sudah berubah: petualangan anak tak lagi ditentukan dengan pertemuan lewat alam dan mengenal alam bisa tidak melalui Pramuka. Dua hal ini penting karena jadi salah satu legitimasi peran Pramuka. Alam lingkungan dikenal bisa melalui hidup warga sekitarnya dan kegiatan mengenal alam tak musti dengan pertaruhan nyawa segala.
Bakunya kegiatan Pramuka telah menciptakan kebiasaan yang tak lagi perlu dipertanyakan apalagi dikritisi. Gejala yang hampir terjadi pada semua sekolah: pembelajaran berlangsung secara rutin tanpa berusaha untuk memperbaharui apalagi mengganti. Sekolah bukan membawa rasa percaya diri pada siswa dan senang ikut kegiatanya tapi takut serta kuatir jika tak bisa mengikutinya. Ada anak yang meninggal yang ikut kegiatan susur sungai lebih karena rasa takut.
Pelajaran pentingnya dari musibah ini adalah sekolah waktunya memperhatikan kebutuhan dan hak siswa. Tak mungkin lagi dipertahankan cara pembelajaran yang mengancam nyawa siswa apalagi praktek pembelajaran yang menciptakan rasa takut pada siswa. Pasti polisi akan menyeret para pelaku yang dianggap bertanggung jawab dan sekolah yang melakukan tindakan ini penting untuk dihukum secara administratif. Bukan hanya para pembina pramukanya, melainkan kepala sekolah ikut bertanggung jawab.
Pelajaran utamanya kita perlu merombak lagi kegiatan ekstrakurikuler. Sebaiknya kegiatan itu pilihan bukan kewajiban. Sebaiknya kegiatan itu menyenangkan bukan menakutkan. Lebih baiknya lagi kegiatan itu melibatkan siswa dan orang tuanya. Terutama penjelasan atas maksud, tujuan dan bentuk kegiatan itu sendiri. Kini waktunya sekolah tak lagi memonopoli proses pembelajaran karena memang zaman telah banyak berubah.
Keterlibatan orang tua, mengajak aktif siswa, bahkan merencanakan kegiatan secara bersama akan memberi pembelajaran berharga. Sekolah bukan lagi kamp dimana siswa seperti ternak yang dimobilisasi untuk kepentingan segelintir guru, melainkan anak-anak merdeka yang bisa memahami bahwa belajar itu menggembirakan, menantang, dan menjamin rasa aman. Sebaiknya kita mengembalikan sekolah kembali ke fungsi dasarnya.
Melatih anak menggunakan akal, mempersiapkan anak menjemput masa depan dan memberikan rasa percaya diri anak atas potensinya. Semua itu tak lagi bisa dilakukan oleh sekolah sendiri. Libatkan masyarakat, ajak orang tua untuk usul dan pahami bahwa siswa itu subyek pembelajar bukan objek. Inilah tragedi yang mustinya mendorong menteri pendidikan untuk mengubah filosofi sekolah hari ini: belajar itu kebutuhan siswa bukan ketentuan sekolah yang membebani apalagi menakutkan.
Jangan sampai peristiwa ini terulang lagi. Sudah banyak musibah menimpa lingkungan pendidikan kita belakangan ini. Kekerasan antar siswa, brutalitas anak sekolah hingga pembelajaran yang berbahaya. Saatnya kita tak lagi menengok kurikulum tapi menyaksikan sekolah sekitar kita: apa memang benar anak-anak itu gembira datang ke sekolah atau lebih karena itu menikmati kebiasaan saja. Yang lebih penting: benarkah sekolah itu memberi pelajaran yang berharga untuk anak-anak kita atau sebenarnya mereka itu menjalankan rutinitas yang tak banyak manfaatnya untuk masa depan anak-anak kita? (EP)