Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan (Pramoednya Ananta Toer)
***
Nyaris seluruh jajaran pejabat di negeri ini suka sekali menyebut kata “investasi”. Dimanapun acaranya dan apapun bentuk forumnya. Investasi adalah kata sakti yang bisa memecahkan segala masalah. Presiden adalah orang pertama yang paling meyakinkan jika bicara tentang kata ini. Selanjutnya, para menteri yang dengan antusias mengatakan kalimat ini berulang-ulang.
Mungkin kalau dirunut sejarahnya, kita bisa katakan Soeharto yang memulainya. Membuka negeri ini dengan penanaman modal asing melalui aturan yang terbuka. Investor tambang yang pertama kali datang lalu disusul pengusaha hutan kemudian berdiri pabrik apa saja: mobil, pakaian, barang elektronik, hingga makanan. Mereka semua disebut sebagai investor yang memberi banyak lapangan kerja.
Ia menjadi magnet bagi warga yang ingin mendapat pekerjaan. Buruh menjadi lapisan penopang investasi. Banyak kota besar dihuni oleh buruh yang kemudian diantara mereka mendirikan serikat buruh. Kekuatan progresif untuk melindungi buruh dari kebuasan para pemilik modal yang berpedoman mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Buruh menjadi pelopor bagi kesadaran atas hak upah maupun perlakuan yang bermartabat. Jelas negara tak berada dalam kepentingan yang sama dengan buruh. Pengusaha yang punya segalanya ingin negara melindungi ekspansinya. Maka disusunlah kekuatan pendukung yang terdiri atas aparat dan aturan. Hampir selama masa Orde Baru konflik antara buruh dan majikan mewarnai sejarah perjuangan menuju demokrasi.
Kita mengenal Marsinah seorang buruh yang dianiaya aparat hanya karena ingin kenaikan upah. Secara terang-terangan aparat memperlakukan dirinya sebagai pelindung dan pelayan perusahaan. Praktik yang hampir tak berkesudahan ini membawa banyak korban dan efek. Diantaranya adalah keutamaan investasi yang mengalahkan segalanya. Semua yang berhubungan dengan investasi musti dijamin perlindunganya.
Kini Soeharto sudah tumbang dan harapan baru tentang Demokrasi menyala begitu rupa. Tapi demokrasi harus mengakomodasi investor. Lapisan sosial yang memiliki kasta istimewa itu menyediakan segalanya yang menjadi syarat dasar demokrasi: uang dan lapangan pekerjaan. Dua area yang jadi landasan hidup berbangsa itu telah menjadi ideologi hidup yang sesungguhnya. Kita mengutamakan uang dan lapangan pekerjaan diatas segalanya. Kita anggap itulah kunci hidup bernegara.
Hari ini kita menyaksikan pemujaan atas itu semua terjadi. Seorang Menteri -yang saya lupakan namanya- mengatakan penanganan korupsi yang tegas bisa mengancam investor. Menteri lainnya mengatakan bahwa pendidikan harus ramah pada dunia investasi. Menteri satunya lagi menyebut kalau aturan hukum sebaiknya mengutamakan kepentingan investor. Ringkasnya investasi jadi tujuan hidup berbangsa. Investor menjadi Tuhan bagi penguasa hari ini.
Maka muncul Omnibus Law, suatu aturan yang dipersembahkan untuk para investor di manapun mereka berada. Bisa di Bumi atau planet mana pun. Silahkan datang ke Indonesia menanamkan modal dengan tanpa halangan. Tak usah khawatir dengan buruh apalagi ijin usaha karena semuanya akan dipermudah. Yang penting datang, tanam modal, ambil keuntungan, dan pemerintah akan mengamankan.
Investor telah jadi sembahan baru bangsa ini. Dikurbankan apa yang berharga dan menjadi identitas bangsa ini: lingkungan asri dan nyaman kelak akan gampang untuk di-eksploitasi dan diubah fungsinya, hak kaum buruh yang dulu dijamin oleh UU kini banyak yang dilucuti dan malahan hak cipta sekalipun akan mudah untuk dimusnahkan.
Investor telah menaklukkan kehormatan bangsa ini. Kedaulatan yang dulu diperjuangkan kini tak ada artinya karena investasi bisa memusnahkan segalanya: kekayaan alam hanya untuk diperjual-belikan, martabat rakyat kecil yang jadi buruh tak lagi mendapat perlindungan, dan relasi antara rakyat dengan perusahaan tak bisa setara seperti yang diharapkan. Keyakinan buta pemerintah pada investasi telah menciptakan fanatisme yang mengerikan.
Terbit aturan omnibus law yang kini dikritik sana sini. Tanggapan yang muncul malah memalukan: aturannya salah ketik, belum dibaca, atau berikan tanggapan ke DPR saja. Seolah pemerintah sudah serahkan semua usulan aturan lalu parlemen diminta untuk memutuskan dan jangka waktu untuk menuntaskan itu semua: 100 hari. Bangsa ini seperti berada dalam sebuah hajatan sehingga semua pejabat dituntut untuk menjadi penerima tamu yang ramah, sopan bahkan memberi apa yang diinginkan oleh sang tamu.
Pertanyaanya:
“Begitu miskinkah bangsa ini sehingga untuk atasi semua persoalan hanya investasi yang diandalkan? Begitu tak terhormatnya bangsa ini sehingga untuk mendatangkan investasi kita harus permudah segalanya? Atau dimana wibawa bangsa ini sehingga untuk memikat investasi kita menjual rakyat sendiri dengan murahnya? Tak harus dilindungi dan dibiarkan dieksploitasi? Lalu apa bedanya hidup di alam penjajahan dengan hari ini?
Dulu kita mengenal Romusha dimana rakyat menjadi tenaga murah untuk bangun apa saja. Bahkan kita mengenal tanam paksa dimana petani disuruh menanam tanaman yang digunakan untuk ekspor. Malahan kita juga menyaksikan bagaimana buruh kereta api mempunyai kesadaran pertama kali akan apa arti kedaulatan. Mereka adalah lapisan yang sadar arti kedaulatan dan berani menentang imperialisme. Kita menjadi bangsa yang merusak diri sendiri dan apa yang kita miliki.
Betapa tak berharganya anugerah Tuhan yang berwujud lingkungan kalau untuk investasi kita mengijinkan segalanya? Membiarkan alam rusak karena ijin tentang dampak lingkungan diabaikan dan sawah mudah sekali disulap untuk jadi pabrik? Meloloskan kejahatan lingkungan hanya karena mereka membawa investasi yang menjanjikan? Lupakah kita kalau sudah lama alam kita rusak dengan investasi tambang, kelapa sawit hingga batu bara yang efeknya sudah kita rasakan?
Jujur sebenarnya apa tujuan kita hidup berbangsa dan bernegara ini? Mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya atau memberikan kesejahteraan bagi rakyat semuanya? Siapa yang sebenarnya kita utamakan di negeri ini: rakyat miskin yang banyak jumlahnya dan pemegang kedaulatan sesungguhnya atau para investor yang hanya bermodal uang sebanyak-banyaknya?”
Tuan Presiden
Berikan jawab terus terang kepada kami biar anda tak menyesal karena tercatat dalam sejarah sebagai orang yang mengubur kemerdekaan setelah diperjuangkan ratusan tahun lamanya. Jangan biarkan ambisimu mendatangkan investasi hanya menimbulkan kepanikan ketimbang kegembiraan bagi rakyat yang dulu memilihmu. Hari ini sejarah akan memastikan siapa dirimu sebenarnya? Pemimpinan rakyat atau pelayan investor! Anda adalah orang yang memastikan apakah ideologi bangsa ini tetap Pancasila atau pencarian laba sebanyak-banyaknya bagi kepentingan para pengusaha dimana saja mereka berada. (E.P)