Jadi di dalam al Qur’an seruan perang dan belas kasihan selalu ditempatkan berdampingan: kaum beriman berulang-ulang diperintahkan untuk memerangi “sampai tidak ada lagi perlawanan dan semua ketaatan hanya kepada Allah”, tetapi sekaligus mengatakan bahwa saat musuh meminta damai, maka tidak boleh lagi ada permusuhan lebih lanjut (Karen Amstrong)
***
Saya senang mendapat kesempatan ke Palestina. Terbang dari Jakarta menuju Abu Dhabi lalu melanjutkan ke Kairo. Dari Kairo saya menempuh perjalanan nyaris sembilan jam menuju perbatasan Israel. Di perbatasan saya menyaksikan drama itu: paspor saya tertahan bersama istri. Dianggap mungkin akan menetap di Palestina. Beruntung pemeriksaan tak lama dan paspor itu dikembalikan. Tapi saya tahu perbatasan itu dijaga sangat ketat.
Israel merupakan salah satu negara yang punya wajib militer. Dimana-mana kita bisa menemukan serdadu. Bersenjata lengkap dengan tampang yang tak pernah senyum. Masjidil Aqsa yang dijadikan pusat dari tiga agama besar seperti benteng kokoh yang dijaga ketat. Di hampir semua pintu masuk dan keluar ada tentara. Parasnya masih muda dengan mata yang mengawasi siapapun yang berkunjung. Beberapa kali teman saya kena geledah. Rasanya kita seperti dihantui oleh ancaman.
Israel bukan negeri serdadu tapi Yerusalem sudah mirip tangsi militer. Dimana-mana aparat berkeliaran. Mengawasi siapa saja yang hilir mudik. Pantas kalau masjid disana tak ramai karena pembatasan dilakukan dengan serius. Seorang Imam di salah satu masjid yang jaraknya lebih dari 5 km dari Aqsa sudah 24 tahun tak bisa berjamaah di Masjidil Aqsa. Pemerintah Israel melarangnya. Warga Palestina sudah seperti virus. Dibatasi geraknya. Saya menyaksikan sendiri seorang pemuda digeledah cukup lama ketika mau sholat Jum’at.
Penggusuran penduduk jadi berita biasa. Sejak bus saya meyentuh Israel guide lokal sudah memberitahu informasi penjajahan: Israel menggusur pemukiman, menciptakan koloni bahkan mengganti perkampungan Palestina dengan Yahudi. Etnis yang dulu pernah dibasmi oleh Hitler itu kini mewarisi ajaran holocaust. Pemusnahan bangsa Palestina. Secara sistematis, didukung oleh Amerika dan direncanakan dengan cara sadis. Saya baru kali ini bisa melihat dengan takjub ‘kebenaran’ sebuah ramalan.
Saat pembebasan nanti akan terjadi. Di tangan seorang Imam Mahdi yang akan mengalahkan Dajjal. Di kota yang waktu itu saya datangi dan danau yang dikenal dengan nama Tiberias. Kisah ini semula tak saya yakini tapi narasi yang disusun seperti kisah pembebasan. Para Yahudi yang diburu lalu dibunuh serta kota Palestina yang dibebaskan. Kisah zaman akhir yang dipercaya sebagai bagian Iman. Bahkan para penduduk Yahudi juga meyakininya dan menanam pohon yang kelak bisa digunakan untuk berlindung.
Kisah hari akhir itu bukan kebinasaan tapi pertarungan luar biasa. Antara kekuatan agresor dengan sang pembebas. Uniknya sang pembebas itu adalah Isa. Nabi yang paling penyayang, lembut dan terkenal dengan jargonya: jika kau ditampar pipi kiri serahkan pipi kananmu. Mungkin Isa jadi pembebas karena manusia sudah di luar batas. Mengakumulasi kekuasaan dengan cara merampas milik orang lain. Palestina adalah kisah tragis tentang ketidak-adilan sehingga jadi tempat munculnya peran Imam Mahdi.
Tuhan memberikan orang baik di tengah wilayah yang jadi sengketa. Saya menyaksikan banyak dari Palestina tapi belajar awal dari Urutsewu. Dusun kecil yang luasnya mirip Yerusallem yang kini sedang berebut hak atas tanah. Para serdadu mengklaim itu tanah mereka. Bisa digunakan untuk apa saja asalkan kepentingan TNI. Sedang petani percaya itu tanah mereka yang selama ini menjadi modal hidup sehari-hari. Bertani, berkebun hingga menanam buah disana.
Sengketa itu sudah 10 tahun lebih. Para pejuang itu makin menua dan semangat mereka terus menyala. Mereka orang beriman yang percaya bahwa keadilan itu tak pernah terpejam. Seperti orang Palestina mereka punya kisah masa lalu: ketika kakek mereka mendiami tempat itu, hidup di atas tanah itu bahkan memiliki bukti kepemilikan di atas tanah ini. Saya merasa mereka seperti orang Palestina yang sedang berusaha menanam kisah abadi tentang keadilan. Keadilan yang memang akan tiba saatnya ketika mereka menolak untuk diam.
Warga Urutsewu seperti orang Palestina: mengajak semua anak muda untuk mendukungnya, melibatkan semua bukti untuk memastikan posisinya dan berani untuk berdialog tentang siapa yang paling berhak atas tanah ini. Serdadu Israel sama seperti para serdadu lainnya: memilih menggunakan senjata, kekerasan dan kecurigaan untuk siapa saja yang mau membantu. Saya takjub karena kisah hari akhir serdadu itu akan dibasmi oleh Imam Mahdi.
Imam Mahdi konsep yang diyakini dan jadi patokan Iman. Saya menyukainya karena Imam Mahdi tak datang untuk meluruskan Iman. Kedatanganya punya tugas dasar dan pokok: membasmi para perampas tanah. Artinya tanah adalah soal abadi yang penguasa tak bisa mengatasinya hanya dengan regulasi. Imam Mahdi yang kelak akan membereskannya. Kini Imam Mahdi tak lagi bisa ditunggu. Karena saya melihat mereka sudah muncul di Paletina dan Urutsewu.
Orang-orang yang tak mau dikalahkan hanya oleh senjata dan kecurigaan. Berasal dari manapun mereka tapi ikatan atas keadilan yang mempersatukannya. Keadilan pada tanah yang telah menjadi kediaman, muara untuk mencari nafkah bahkan kehormatan. Di Palestina maupun Urutsewu kebenaran tampak bukan dari retorika apalagi penampilan tapi perjuangan atas tanah yang tak bisa dipadamkan. Seperti api yang membakar semua ranting maka begitulah api itu memercik secara kecil tapi dimana-mana.
Ketika hari Jum’at pagi kami dilarang oleh panitia untuk berjamaah shubuh. Rakyat Palestina menyebut ada fajar kemarahan. Mereka melakukan aksi demo ketika shubuh tiba. Infonya ada 4 anak muda Palestina ditangkap dan sejumlah orang kena korban tembak Israel. Siang waktu saya sholat Jum’at udara kemarahan itu belum reda. Saya merasakan aliran protes itu muncul di mana-mana.
Tapi warga Palestina mirip dengan Urutsewu: ramah, terbuka dan hangat. Saya ingat ketika di Urutsewu disambut dan diberi banyak buah saat pulang. Di tanah Palestina saya mendapat sambutan serupa: anak-anak kecil berteriak tentang Indonesia lalu memberikan roti pada kami semua. Di petilasan Nabi Ibrahim saya diam sejenak: sang Nabi yang dulu bertanya tentang Tuhan itu sekarang mungkin akan bertanya kembali.
Tuhan mengapa ketidak-adilan yang terjadi di kehidupan manusia bisa bertahan begitu lama dan tiap orang musti menjadi martir untuk menegakkanya? Apa memang untuk menjadi orang beriman tak cukup hanya mengakui kekuasaanMu tapi juga menentang siapapun yang ingin berlaku sepertiMu? Saya percaya Nabi Ibrahim tahu pasti jawabanya. Di Palestina dan Urutsewu saya meyakini Iman yang bernada protes dan perlawanan. Melawan serdadu! (EP)