Sulit rasanya mengharapkan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, yang rekam jejaknya mendapat sorotan, bisa dan mau membongkar kasus korupsi yang melibatkan nama besar (Opini Tempo 13-18 Januari 2020)
***
Drama ini sudah kehilangan greget. Mula mula seru. Saat Komisioner KPU-Wahyu Setiawan-kena OTT. Suap yang diberikan oleh politisi PDIP. Nyaris sekjen PDIP kena tangkap. Tempo melaporkan kalau tim KPK terhambat. Saat mau menangkap Hasto-sekjen PDIP- maupun ketika akan menyegel kantornya. Rakernas PDI P dimeriahkan bukan oleh pidato Megawati tapi korupsi yang diperankan oleh kadernya.
PDIP tak sendiri. Anggota partai korupsi bukan cerita istimewa. Bahkan ketua partai ditangkap bukan hal baru. Yang istimewa adalah kisah KPK. Lembaga yang dulu garang kini malah tak ada nyali. Anggotanya bahkan diperiksa oleh Polisi di PTIK. Malahan sempat diminta test urine segala. Mengada-ada dan menghina.
Mereka adalah staf KPK bukan rombongan mafia. Tugas mereka menangkap sekarang dihambat. Pertama kalinya oleh UU KPK yang baru disusul oleh sikap petugas hukum lain yang meremehkan kerjanya. Sulit untuk tak menyebut ini semua karena ulah parlemen dan sikap Presiden. Dua-duanya merestui pembelengguan KPK. Sehingga KPK seperti singa yang berubah jadi siput.
Tapi Fajrul seperti biasanya. Jubir Presiden minta waktu KPK mengamalkan UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Pesan ini disampaikan dalam wajah yang tenang, sumringah dan tak menyesal. Seakan UU KPK baru ini sangat sakti, ampuh dan pasti mujarab memberantas korupsi.
Fajrul buta kalau UU yang baru ini memangkas banyak kerja gemilang KPK. UU inilah yang didemo mahasiswa dimana-mana. UU inilah yang membuat nyawa mahasiswa melayang jadinya. Dan kini UU baru itulah yang membuat koruptor dengan KPK tak imbang posisinya. Harusnya KPK bisa lebih garang malah yang sebaliknya terjadi: menggeledah butuh waktu, butuh ijin dan butuh sabar!
Hasto yang stafnya ketangkap ringan sekali bicara. Padahal keduanya staf dan kader Hasto Kristiyanto di PDIP. Gayanya membantah ringan saja: bilang sibuk mempersiapkan Rakernas, katanya sakit perut sampai beri info rumahnya kebanjiran. Yang tak dijawab adalah mengapa dua stafnya sampai menyuap segala? Apa itu perintah atau memang tugas mereka bidang ‘suap-menyuap’?
Jubir Presiden dan Politisi seperti senada. Meyakini KPK bekerja optimal dan tak dibebani oleh UU yang baru. Jujur kalau melihat penangkapan kali ini terang KPK mengalami kesulitan: tak cepat melakukan penggeledahan, malah kena penggeledahan aparat hukum segala dan semua proses musti menunggu perijinan dari Dewan Pengawas. Sebagai rakyat kita bertanya ini korupsi mau dikembangkan atau dimusnahkan?
Kalau dikembangkan tentu jalan utama yang ringkas adalah memasung KPK. KPK tak bisa segesit dulu: OTT, menggeledah, melaporkan ke publik segera dan memastikan siapa saja yang terlibat. KPK kini bertindak dalam suasana yang penuh aturan: komisionernya tak terusik ketika penangkapan pelaku terhambat bahkan memaklumi semua tindakan dari institusi atau tempat dimana tersangka bekerja.
KPK bersangka baik dengan koruptor. Yang penting pencegahan: itu yang berulang-ulang dikatakan oleh Ketua KPK. Salah satu pencegahan yang ideal adalah berprasangka positif pada kejahatan korupsi. Bahwa kejahatan itu bukan untuk dihukum tapi terus diingatkan. Kalau perlu malah didoakan semoga para pelaku sadar bahwa perbuatanya itu tergolong dosa. Hukuman hanya ada di neraka bukan dunia.
Maka UU baru niatnya bukan menggulung korupsi tetapi memahaminya. Fajrul sebagai jubir Presiden percaya UU baru KPK dapat memenuhi harapan. Terutama harapan para koruptor yang sekarang ini yakin kalau KPK tak seperti dulu lagi. Semua urusan KPK perlu ijin, waktu dan prosedur. Kita tak lagi menganggap korupsi harus diatasi tapi mulai dimaklumi.
Kini kita tinggal menunggu pemakaman KPK. Bukan melalui pembubaran tapi permakluman kalau urusan korupsi hanya meyentuh orang tertentu saja, bukan pengurus penting partai, apalagi sekjen partai. Korupsi yang penting bukan efek perbuatanya tapi siapa pelaku yang bisa dikurbankan sebagai tumbal. Sebab yang membasmi korupsi bukan KPK yang mandiri tapi KPK yang harus tahu diri: tahu isi UU baru, tahu siapa yang mengangkat mereka dan tahu janji yang sudah mereka ikat pada yang memilihnya.
Kita kecewa tapi kita percaya rakyat pasti tak diam begitu saja!