“Apapun yang dilakukan AS tidak akan dapat menggantikan pembalasan yang akan dilakukan Iran” -Susan Rice, Mantan Dubes AS untuk PBB
Banyak dari kita yang mencaci maki Amerika Serikat. Dibilang kapitalis, liberal, atau hedonis. Khutbah apa saja yang kaitannya dengan gerakan alternatif globalisasi yang melulu dikecam adalah AS. Malah, baik diskusi kiri atau kanan, AS selalu jadi tertuduh utama.
Begitu pula kalau bicara sejarah 65, maka AS pula yang jaditertuduh utama. Sejumlah penelitian menunjuk hidung Paman Sam karena yang memberikan data hingga senjata untuk membasmi PKI. Sederhananya, AS bisa dibilang biang dari semua masalah.
Protes atau demo soal Palestina, AS yang selalu dituduh. Kantor kedutaan AS yang di sini saya rasa jadi tempat yang paling sering jadi sasaran demonstrasi.
Terorisme pasti banyak yang dikaitkan dengan AS. Ibaratnya, semua persoalan dunia ini hanya AS yang bertanggung jawab sepenuhnya. Hanya, sialnya atau untungnya AS tak pernah menjadikan Indonesia musuh utamanya. Indonesia boleh dikatakan sekutu baiknya, walau sebagian kecil atau sebagian mahasiswa tak suka AS.
Jadi, rasanya capek saja yang kita dapat dari mengecam AS. Pasalnya, memang tak ada dukungan yang besar. Rasanya, bosan saja melawan AS tapi hanya sebatas tulisan atau omongan.
Betapa frustasinya kita menjadi aktivis yang ingin melawan kapitalisme tapi tak bisa melawan apapun kekuatan adidaya ini. Atau mungkin ini juga salah satu berkah karena melawan AS cukup sampai retorika saja! AS tak menanggapi dan pemerintah juga tak mendukung sama sekali.
Beda sekali dengan Iran. Negeri Syiah ini memang sejak lama jadi musuh AS. Waktu revolusi Iran pertama kali terbit, yang ditendang dari negeri ini adalah AS. Staf Kedutaan AS pernah disandera. Maka, ketika AS membunuh jendral Qassim Soeleimani melalui serangan rudal hari jumat (3/1/2020), ini seperti menjebol batas emosi yang selama ini ditahan. Walau pernah jadi sekutu taktis, AS dengan Iran lebih banyak punya sejarah permusuhan.
Qassim Soeleimani adalah komandan Brigade Al Quds, yakni unit elite di jajaran Garda Revolusi Iran yang punya tugas melaksanakan misi revolusi Iran dan bertanggung jawab atas pengembangan pengaruh Iran di berbagai negara. Bukan mirip Kopassus, tapi lebih jauh lagi serupa dengan kekuatan NATO. Ingat, Iran sekarang ini punya sekutu paling kuat: di Yaman kelompok Houthi, Libanon ada kelompok Hizbullah, Suriah ada Presiden Bashar al-Assad, dan Palestinian Islamic Jihad yang mengontrol jalur Gaza dan Tepi Barat.
Iran bukan negeri sembarangan sehingga membuat AS setidaknya harus gentas. Mantan Menhan AS masa Obama, Leon Panetta, pernah bilang bahwa, “Kita telah mendekati perang besar.” PM Israel Beyamin Netanyahu mempersingkat kunjunganya ke Yunani saat peritiwa itu terjadi.
Bahkan, pengamat militer Israel, Samuel Cardillo, sampai bilang seperti ini. “Kecemasan utama adalah bagaimana Iran akan membalas karena mereka sangat pintar dan strategis. Mereka telah berpengalaman beberapa dekade dalam seni perang bayangan, investasi dalam serangan teroris, dan proxy. Kita bisa saja melakukan persiapan, tapi mereka punya kesempatan besar untuk menyerang secara tak terduga.”
Pengalaman menunjukkan kemahiran sekutu Iran dalam menyerang kekuatan AS, merujuk catatan Musthaffa Abd Rahman di Kompas pada 5 Januari 2020. Pada 1983, Kamp di Beirut dihancurkan oleh serangan bom bunuh diri Hezbollah yang menewaskan nyawa 241 orang. Lalu kamp militer AS di Dhahran, Arab Saudi, diserang ada tahun 1996 dengan menewaskan 19 orang.
Namun, AS juga bukan lawan yang mudah pastinya. Ribuan prajurit diterjunkan ke Irak sekarang ini. Lebih 60 ribu personel dan itu merupakan pasukan terbesar yang ditempatkan di Teluk sejak aneksasi Kuwait zaman Saddam Hussein. Di Kuwait sendiri ada 14 ribu pasukan AS. Singkatnya, AS sedang memindahkan semua pasukan ke Timur Tengah.
Abdol Bari Athawan, seorang pengamat Timur Tengah, meramal fokus serangan Iran bisa ada empat pilihan. Pnyerangan terbatas pejabat tinggi atau militer AS; penyerangan terhadap 15 markas militer AS di Irak (ada 5.300 personel aktif dan ribuan nonaktif); penyerangan terhadap markas militer AS di Teluk Persia seperti Base Udara Al-Adid di Qarae, Base Laut 5 di Bahrain, Base Darat AS di Kuwait, dan Uni Emirat Arab; atau penyerangan yang menarget militer AS di tanah Palestina selaku penasehat Trump atas tindakan militernya di kawasan.
Jadi, kalau konsisten mau memerangi AS, Iran memang kini adalah lahan yang tepat. Bukan Suriah apalagi Afganistan. Hanya, persoalan bagi ummat Islam di Indonesia adalah tentang keyakinan Syiah Iran. Ironis karena ajaran yang kita anggap sesat malah terbukti menjadi musuh pertama AS dan yang hari ini menyatakan diri melawan AS dengan kekuatan apapun. Pahitnya, AS akan mengajak sekutunya di Timur Tengah untuk membantu. Mereka di antaranya Arab Saudi, Israel, dan Bahrain. Iya, terselip nama Arab Saudi.
Makanya, ini bukan lagi soal teologi, tapi kedaulatan dan harga diri sebuah bangsa. Jendral Esmail Qa-ani pengganti Qassem Soleimani menyatakan dengan garang, “Kami bersabar lebih sedikit untuk menyaksikan (lebih banyak) sisa-sisa jasad ‘Setan Besar’ di Timur Tengah.” Unggahan cuitannya di Twitter hanya mengucapkan Bismilillahirrahmanirrahim. Sebuah deklarasi, perang psiko, atau tanda sesuatu yang baru?! Kita hanya bisa berdoa dan menunggu.(*)