“Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk pada kenyataan, asal yakin di jalan yang benar” -Gus Dur
***
Buku Menjerat Gus Dur sudah dibasmi pembeli. Kutipan babnya beredar dimana-mana. Terutama dokumen yang disusun oleh Fuad Bawazier. Pembagian tugas penggulingan Gus Dur rapi, sistematis dan tiap orang diberi mandat sesuai dengan kemampuanya. Mandat untuk mobilisasi hingga kampanye. Dana yang digunakan sampai 4 triliun. Kejahatan politik yang brutal, keji dan nista.
Dokumen itu melibatkan sejumlah pengurus HMI sebagai operator. Ada Akbar Tanjung, Anas Ubaningrum, Arifin Panigoro, Priyo Budhi Santosa hingga Azumardi Azra. Ibaratnya mereka adalah kakanda senior yang dihormati oleh lingkaran HMI (HMI Connection). Belum ada respon dari mereka atas isi dokumen itu. Baik itu bantahan apalagi gugatan pada penulis.
Dokumen ini memastikan betapa kekuatan politik HMI luar biasa. Mampu memobilisasi kekuatan apa saja dan menciptakan situasi pra-kudeta yang rapi. Mengikuti alur dokumen itu bisa dikatakan bahwa kasus Bullogate, Bruneigates maupun Ajinomoto hanya ciptaan. Glorifikasi atas persoalan yang sepele tapi diperbesar begitu rupa. Melalui tangan canggih media yang dibayar, aksi massa yang dibayar maupun partai politik yang berhubungan erat dengan Cendana.
Kejatuhan Gus Dur seperti tumbangnya harapan reformasi. Pria yang piawai dalam membangun gerakan oposisi, intelektual Islam yang berani dan tokoh demokrasi yang dihormati harus jatuh di tangan para oligarki. Tidak melalui kudeta tentara tapi cukup tangan para politisi yang memang tak ingin agenda Gus Dur dijalankan.
Taktik itu terpupuk oleh aktor politik yang sampai kini berkuasa: HMI connection yang digambarkan dalam dokumen ini dengan sangat menjijikkan, intelektual kampus yang menggiring opini mirip kawanan buzzer dan dilumasi oleh uang yang jumlahnya tak mungkin dilawan oleh siapapun juga. Sebuah kesepakatan culas dan memalukan!.
Tatanan politik kita ternyata tidak bisa mengandalkan pribadi yang berani saja. Gus Dur menjadi bukti betapa politik dikarantina oleh kepentingan sempit dan bahaya. Bertahanya tatanan politik semacam ini karena memberi keuntungan ganda bagi para aktor, ormas maupun partai politik yang bertahan hingga kini. Komplotan ini ternyata jauh lebih bahaya ketimbang angkatan bersenjata.
Gus Dur jatuh dengan lebih dulu distigma oleh kasus. Kasus ini fondasinya lemah tapi media menghidupkanya berulang kali. Para pemilik media yang ternyata juga politisi yang dibesarkan oleh Orde Baru (ORBA). Disebut nama Parni Hadi dan Surya Paloh. Para penguasa media yang berjasa dalam menciptakan kasus serta mengajak publik menghakiminya. Hoaks yang sukses sekaligus bahaya. Didukung oleh data palsu tapi bunyinya sangat nyaring.
Tapi opini tak mempan kecuali dengan desakan massa. Disebut HMI, KAMMI, Pemuda Pancasila, BEM hingga Ormas Islam lainnya yang mulai meniupkan tuduhan brengsek pada Gus Dur. Apa saja yang buruk dilekatkan pada Gus Dur: liberal, korup, tak becus hingga joke yang menghina. Kombinasi yang unik karena ormas ini mudah sekali disatukan oleh isu yang tak benar. Tanpa basis ideologi yang kuat ternyata nyaris semua Ormas mampu digerakkan oleh kekuatan oligarki.
Kecaman terus-menerus dilakukan seperti badai yang meniupkan api. Membakar kemana-mana dengan tujuan tunggal: singkirkan Gus Dur. Ketika itu semua berawal dari tindakan Gus Dur mengganti Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Tindakan yang ternyata sangat menyinggung para oligarki dan itu yang membuat kesepakatan najis disusun.
Meski tindakan Gus Dur itu merupakan puncak dari semua tindakan progresif lainnya: membiarkan Bintang Kejora berkibar karena itu tak dianggap menganggu, meminta maaf pada korban 1965 hingga mau mencabut TAP tentang Komunisme. Di samping sejumlah kebijakan mengusir semua benalu orde baru baik itu yang ada di sipil maupun militer.
Temuan ini penting, mendasar dan mengejutkan. Sebab melalui dokumen itu kita jadi tahu kalau Oligarki ini bekerja dengan tulang punggung diantaranya, ormas Islam yang wujudnya HMI hingga masjid di beberapa kawan untuk mobilisasi, para politisi muslim yang berada di sangkar partai, politisi serta pengusaha yang hari ini ada di seputar istana juga dan media yang dikendalikan begitu rupa.
Ormas Islam memang sejak dulu jadi kerisauan Gus Dur. Bisa mudah terjebak dalam persekutuan dengan elite hingga bisa dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan elite. Sungguh ironis dan tragis pemimpin umat Islam dikhianati oleh elite ummat yang didukung oleh organisasi muda Islam. Kita seperti menyaksikan kisah keruntuhan Islam abad pertengahan: akal licik, persekutuan bahaya dan pengkhianatan keji.
Kejatuhan Gus Dur membawa pelajaran yang penting, terutama bagi aktor-aktor gerakan yang mewarisi semangat Gus Dur. Pelajaran penting adalah mengenal siapa musuh kita. Dokumen itu memberi petunjuk gamblang siapa yang mencederai demokrasi, memasungnya bahkan membinasakan pejuangnya. Koalisi apalagi bersekutu dengan mereka, sudah diberikan contoh oleh Gus Dur, bahaya dan bawa malapetaka.
Dokumen itu seperti mengingatkan kita pada jalan terjal demokrasi. Kita sekarang ini berhadapan dengan semua yang pernah menjatuhkan Gus Dur: intektual, pengusaha, politisi hingga pemilik media itu masih punya peran. Mustahil kita bisa melawanya tanpa belajar dari apa yang dulu Gus Dur lakukan sebelum berada di istana.
Mengembangkan kesadaran kritis pada ummat Islam, melakukan advokasi terus-menerus pada ummat yang ditindas dan yang paling penting melakukan persekutuan dengan kekuatan progresif, bukan elite. Gus Dur menjadi martir dari sebuah pelajaran yang berharga tentang Demokrasi: perjuangan menuju kesana bukan hanya dengan militansi tapi juga taktik untuk tidak mudah terjebak dalam lorong KELICIKAN para oligarki.
Terimakasih Gus, anda memberi pelajaran yang mulia! (EP)