Oleh; Melki AS (pegiat Social Movement Institute)
‘Seseorang bisa saja jatuh cinta dan patah hati berkali-kali. Yang membedakan adalah cara mereka menghadapi patah hati. Terkadang sama seperti jatuh cinta, patah hati juga punya hak untuk dinikmati. Kesedihan dan kebahagiaan adalah dua perasaan yang sama. Tidak ada salahnya menikmati kesedihan sama seperti kita menikmati kebahagiaan. Tidak ada yang lebih superior dari keduanya, lalu mengapa kita harus merayakan kebahagiaan dan mengutuk kesedihan. Kita manusia memang suka membuat taksonomi, mengelompokkan sesuatu ke dalam baik dan buruk. Tidak semua yang menyenangkan itu baik, sama seperti tidak semua yang menyakitkan itu buruk’
***
Apa yang kita pahami soal cinta? Adakah ia hanya perasaan yang terhubung satu sama lainnya saja, atau sekedar gairah seksualitas atau sebagai tiket kebahagiaan dalam balutan prosesi yang disebut pernikahan. Atau bagaimanakah pandangan kita bilakah seorang yang dipercaya umat sebagai pembimbing spiritual ketuhanan tapi terlibat pada gairah yang sangat bernafsu dan terlarang?
Dalam buku ‘Surat-Surat Habel dan Veronika’ yang ditulis oleh Ajen Angelina, kita bisa melihat bahwa sebenarnya cinta tidak hanya dibangun oleh unsur perasaan semata akan tetapi rancang bangun dasarnya bisa dijelaskan lebih lanjut sebagai ilmu filsafat.
Memang pada dasarnya buku ini merupakan percakapan imajiner dari sang penulis sendiri. Tapi dalam bentuk surat menyurat. Dan sebagaimana surat menyurat, maka diperlukan dua orang aktif sekaligus untuk saling bertimbal balik di dalamnya. Akan tetapi, meskipun imajiner, buku ini mengajak kita untuk mencoba memahami filsafat secara sederhana. Dibentangkan dalam persoalan yang paling dekat dengan kita yakni cinta. Dengan buku ini jelas bahwa penulis ingin memberikan pemahaman bahwa setiap yang kita lakukan tidaklah se-linier apa yang selama ini dipahami. Maka itu, tidak heran kemudian ketika kita membaca buku ini, banyak sekali referensi dari berbagai filosof yang hadir dan memperkuat pemahaman yang hendak disampaikan penulis dalam buku ini, seperti Sigmund Freud, Plato, Aristoteles, Socrates, Thales, Eric Fromm, Alfred Adler, Soren Kierkegaard dan lain-lain. Dan tentunya dengan gaya yang sedikit nakal dan jenaka.
Dimulai dengan percakapan paling awal dimana Veronika mempertanyakan kepada Habel soal ciuman pertama yang mereka lakukan pada saat pergantian malam tahun baru. Dan ini menjadi kegelisahannya, terutama tentang kelanjutan cintanya karena Veronika sendiri tahu bahwa Habel ialah seorang Pastor. Dalam bab awal ini, penulis mengajak kita untuk memahami seperti apa filsafat itu sendiri. Adakah ia sebuah kebijksanaan atau hanya paradoks. Dimulai dengan Sigmund Freud; The Interpretation Of Dream, bahwa mimpi itu sebenarnya adalah pesan dari pikiran alam bawah sadar untuk pikiran sadar kita. Dimana pikiran kita dikuasai alam bawah sadar dan alam sadar. Alam sadar adalah alam yang menguasai kita saat sadar dan sebaliknya dengan alam bawah sadar. Sederhananya, mimpi adalah pesan alam bawah sadar tentang hal yang menganggu kita. Dengan teori ini, memadukan aktivitas yang telah terjadi dan mimpi yang mengulanginya, seakan Veronika ingin menggugat kebijaksanaan filsafat. Akan tetapi Habel meluruskannya bahwa dalam belajar filsafat, ada dua hal yang harus diketahui yaitu mereka yang mempelajarinya dengan hati dan nalar. Ini adalah dua hal yang berbeda. Bagi yang mempelajari filsafat dengan nalar, mereka hanya cerdas merumuskan pemikiran para filsuf tapi tidak pada penerapannya. Sementara mereka yang belajar filsafat dengan sepenuh hati, mempelajari nilai-nilai kebijaksanaan itu dan menjadikannya pedoman dalam hidup.
Dan di bab-bab berikutnya pertanyaan-pertanyaan filsafati itu menjadi semakin hidup. Dengan tema yang simple seperti hakikat jatuh cinta, apakah masa lalu, apakah kecemasan itu, apakah kebahagiaan, mengapa ada pikiran negatif, bagaimanakah hubungan antar takdir dan lain-lain. Diracik dan disajikan dengan pola ada yang bertanya dan ada yang menjawab, ada yang menggugat dan ada yang meluruskan, ada yang selalu pesimis tapi ada yang yang selalu optimis. Mungkin ini cara bagi penulis untuk memudahkan pembaca agar bisa memahami filsafat yang pada dasarnya memang suatu pelajaran yang berat dan kompleks.
Tapi penulis cukup cerdas dengan membentangkan narasi yang mengikuti kekinian; yaitu perbanyak quote tapi tetap memberikan nilai-nilai. Seperti contoh tentang apa yang dimaksud dengan kebahagiaan yang diserap dari analisa Soren Kierkegaad bahwa ‘menikah atau tidak, orang akan selalu menyesal. Jadi salah kalau ada yang ingin menikah karena ingin bahagia. Karena kebahagiaan itu adalah perasaan yang muncul dari pikiran dan tercermin dalam prilaku. Menikah, bukanlah cara untuk bahagia, tetapi orang harus bahagia dulu sebelum menikah’.
Buku yang asyik untuk dibaca.