Oleh : Zagarino Bima (Anggota KAHAM UII)
Upaya yang dianggap melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi nampaknya memasuki babak baru. Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat yang pro rakyat katanya, merumuskan sebuah perubahan terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang mana perubahan tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat termasuk para kalangan aktivis dan akademisi. Alih-alih memperkuat fungsi kelembagaan KPK oleh DPR seolah menjadi alasan utama dalam melakukan rancangan inisiatif ini. Tidak ada perubahan tanpa alasan. Bak sebuah rumah diperbaiki karena salah satu elemennya rusak, sebut saja tembok dan atap. Hal ini yang nampaknya sedang digarap oleh para dewan. Apakah benar Lembaga anti rasuah KPK ini secara fundamental perlu untuk “diperbaiki” dalam sebuah instrument undang-undang?. Saya rasa pertanyaan ini penting sebagai gerbang awal pengetahuan kita bersama.
Secara historis, KPK lahir atas mosi tidak percaya oleh masyarakat terhadap Kepolisian dan Kejaksaan sebagai Lembaga Penegak Hukum pasca reformasi.
Ketidakpercayaan tersebut disebabkan karena “mandulnya” kinerja Lembaga tersebut dalam upaya memberantas korupsi. Pada hari ini, KPK merupakan Lembaga yang memiliki kredibilitas tingkat dewa oleh masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan betapa tingginya antusias kepedulian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini. Asumsi yang timbul di masyarakat hari ini adalah upaya pelemahan KPK oleh DPR. Padahal disinggung diawal tadi bahwa tidak ada perubahan tanpa alasan untuk memperkuat fungsi KPK. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang kontradiksi.
Perlawanan substansi undang-undang yang terjadi hari ini mengakibatkan “civil war” bagi masyarakat, pemerintah, dan dewan. Hal ini dibuktikan dengan protes masyarakat baik pegiat anti korupsi maupun koalisi masyarakat pada umumnya untuk menolak rancangan undang-undang tersebut dimana jika diamati nampaknya DPR dianggap sebagai “musuh” bersama untuk peristiwa kali ini. Hal tersebut diperkuat dengan desakan terhadap Pemerintah untuk segera mencabut rancangan undang-undang tersebut karena dianggap akan melemahkan fungsi KPK itu sendiri. Paling tidak ada 7 (tujuh) poin perubahan yang dianggap melemahkan KPK, salah duanya, mengenai kedudukan KPK sebagai Lembaga independen dan pembentukan dewan pengawas.
KPK merupakan Lembaga independen. Dimana dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya adalah bebas dari kekuasaan manapun. Namun dalam usulan dan akhirnya disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) DPR RI bahwa “kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen” jelas Ketua Panja revisi UU KPK, Totok Daryanto dalam rapat kerja antara DPR dengan pemerintah, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/9/2019). Hal tersebut tentu akan berdampak pada indepedensi KPK itu sendiri. Bagaimana sebuah lembaga yang menjalankan tugasnya secara independen dikendalikan dibawah kekuasaan eksekutif. Biarkan KPK menempati pada posisi semula. Apa urgensinya apabila KPK dijadikan sebagai lembaga eksekutif? Tentu hal ini akan mengganggu keindependensian KPK walaupun dengan alih-alih tetap menjalankan tugas secara independen. Perlu dipahami pula bahwa KPK lahir didasari atas mandat Undang-Undang, bukan atas mandat presiden. Pembentukan state auxiliary body atau lembaga penunjang seperti KPK diharapkan sebagai lembaga independen yang tidak terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif apalagi kekuasaan legislatif. Lantas kembalikan kedudukan KPK pada posisi semula, independen tanpa cabang kekuasaan manapun!
Selanjutnya adalah mengenai permasalahan dewan pengawas. Pembentukan dewan pengawas dibentuk oleh DPR. Dengan melibatkan para pakar hukum yang dikatakan independen. Namun kembali pada pertanyaan awal, apa urgensinya dibentuk dewan pengawas? Apakah pengawasan yang dilakukan oleh internal KPK sendiri mengalami kendala? Justru apabila pengawasan dilakukan oleh pihak luar akan menghambat kinerja KPK dalam beracara karena terkait proses penyadapan. Penyadapan oleh KPK sendiri diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK bahwa penyidik memiliki tugas untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Namun dalam RUU KPK, ditambah sisipan pasal 12 B bahwa penyadapan tersebut harus mendapat persetujuan dahulu oleh dewan pengawas. Siapa saja dewan pengawas tersebut? Saya kira mereka adalah orang-orang pilihan tuhan yang maha benar dan maha tahu. Dikatakan bahwa fungsi pengawasan oleh dewan pengawasan merupakan salah satu bentuk penerapan check and balances kelembagaan. Namun bentuk pengawasan seperti itulah yang justru menjadi penghambat proses beracara oleh penyidik KPK. Pengawasan yang ideal bukan merasuk pada pengawasan secara sistematik,seperti penyadapan,penyitaan,dll. Melainkan pengawasan dalam konteks yang lebih umum seperti pengawasan kelembagaan yang dalam hal ini sudah dilakukan oleh Komsisi III DPR RI. Maka tepatkah pengawasan oleh dewan pengawas dilakukan?.
Sejauh ini komitmen KPK dalam memberantas korupsi sudan sangat baik. Dibuktikan dengan terungkapnya mafia-mafia korupsi yang ternyata justru duduk di pemerintahan. Sebut saja kasus “Papa Minta Saham” oleh Setya Novanto yang justru menambah citra buruk DPR. Sebagai koalisi masyarakat umum yang pro antikorupsi sudah sepatutnya kita menyuarakan pendapat. Dipihak lain ingin memperkuat namun dipihak lain justru merupakan langkah melemahkan. Lantas, dipihak manakah anda?