Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
***
“War Is Peace, Freedom is slavery, Ignorance is strength” -George Orwel, 1984
Yth, Malaikat Izrail
Bismillahirahmanirahim. Salam, mohon maaf sepagi ini saya harus menuliskan surat untukmu, wahai Izrail. Mumpung mimpi saya semalam masih belum lari, maka saya bermaksud untuk menyampaikannya segera mungkin.
Saya ingin menceritakan mimpi yang sungguh menakutkan itu. Keringat di baju saya masih juga belum kering, nafas pun masih terengal-engal ketika jari-jari menari di atas papan ketik. Dua kali bantal kubolak-balik agar mimpi itu tak berkunjung lagi. Namun itu sia-sia. Mimpi itu masih juga datang, malah dengan fragmen-fragmen yang begitu sadis.
Wahai Izrail, saya ingin engkau membaca surat ini di hadapan Allah, membacanya seperti sedang menyanyikan lagu kedukaan yang mendalam. Sengaja surat ini kutujukan buatmu, bukan langsung ke Allah. Saya sadar, diriku yang masih banyak berlumuran dosa ini sepertinya akan sulit memanjatkan doa yang lekas terkabul dan mustajab. Kekhawatiran itulah yang menggiring saya menuliskan surat ini kepada dirimu.
Langsung saja ya, begini mimpi itu mula-mula.
Fragmen pertama. Siang itu di puncak gunung Jayawijaya awan gelap menyelimuti, salju turun bersama batu-batu api, mereka serentak turun seperti hujan badai yang menghantam. Jatuh menghujam daratan, perusahan tambang besar yang ada di puncak gunung itupun tak ketinggalan diterpa derasnya hujan batu api, kemudian membakarnya, dan meledakkanya.
Respon saya melihat peristiwa itu sungguh aneh, malah terkekeh-kekeh, perasaan gembira seperti sedang memenangkan trophy juara umum sayembara matematika. Namun kemudian saya pun menjadi khawatir, sedih, dan terdorong mendekati lokasi perusahaan tambang itu, yang sudah melubangi dan meratakan sebagian besar dinding-dinding puncak gunung Jayawijaya, serta membuang kotoran merkuri membentuk bukit-bukit ke dasar laut.
Saya sedih, ingin menolong, serta khawatir tatkala melihat para pekerja tambang ikut terbakar dan berlari tergopoh-gopoh seakan ingin menyelamatkan diri dari hujan badai batu bercampur api. Saya pun sadar mustahil saya bisa menyelamatkan mereka dalam keadaan yang sulit itu. Namun anehnya, salju juga masih saja turun, tapi tak memadamkan batu api, salju itu bagaikan tuas-tuas piano yang berwarna putih yang memainkan Symphony No. 9 karya Beethoven. Singkatnya, dalam mimpiku tersebut suasana kehancuran seolah direstui oleh maha kuasa dengan mengirimi salju sebagai lagu pemberangkatan terakhir.
Fragmen kedua. Masih dengan aksi tarian lidah api. Tapi kali ini api yang berkolaborasi dengan asap. Dalam mimpiku itu ada api menyerupai wajah sederet tokoh-tokoh politik negeri ini. Api-api itu membawa gadha seperti Gadjah Mada yang tengah murka. Api-api dan asap-asap menyerang hutan, membasmi hewan-hewan liar yang ada di dalam hutan, dan kerumunan manusia yang bermukim di sekitarnya.
Beberapa penampakan api itu beragam, ada api yang berwajah brewok sambil berpidato dengan gelora berapi-api seolah ingin menyerupai agitasi bung Karno. Ada api yang berkepala tegang ditumbuhi rambut tipis-tipis, dia adalah pria yang seperti sedang berada di pesawat jet pribadi memegang boneka beruang dan diapit dua cewek cantik nan sexi.
Ada juga api yang tampangnya seperti seseorang dari daratan mongol, memegang kamera TV dan di lehernya terjulur seperti kalung bunga kehormatan, tapi bunganya adalah lembaran-lembaran uang yang dilipat teknik origami menyerupai kembang-kembang matahari yang berpendar. Lalu ada api yang berwajah perempuan tua bertubuh gempal sedang menunggangi banteng bermata merah. Selanjutnya ada api yang berparas pria yang berkaos bertuliskan ‘anak singkong’ padahal dari potongannya sama sekali tak menggambarkan seorang petani. Setelah itu ada api yang menggambarkan sosok pria berkostum loreng-loreng berdiri di atas tank kemudian menggenggam bazoka dan sambil mengatakan, “kita akan kirim 3000 pasukan untuk perang, eh… ralat perdamaian, eh ralat lagi… pemadaman.”
Dan ada banyak lagi api-api yang menyerupai wajah para tokoh politisi lainnya, seakan membentuk pasukan kehancuran yang memerangi kelestarian hutan dan kedamaian manusia di sekitarnya.
Kemudian asap-asap melayang dan terbang menyerupai TV-TV, menyerupai surat kabar, dan menyerupai gadget. Asap-asap itu seperti bisa berbunyi dan menggambarkan pariwara yang asik-asik. Asap-asap itu seperti bisa menuliskan kata-kata yang merupakan butiran-butiran mutiara dan emas. Asap yang aneh, sebagaimana bentuk api aneh yang menyerupai wajah tokoh-tokoh politisi. Mimpiku sangat manakutkan dan unik.
Sialnya lagi,asap-asap itu dikira embun sejuk. Dia kemudiaan menutupi jarak pandang, bergerilya ke mana-mana, ke rumah-rumah, perkantoran, pos ronda, di jalan raya, di atas awan, di sepanjang sungai, di atas laut, dan akhirnya menyelinap masuk ke dalam dada manusia dan hewan-hewan. Beberapa manusia di antaranya tewas, sebagian sekarat, sebagian lagi selamat karena Allah belum menghendaki.
Fragmen ketiga. Dalam babak ini, mimpi dilukiskan tak aneh dan tak unik. Mimpi yang normal. Sebuah gedung anti rasuah dijebol maling, mereka menguras surat-surat penting dan bukti-bukti. Maling-maling itu sepertinya telah bersekongkol dengan sesama kelompok maling lainya. Jadi ada banyak kelompok maling-maling yang kemudian punya keresahan yang sama dan merencanakan permufakatan jahat untuk menguras kekayaan yang berwujud, “Keberanian, keadilan, kejujuran, dan kepedulian.”
Para maling itu harus merampok gedung anti rasuah karena berulang kali komisi antirasuah berhasil memenjarakan para anggota maling. Tak ada pilihan baik bagi para maling. Agar profesi maling para maling tetap eksis, jalan satu-satunya dan puncak dari segala proyek maling adalah menjebol gedung dan memaling segala macam kearifan yang ada di dalamnya. Ini bukan lagi prinsip maling, ini bukan lagi kredo para maling, tapi ini jalan hidup para maling.
Tiga fragmen mimpi itulah yang membuat saya harus dan lekas membuat surat ke padamu, wahai Malakat Izrail. Saya tak punya teman, sahabat, guru, orang kepercayaan, orang sakti, dukun, kiyai, wali, dan kekasih yang mampu menyampaikan langsung kegelisahan ini ke hadapan Allah.
Saya menafsirkan mimpi itu dengan satu rentetan yang berpola sama seperti yang terjadi sesungguhnya akhir-akhir ini. Seperti pembodohan negara terhadap rakyatnya. Kau tentunya sudah banyak melihatnya, bagaimana kekuasaan begitu lihai memainkan politik bahasa kepada rakyatnya. Mereka menghembuskan kedurjanaan pembangunan infrastruktur seperti seolah menanam kembang kemakmuran yang indah.
Mereka meniupkan perang dengan mengirimkan pasukan militer ke Papua dengan dalih perdamaian tapi menguras sumberdaya alamnya, menuduh, dan mengkriminalisasi orang-orang yang kritis, kemudian menganggapnya sebagai provokator dan mengekang pendapat menentukan kemerdekaan dengan stigma separatis.
Kau pasti melihat, wahai Izrail, bagaimana mereka mengirimkan berita-berita prestasi pengentasan kemiskinan yang sejatinya tak pernah terjadi. Mereka menuliskan berita kebakaran hutan tapi yang sebenarnya adalah pembakaran hutan yang disengaja untuk kepentingan pembukaan lahan sawit bagi para kaum pemodal yang tak pernah iba terhadap kelestarian ekossitem.
Penguasa saling bersekongkol dengan para legislator dan para demagog menghembuskan narasi logika untuk menyelamatkan KPK yang sebetulnya menghancurkannya. Merevisi Undang-Undang KPK yang bermaksudkan merevisi keberanian, kejujuran, keadilan, dan menjadi kepengecutan, kebohongan, dan kedzaliman.
Engkau melihat, wahai Izrail, mereka menanamkan nasionalisme semu dan patriotisme yang lucu. Pendidikan karakter yang dilatih berupa baris-berbaris ala militer, hapal pancasila (bukan amal pancasila), dam menyanyi-nyanyi lagu kebangsaan tiga stanza, empat stanza, lima stanza sampai lupanya akan penindasan berstanza-stanza.
Bohong yang dibenarkan dan benar yang dibohongkan. Semuanya menjadi relatif tergantung kemampuan retorika yang bersilat. Fakta kini tak menjadi penting karena persepsi lebih utama dari segala-galanya. Maka jika ada data yang menerangkan fakta konflik rakyat terhadap perampasan tanah oleh penguasa dan korporasi itu pastilah dianggap fiktif. Fakta tentang pemanasan global akibat pembakaran hutan yang disengaja dan terkesan dibiarkan oleh Negara dianggap adalah ngawur.
Pertunjukan inilah yang sedang berlangsung, wahai Izrail. Maka saya berharap, mungkin agak memaksa, sebelum korban terus banyak berjatuhan, bumi terus menerus disakiti, dan akal sehat bertubi-tubi dilukai.
Aku mengharap engkau mencabut nyawa mereka para perusak itu. Kejahatan mereka sudah melampaui batas sebagai manusia. Kami tak yakin mereka adalah manusia, kami curiga mereka adalah ciptaan baru Allah yang sebetulnya tak dirahmati, mungkin saja mereka hadir dengan nyelonong begitu saja, dan mengindahkan kodrat Ilahi.
Saya menuliskan surat ini dalam keadaan mengenakan masker, pandangan saya kabur oleh asap, tapi hati saya terang, mantap, dan yakin menuliskan surat ini ke padamu, wahai Izrail. Aku memohon kepada Allah melalui engkau, semoga Allah mengabulkan permohonanku, dan engkau lekas mencabut nyawa mereka yang telah berlaku dzalim dan tak berperikemanusiaan itu.
Harapan ini sesungguhnya tak hanya berasal dari saya, tapi saya yakin banyak orang di dunia ini turut serta mengamininya.(*)