“Perusahaan bukanlah para pelayan masyarakat, mereka merupakan entitas komersial yang bergerak mengejar keuntungan material . . . realitasnya tetap saja bahwa perusahaan tak akan menempatkan pelayan pelanggan yang baik, perdagangan etis, dan investasi sosial di atas kepentingan untuk menghasilkan uang” -Noreena Hertz
Djarum itu perusahaan rokok. Rokok itu bukan buku. Rokok bukan pula makanan. Namun karena jualan rokok, Djarum jadi perusahaan raksasa. Labanya luar biasa dan punya apa saja. Nyaris tak ada yang tak dimiliki Djarum: punya bank, punya usaha kertas, punya perusahaan telekomunikasi, perkebunan, hingga properti. Wajar jika pemilik perusahaan Djarum tercantum menjadi orang terkaya di negeri ini. Namanya orang kaya, pasti punya pengaruh dan bawahan di mana-mana.
Salah satu kekuatan orang kaya adalah kemampuannya memengaruhi. Bayangkan rokok yang jelas-jelas membahayakan kesehatan bisa dijual dengan bebas bahkan menguntungkan. Djarum dengan mahir menciptakan iklan yang membuat rokok itu seperti permen. Melalui rokok, kita bisa dapat petualangan berbahaya sekaligus pasangan yang bahagia. Tentu dengan bujukan yang canggih, seperti itulah rokok jadi produk utama Djarum.
Tentu Djarum mustahil hanya jualan rokok saja. Keuntungannya yang besar mesti dilipatgandakan. Salah satu di antaranya adalah melakukan pembinaan olahraga. Bayangkan, rokok yang bisa merusak paru-paru punya kegiatan menjaga paru-paru. Di antaranya bulutangkis. Cabang olahraga yang populer, digemari, dan memang punya prestasi. Djarum dengan terampil berada pada posisi terdepan dengan membina anak-anak untuk menjadi juara.
Masalahnya bermula dari sana. Tampilnya perusahaan raksasa yang ingin mengambil tugas negara. Secara bersemangat mulailah Djarum menciptakan arena laga bulutangkis yang disebar melalui berbagai kota. Tanpa malu, kaos anak-anak yang bermain ditempel nama Djarum. Nama yang identik dengan rokok itu mulai tampak wajar, umum, dan normal. Seolah Djarum adalah penghasil juara bulutangkis yang pantas didukung.
KPAI mengusik rasa nyaman itu. Mulai menyoal merek Djarum yang menempel di badan anak-anak. KPAI mendasarkan itu semua pada aturan. Jadi gugatannya didasarkan pada aturan yang memang melarang. Harusnya wajar jika ada yang menyoal itu. Namun Djarum tampaknya tak ingin mengikuti saran KPAI. Bahkan dengan terang-terangan, Djarum mau pamit dari audisi dengan menyatakan kalau situasi ini karena tak ada titik temu.
Peryataan itu memicu banyak tanggapan. Bahkan banyak orang kesal pada KPAI, bukan Djarum. Betapa luar biasanya Djarum yang tiba-tiba menjadi perusahaan kunci penentu prestasi olahraga. Yang dilakukan Djarum selama ini ternyata benar dan dibenarkan. Seolah anak-anak itu jadi juara bulutangkis karena Djarum yang membentuknya, yang mendidiknya, dan memberinya peluang. Ibarat pahlawan, Djarum tampil sebagai superhero seperti yang digambarkan pada iklan-iklannya.
Para budak, pendukung, dan orang yang dimakan iklan rokok mulai membela Djarum. KPAI diserang dengan sadis bahkan ngawur. Upaya mengingatkan jutawan yang kekayaannya luar biasa itu ditampik dengan sikap mati-matian membela Djarum. Malah perusahaan rokok itu kini bisa duduk setara dengan siapa saja yang menentangnya: sejajar dengan KPAI, setara dengan Menpora, bahkan bisa setara dengan publik yang sudah diracuninya.
Djarum bergeser posisi dari Perusahaan Rokok jadi pembina bulutangkis. Bayangkan, situasi yang sudah kacau ini telah menciptakan mitos baru untuk Djarum. Seolah Djarum sejak semula memang punya niat mulia dan ingin mengembangkan olahraga. Lupa kita kalau nama Djarum itu adalah usaha rokok yang logonya mau dikenalkan sebagai pencipta atlet dunia. Untung Djarum hanya berada di sektor bulutangkis. Bayangkan kalau Djarum membiayai semua cabang olahraga, semua institusi sosial kita, atau semua produk kebudayaan kita. Bisa jadi negeri ini berubah lambang dari Garuda ke Djarum. Paradoks, ironis, dan tentunya gila!
Betapa luar biasanya pengaruh jutawan di negeri ini. Seolah mereka mampu meniupkan kesadaran palsu yang kita yakini sebagai kebenaran hakiki. Djarum memang luar biasa: menciptakan produk yang membuat negeri ini dipadati pecandu sekaligus pembela perusahaan yang tergerak untuk meneguhkan pengaruhnya. Rasanya kita bukan lagi menghadapi kolonialisme, tapi sikap pribumi yang lebih menikmati pikiran terjajah ketimbang kesadaran kritis untuk berdiri secara independen.
Djarum sudah melangkah terlampau jauh: mengeruk keuntungan luar biasa, mendanai apa saja dengan tujuan memasarkan produknya, dan kini merasa diri sebagai korban kezaliman. Drama ini bisa diakhiri dengan normal kalau kita sejak awal sadar yang kita hadapi adalah perusahaan terkaya negeri ini, bukan lapisan orang budiman yang memang punya niat untuk membantu anak-anak tumbuh dengan sehat, wajar, dan punya masa depan cemerlang.
Cobalah sedikit kita berfikir ideal. Lakukan sesuatu dengan sedikit bernyali. Jangan sampai kasus normal ini jadi kontroversial gara-gara kita sesat nalar. Yang kita lindungi bukan anak-anak. Yang kita bela bukan sekedar cabang olahraga. Tapi kehormatan bangsa ini yang sudah terlalu lama dicengkram oleh kedaulatan perusahaan yang keuntungannya membuat mereka bisa melakukan apa saja.
Waktunya kita berani bertanya pada diri sendiri. Di sisi mana kita berdiri dalam persoalan ini: bersama pengusaha raksasa yang keuntungannya berlipat ganda atau bersama mereka yang membela nalar, kehormatan, dan kedudukan sebagai orang merdeka?
Kata Pramoedya, “Marilah kita adil sejak dalam pikiran!”
Sebab inilah masa penentu akal sehat, kesadaran, dan cara kita berfikir. Kita memang ada dalam situasi buruk, dibiarkannya perusahaan melakukan apa yang jadi tugas negara, bahkan memberinya kebebasan untuk meracuni kesadaran kita.
Thomas Carlyle berkata, Masa ini sungguh buruk. Baguslah kalau begitu, karena kita berada di situ untuk membuatnya menjadi lebih baik.(*)