Oleh M Fakhrurrozi (Pegiat Social Movement Institute)
Kebenaran ada pada kita, keadilan ada pada kita, dan hukum Allah yang lebih tinggi daripada hukum manusia membenarkan tindakan kita (Aurobindo Chose)
Panggilannya adalah Munir, ia memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Munir lahir pada tahun 1965, sebuah tahun yang selalu dibayangi dengan teror mencekam terhadap penyiksaan dan pembantaian manusia. Munir menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Unviersitas Brawijaya, disiplin ilmu yang ia geluti sejak muda membawanya pada petualangan dunia hukum. Menjadi Koordinator IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia dan aktif di beberapa organisasi mahasiswa lainnya.
Masa mudanya dihabiskan untuk mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan: menolong tanpa pamrih, berjuang tanpa lelah hingga setia menemani mereka yang dizolimi oleh penguasa. Kecintaannya terhadap dunia hak asasi manusia mengantarkannya bersama stakeholder untuk mendirikan organisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS). Kelak organisasi ini akan menjadi cahaya baru bagi dunia hak asasi manusia dan hal ini terbuktikan.
Munir dikenal sebagai seorang pemberani sehingga titel sebagai martir layak diimbuhkan untuknya. Munir menjadi contoh dari puluhan kebajikan. Berbekal akal sehat, nyali dan kemampuan: Munir mengkritik segala bentuk kejahatan yang dilakukan oleh negara. Munir melawan penguasa yang berbuat tidak adil dan korup.
Cak Munir menjadi lilin dalam kegelapan bagi dunia Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sosoknya melanjutkan perilaku dan perjuangan aktivis yang juga telah hilang, terbunuh dan teraniaya. Wajar saja, sebab disaat para aktivis yang selamat dari pembunuhan duduk empuk di ketiak penguasa telah menjadi sosok aktivis yang mampunya bikin proposal. Cerminan tersebut seolah melegitimasi bahwa menjadi kritis hanya pada saat dalam keadaan miskin dan bahaya.
Perjuangan Munir dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan hak asasi manusia sudah tak perlu diragukan lagi: terjun kelapangan mendampingi korban ketidakadilan hingga mengorganisir buruh.
Rangkaian perjalanan Munir harus berakhir di tanggal 7 September 2004. Pada saat itu ia akan melakukan studi ke Belanda. Munir dibunuh oleh sebuah komplotan keji di atas pesawat Garuda. Maskapai yang belakangan ini tengah terpuruk. Makanan dan minumannya diracun oleh zat arsenik, logam berat yang dijejalkan dalam tubuh Munir membuat nyawanya tercabut dengan kejam.
Pada hari ini, 7 September 2020 tepat 16 tahun yang lalu Munir meninggalkan kita semua. Kepergiannya pada saat itu adalah lonceng peringatan bagi kita semua yang berjuang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Pengusutan kematian Munir penuh drama dan jenaka. Nama Polycarpus adalah satu diantara pelaku lainnya yang belum terungkap. Sepertinya semua pihak di balik kematian Munir berusaha menggelincirkan persoalan ini hanya pada satu pelaku dan yakin waktu akan menghapus ingatan dan lewat waktu akan tersedia banyak alibi.
Kini saatnya untuk mengajak dan mengingatkan kepada semuanya tentang berita kematian Munir 16 tahun silam. Puing-puing ingatan disatukan dalam bentuk tulisan, aksi maupun diskusi, mengorek kembali beragam informasi dan yang tak kala penting mendorong agar rezim ini untuk berani seperti Munir: berani membuka kembali temuan TPF, mendorong lembaga Kejaksaan untuk aktif serta peringatkan mereka yang selama ini sembunyi dengan dalih.
Saya yakin kejahatan ini dilakukan bukan oleh sikap patriotik maupun nasionalisme. Kejahatan ini adalah tindakan terang-terangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sebuah keberanian. Tindakan jahanam dengan pelaku yang terus berkeliaran sampai saat ini.
Munir adalah kita, sebab kita menghadapi persoalan yang sama: penindasan yang terus beranak-pinak, kemiskinan, ketidakadilan yang terus menggerus, persoalan agraria yang tak kunjung terselesaikan hingga berujung konflik.
Kalau Munir adalah kita, maka kita perlu bertanya: apakah kita adalah Munir? Dengan kata lain, apakah kita telah siap memikul misi pembebasan sebagaimana yang Munir lakukan? Apakah kita mampu menjadi garda terdepan dalam membela rakyat yang termajinalkan, mengingat jurang krisis dan ketimpangan semakin jelas. Wallahu a’lam bish-shawabi.
Perjuangan Munir selama ini memberikan pesan untuk kita semua: bahaya terbesar dalam perjuangan untuk keadilan dan hak asasi manusia bukanlah ancaman, tekanan, pemerasan, penyiksaan atu teror-teror lainnya. Namun bahaya terbesar adalah ketakutan yang ada pada kepala kita. Ketakutan yang disebarkan sistem yang ada kepada kita. Ketakutan inilah rintangan terbesar dalam perjuangan.
Keberanian adalah warisan berharga yang diberikan Munir untuk kita semua.
Ilustrator: Hisam