Sudah waktunya Presiden bicara terus terang tentang sikapnya. Terutama pada soal korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Khususnya, pada hari-hari ini terkait korupsi yang semua kalangan kuatir pada pada capim KPK yang sudah terpilih. Mayoritas aktivis anti-korupsi kecewa dengan kinerja pansel KPK yang kalau dikritik bukan diterima dengan sikap terbuka, tapi kecaman balik yang membuat kita semua kecewa.
Capim KPK hari ini membuat banyak orang kuatir. Terutama pada sejumlah orang yang pernah bermasalah dengan KPK. Tuntutan banyak aktivis anti-korupsi pada Presiden sangat beralasan: coret nama-nama yang bermasalah. Siapa itu tentu Presiden sudah diberi informasi, masukan, bahkan kepastian akan kebenaran datanya. Mustahil Presiden tak tahu sama sekali pada Capim KPK yang sudah diseleksi oleh Pansel KPK.
Maka, waktunya Presiden mengambil sikap yang lugas. Sebagaimana keputusan cepat Presiden memindahkan Ibu Kota. Atau, seperti ketangkasan Presiden mengeksekusi pembangunan jalan tol di mana-mana. Tanpa sikap yang lugas dan tegas, Presiden malah dianggap memberi restu atas dirusaknya institusi KPK dan hancurnya harapan rakyat pada keadilan.
Jika Presiden mau sedikit untuk melihat apa yang terjadi pada kasus korupsi selama ini, pasti dia akan gelisah. Bagaimana tak gelisah kalau korupsi itu meyentuh semua level aparat negara dan banyak anggota parlemen. Malah lebih mengenaskan lagi, korupsi dilakukan oleh aparat hukum di institusi mana pun. Membayangkan tiap bulan KPK melakukan OTT pada kepala daerah hingga wakil rakyat kita seraya tinggal di negeri komplotan penyamun.
Sebab, serangan pada KPK sudah berulang kali. Baik melalui kriminalisasi maupun penyerangan secara terbuka. Itupun tak pernah jelas bagaimana penyelesaiannya. Seolah bekerja di KPK itu pasti beresiko, jadi kalau akhirnya kena musibah memang itulah konsekuensinya. Beruntung ada banyak aktivis yang menjadi perisai KPK bahkan membantu dengan luar biasa jika KPK diserang oleh siapa saja.
Tapi negara tak mungkin berjalan dengan logika seperti ini: menyerahkan urusan keadilan pada para aktivis dan membiarkan negara untuk mengurus kepentingannya sendiri. Kerapkali aku bertanya dalam hati, “Apa Presiden tahu bahwa keadilan itu bukan hanya tujuan kita merdeka, tapi itulah tugas pemimpin yang utama?” Sebab, bersama nilai keadilan itulah tujuan kita hidup berbangsa dan bernegara.
Maka bicaralah, Presiden, kepada apa yang terjadi hari ini. Capim KPK dikuatirkan dibajak oleh kepentingan yang berbahaya. Kepentingan itu bermuatan sama l, yakni ingin mencopoti wewenang KPK dan mengamputasi kewenangannya. Kalau Presiden bersikap tegas, kita menanam harapan kalau KPK bukan berdiri untuk menambal kerja institusi hukum tapi itulah harapan besar pada terpenuhinya rasa keadilan.
Presiden, ajak bicara orang-orang pintar sekitarmu yang pasti membaca banyak buku dan pengalaman. Di banyak negara kemakmuran tak mungkin bisa diraih tanpa keadilan. Sejarah bahkan punya banyak cerita bagaimana keadilan yang dianiaya akan mampu meruntuhkan sebuah negeri. Dan itu semua bermula dari dirusaknya tatanan hukum oleh aparatnya sendiri.
Jika Presiden berjanji akan membangun manusia Indonesia, maka yang pertama kali dilakukan dan paling cepat untuk diperbuat adalah memberi tauladan. Angkatlah orang pintar, yang bermoral, yang punya keberanian, dan yang jelas pengalaman. Terutama untuk mengisi lembaga yang hingga hari ini paling tinggi kepercayaanya: KPK. Maka jangan sia-siakan kepercayaan yang rakyat berikan padamu, Presiden.
Kepercayaan kepadamu untuk memberi KPK kekuatan yang selama ini dimilikinya: pimpinan yang berani dan wewenang yang luar biasa. Jika keduanya itu dilucuti, kita akan mengantarkan nasib negeri ini pada ambang batas bahaya, harapan atas keadilan bisa terhapus dan hukum meluncur jadi perkara yang bisa digelapkan oleh siapa saja.
Kini semua persoalan itu akan berawal dari keteguhan dan keberanian dirimu, Presiden. Beranilah untuk melakukan langkah bersejarah dengan mengambil keputusan yang penuh keadilan. Jika keadilan hanya bisa dikatakan, sekedar dijanjikan, dan diserahkan pada kesediaan siapapun saja, maka kekuasaan dan kepemimpinan tak ada artinya sama sekali.
Korupsi telah menjajah kita sejak era Soeharto. Korupsi telah membuat negeri ini tercemar di mana-mana. Korupsi yang membuat kita terpuruk hingga hari ini. Korupsi yang menjadikan kita tak mampu melahirkan orang-orang cakap, pintar, dan berkualitas. Korupsi sudah terlampau lama menghambat kemajuan bangsa ini.
Saya kuatir korupsi sudah dianggap biasa. Sehingga, capim KPK hanya perkara sepele yang bisa mereda nantinya. Saya kuatir kita jadi percaya kalau korupsi itu memang tak bisa diatasi. Sehingga, kita biarkan KPK diisi oleh siapa saja, bahkan yang pernah melanggar etika. Saya cemas kalau korupsi memang terjadi karena kita menciptakanya. Sehingga KPK tetap kita pertahankan hanya untuk fungsi boneka saja.
Saatnya Presiden bicara untuk membuktikan dirinya bukan bagian dari masalah, tapi pemecah masalah. Proklamasi negeri ini jika diulang pasti isinya adalah keinginan untuk bebas dari korupsi. Waktunya Presiden memastikan bahwa dirinya tak mau KPK diisi oleh orang bermasalah dan tak ingin KPK disentuh oleh pimpinan yang dipertanyakan komitmenya.
Jangan sia-siakan waktu bersejarah ini, Tuan Presiden. Kali ini rakyat butuh tindakanmu untuk keadilan dan memastikan kalau keadilan itu masih ada di negeri ini!(*)