“Film ini jatuh menjadi sebuah film cinta remaja dengan persoalan kolonialisme sebagai latar belakang” -Leila S. Chudori, Tempo 25 Agustus 2019
Saya tak menyaksikan film Dilan tapi saya membaca novelnya. Konyol, romantis, dan beraroma asmara. Kisah cinta itu berlatar tahun 90-an. Tak ada yang istimewa kecuali bujuk rayuan yang membuat kita bisa terperangah. Hanya, saya tak menyangka bisa bertemu Dilan lagi di abad kolonial.
Sebuah abad yang bertutur tentang penindasan. Saat sistem kolonial telah menempatkan warga pribumi sebagai kasta paling bawah. Mereka dihisap apa saja: dirinya, kemampuannya, hingga kekayaannya. Satu-satunya yang mampu melawan adalah kaum terpelajar.
Dilan ada di tengah itu semua: kost di tempat yang sepertinya baru dicat, punya teman yang gayanya seperti anggota gank balap motor, dan berjalan di pasar malam ketimbang Indonesia pada abad ke-19. Namun situasi itu semua dihimpun dalam film yang judulnya saja Bumi Manusia.
Kisah Bumi Manusia merupakan episode terbaik dari mandat kaum terpelajar. Seorang anak muda yang gelisah dengan keadaan sekitarnya dan mencium api perlawanan melalui tulisan. Novel yang pada masa Orba kalau membawanya bisa berurusan dengan aparat keamanan. Menjualnya dapat dihukum penjara.
Itulah kisah anak muda bernama Minke. Yang jatuh cinta dengan gadis Indo bernama Annelis. Hidup di bawah payung perlindungan seorang perempuan yang mandiri, tegas, dan berani yakni Nyai Ontosoroh. Bertiga, mereka berhadapan dengan pengadilan kolonial yang keji, sewenang-wenang, dan tak adil.
Novel ini saya membacanya berulang kali. Terutama ketika menjadi mahasiswa pada tahun 90-an. Saya selalu membayangkan kalau novel ini di filmkan. Pasti Minke tampil dalam bentuk terbaiknya di masa itu: pemikir, pejuang, dan perayu. Pria muda yang selalu taat sama ibunya tapi juga mudah terpesona dengan abad modern.
Maka ketika film itu akhirnya diputar, saya langsung menontonya. Bukan karena Hanung Bramantyo saya menonton. Juga bukan karena Iqbaal Ramadhan yang memainkannya. Tapi itulah bentuk penghormatan saya pada Pramoedya yang dulu telah membesarkan kami sebagai anak-anak muda.
Pram yang diam-diam meyentuh keyakinan saya tentang kekuatan tulisan. Melalui dirinya, saya mengenal sejarah yang tak seperti dinyatakan oleh Orba. Bahkan lewat Pram, kita mengenal dengan utuh sikap radikal Tirto Adisurjo. Saya berhutang, hormat, dan kagum padanya.
Hanya, film Bumi Manusia bukan karya Pram. Sutradara Hanung dengan produser Falcon Pictures yang memilih Iqbaal Ramadhan menjadi Minke. Pilihan yang mengejutkan bukan hanya bagi penonton, tapi untuk Iqbaal sendiri. Sorot matanya di sepanjang film menunjukkan itu semua.
Iqbaal tampak kebingungan dalam memerankan Minke: heran mengapa Minke itu begitu berani, pintar, dan dikagumi. Sorot matanya memberi petunjuk bukan dirinya yang jadi pusat perhatian, tapi para pemeran yang ada di sekitarnya. Kita seperti menyaksikan Dilan yang salah jalan masuk di akhir abad ke-19.
Mungkin menyesuaiakan dengan Iqbaal itulah yang membuat film ini jadi kisah cinta antara Dilan dengan Annelis: ada ciuman, ada rayuan, bahkan ada tangis. Balutan asmara itu dibangun dengan aksi sinetron: Iqbaal yang kesal, Annelis yang rindu, dan Robert yang sepanjang adegan berwajah muram.
Sepanjang film ini, kita seperti menyaksikan putaran kisah cinta yang hidup di masa kolonial: Minke hilang ditelan oleh Dilan yang tampil serba kebingungan. Dalam persidangan, tampak dirinya seperti anak remaja yang marah, di sekolah masih tersisa Dilan yang tak mau kalah, dan di rumah Nyai Ontosoroh Dilan tampil seperti remaja yang sedang kasmaran.
Beruntung film ini bukan hanya Dilan yang punya peran utama. Ada Nyai Ontosoroh yang tampil menakjubkan sekaligus ibu Minke yang diperankan oleh Ayu Laksmi. Dua perempuan yang menyelamatkan Bumi Manusia. Setidaknya keduanya membuat kita sadar ini bukan film Dilan yang ketiga.
Saya sebagai penonton mau memberi saran:
Mungkin lain kali kita tak lagi ceroboh membuat tontonan: Hanung Bramantyo rasanya perlu mencoba profesi lain selain sutradara. Siapa tahu dirinya bisa jadi anggota dewan atau mungkin lebih pas kalau memimpin perusahaan apa saja. Kemampuannya menjadikan apa pun menjadi komoditi sudah terbukti luar biasa.
Mungkin kita harus sadar kalau film itu bukan soal teknik, properti atau judul, tapi pelaku dan cerita. Bumi Manusia bukan lagi novel roman, tapi kisah tentang manusia Indonesia yang menolak untuk tunduk pada kuasa kolonial. Yang disentuh bukan adegan ciuman atau kemesraan, tapi pergolakan seseorang dalam melawan badai imperialisme.
Mungkin waktunya kita sadar bahwa menyuguhkan tontonan yang bobotnya raksasa itu tak bisa dengan ramuan ala kadarnya: memilih pemain yang sedang digandrungi, merangkai kisah yang sesuai dengan selera pasar, hingga menciptakan jejak kisah yang terlampau sederhana.
Bumi Manusia mungkin sekarang ini hanya bisa dinikmati melalui novel. Kita berdoa saja semoga kelak ada sutradara yang punya kemampuan, keberanian,dan keyakinan sebagaimana Pramoedya ketika menulisnya: sendirian, diasingkan, melawan, dan percaya diri dengan apa yang digarapnya. Karena memang itulah Bumi Manusia, bukan Dilan yang ada di Bumi!(*)