Oleh: Jayyidan Falakhi Mawaza (Mahasiswa Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Yogyakarta)
Saya Pergi ke Barat dan Melihat Islam tetapi tidak ada orang Muslim, Saya kembali ke Timur dan melihat orang Muslim, tetapi tidak ada Islam. (Muhammad Abduh)
***
Ijtima ulama ke empat yang diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama pada beberapa hari yang lalu memunculkan kontroversi. Dari delapan poin putusan yang dihasilkan terdapat poin yang paling menggelitik yakni upaya mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci diatas ayat konstitusi. Term NKRI bersyariah sebetulnya bukan barang baru, sebelumnya Rizieq Shihab dalam kesempatan aksi 212 pada tahun 2016 dan reuni 212 pada tahun 2017 juga menggaungkan NKRI bersyariah.
NKRI bersyariah jika ditilik dari segi istilah sangat problematis. Penambahan kata syariah pada NKRI menimbulkan kesan bahwa NKRI seakan-akan tidak mengenal entitas yang namanya syariah begitupun sebaliknya syariah seakan juga begitu asing terhadap NKRI sampai-sampai harus ditambahkan. Padahal nyatanya NKRI senyawa dengan syariah.
Menurut Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (2013) Dasar negara yang berupa pancasila sangat tampak nilai-nilai keislamanya dan tak segan diadopsi kedalam dasar negara ini. Nilai-nilai keislaman macam rakyat, hikmat, musyawarah, adab dan adil merupakan konsep yang melekat ke dalam dasar negara ini.
Belum lagi pengadopsian berbagai macam peraturan-peraturan negara berupa Undang-Undang beserta turunanya yang merujuk kepada syariah seperti Undang-Undang perkawinan, UU zakat, UU Haji, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang memasukkan pesantren ke dalam entitas lembaga pendidikan di Indonesia sehingga memberikan kesempatan kepada pesantren untuk mengembangkan dirinya. Itu belum cukup, coba tengok saja kalender nasional kita berapa banyak peringatan hari besar agama Islam yang dijadikan hari libur nasional. Bahkan belakangan negara menetapkan hari santri yang setiap tanggal 22 Oktober selalu diperingati. Lantas masih perlukah menambahkan frasa syariah ke dalam NKRI?
Term NKRI bersyariah yang belakangan ini menyeruak ke dalam publik yang digaungkan oleh GNPF Ulama dan Rizieq Shihab nampaknya menyadarkan kita bahwa selama ini masih ada pihak-pihak yang belum menerima hasil dari perdebatan panjang tentang pondasi dasar negara yang akan diusung pada awal-awal berdirinya republik ini dan berupaya untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Jika kita kembali ke masa lalu, perdebatan tentang dasar negara yang melibatkan para Founding Fathers kita yang terbagi ke dalam kedua kubu yakni kubu Nasionalis sekuler dan Nasionalis Islam menimbulkan gejolak yang sangat panas. Kubu Nasionalis sekuler menghendaki dasar negara tidak berlandaskan kepada agama tertentu. Sedangkan Kubu nasionalis Islam menghendaki agar dasar negara berasaskan agama Islam.
Pada Mulanya pada Juni 1945 Ketika sidang BPUPKI diselenggarakan, panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno bersepakat menempatkan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagai dasar negara. Namun kesepakatan tersebut langsung direspon dengan penolakan yang dilakukan oleh wakil dari kalangan Indonesia Timur yang bukan beragama Islam. Tidak lama berselang pada 18 Agustus 1945 sehari setelah kemerdekaan disepakati untuk mengganti frasa tujuh kata tersebut menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Menurut Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (1996) perubahan sila “Ketuhanandengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”menjadi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”merupakan hasil kompromi dari kedua belah pihak yang tengah melewati masa kritis. Praktis, dengan dirubahnya sila pertama tersebut setiap usaha untuk menetapkan Indonesia sebagai negara Islam menjadi tidak mungkin karena berlawanan dengan konstitusi yang baru saja disetujui bersama.
Namun bagi sebagian kalangan tetap saja hal itu menimbulkan luka yang sangat mendalam dan sekaligus dianggap sebagai kekalahan politik umat Islam. Namun kalangan yang merasa kecewa ini mengikhtiarkan kembali untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam sidang konstituante pada tenggang waktu tahun 1957 hingga 1959 dimana dasar negara kembali diperdebatkan. Sidang konstituante ini berakhir anti-klimaks karena masing-masing kubu saling bersikukuh dalam mempertahankan ideologi dasar negaranya. Maka dari itu akhirnya Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut berisi pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945.
Pada Awal reformasi tahun 2000-an upaya untuk menegakkan Piagam Jakarta kembali dilakukan, kali ini giliran partai-partai yang digolongkan berasaskan Islam berkoalisi untuk mengagendakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dimana tiga partai politik yakni Partai Keadilan kini PKS, Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan mendorong memasukkan pembahasan Piagam Jakarta dalam proses amandemen. Namun Organisasi kemasyarakatan Islam terbesar NU dan Muhammadiyah sangat getol untuk menolak langkah amandemen tersebut. Walhasil upaya amandemen UUD 1945 berujung dengan kegagalan karena pendapat penolakan dari NU dan Muhammadiyah tersebut merupakan representasi dari pendapat umat Islam kebanyakan.
Kini upaya untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dilakukan oleh GNPF Ulama dan Rizieq Shibab lewat baju baru NKRI Bersyariah. NKRI bersyariah yang dimaknai sangat Ekslusif dan parsial yang dapat menegasikan kelompok dan keyakinan liyan. Mereka Berupaya untuk menempelkan label syariah ke dalam NKRI dan lupa bahwa secara subtansi NKRI sudah bersyariah meski tanpa diberi label syariah.
Yang paling penting dari sekedar memprogandakan jargon NKRI Bersyariah adalah bagaimana menghidupkan ruh syariah melalui pengaplikasian tujuan-tujuan pokok dalam bersyariah (maqasid syariah) yakni membangun kemaslahatan manusia, mencegah kerusakan dan mewujudkan kebaikan. Jika Dasar NKRI menjiwai itu semua lantas masih perlukah simbol syariah?
Mana yang kita pilih Islam gincu atau Islam garam tanya bung Hatta. Islam gincu itu tampak tapi tak terasa. Sedangkan Islam garam tak terlihat tapi terasa. Kita pilih NKRI Bersyariah yang nampaknya Islami tapi subtansinya tidak atau Pancasila tidak terlihat tapi maknanya Islami??
Mungkin yang perlu dipikirkan adalah bukan lagi soal dasar negara karena dasar NKRI boleh dikata harga mati. Yang perlu kita pikirkan adalah praksis sehari-hari dalam menyelami dasar negara kita. Karena masih banyak praktek kebiadaban yang tak mencerminkan dasar negara kita. Coba kita tengok hari ini saudara-saudara kita yang masih berjuang bertahun-tahun untuk mempertahankan tanahnya di Urut Sewu Kebumen setiap hari popor senjata militer masih selalu membayang-bayangi mereka. Karena NKRI hari ini masih berproses dan dapat dikatakan NKRI sebagai praksis masih dalam tahap harga nego!!
Wallahu A’lam Bisssowab.