“Kita harus membangun tanggul keberanian untuk menahan banjir rasa takut” -Martin Luther King, Jr
“Jika ingin meninggalkan jejak di pasir waktu, jangan hanya menyeret kaki” -Arnot L Sheppard
Banyak kini yang bertanya mengapa mahasiswa tak lagi banyak bicara. Menyatakan protes pada ketidakadilan dan berani membela mereka yang teraniaya. Banyak orang kini pada curiga apa mahasiswa masih bisa diharapkan peranya: melindungi mereka yang jadi korban kebijakan dan mengingatkan negara untuk menghukum para pelanggar HAM.
Makin hari orang kian sinis pada mahasiswa yang kerjanya hanya kuliah saja. Habiskan waktu untuk memburu prestasi sambil berharap hidup enak di masa depan. Lama kelamaan orang bosan melihat anak muda yang kegiatannya hanya pacaran, pengajian, dan bercanda. Tampang mereka memang makin menawan tapi nyali mereka kian menghilang. Hidup yang kehilangan tantangan karena menyukai kenyamanan.
Sebagian orang geli pada tingkah mahasiswa hari-hari ini. Sibuk memperbaharui status sambil berkomentar tiap saat pada apa saja. Senang dengan popularitas dan gemar sekali mempopulerkan diri. Melalui media sosial apa saja mereka ungkapkan dan suka sekali datang ke acara dengan harapan sertifikatnya.
Bahkan orang makin heran mengapa mahasiswa tak protes pada biaya kuliah yang kian mencekik. Sepertinya, orang tua mereka sangat gembira dengan biaya tinggi dan tak curiga sama sekali. Rasanya mereka punya orang tua yang selalu sedia uang setiap diminta dan selalu punya uang untuk keperluan apa saja.
Bisa jadi orang kagum pada mahasiswa yang hari ini masih gembira walau ada banyak masalah di sekitarnya. Mereka tak resah dengan materi kuliah yang bertentangan dengan kenyataan sosial yang ada. Mereka tak bingung dengan masa depannya yang tak pasti di tengah ancaman pengangguran yang luar biasa. Mereka bahkan tidak bertanya mengapa kemiskinan masih tinggi tapi ada orang yang kekayaannya luar biasa.
Orang heran apa yang dipelajari mahasiswa di ruang kuliahnya? Kalau kuliah di ekonomi apa mereka tak diberitahu tentang kesenjangan sosial yang terjadi. Kalau kuliah di fakultas hukum apa mereka tidak marah menyaksikan pelanggaran HAM yang terjadi. Jika kuliah di pendidikan apa mereka tak heran dengan kualitas pendidikan yang tak pernah membanggakan.
Orang kadang ingin bertanya apa yang jadi keresahan mahasiswa hari-hari ini. Pastinya bukan tanah rakyat yang digusur atau elite politik yang berunding untuk berebut kursi. Yang pasti bukan kecemasan pada masa depan demokrasi apalagi terhadap keadilan yang tak mampu dipenuhi. Jauh mahasiswa dari itu semua karena kampus tak menanam keresahan sama sekali.
Banyak orang makin prihatin dengan kegiatan kuliah yang menanam kesadaran semu. Tiap anak muda dituntut kepatuhannya dalam hal apa saja: bayar kuliah tepat waktu, datang tepat waktu, dan selesai tepat pada waktunya. Di sana tak boleh ada protes, pembangkangan, apalagi perlawanan. Sebab kampus telah merubah dirinya menjadi pusat kebugaran ketimbang pusat pengetahuan.
Yang datang ke kampus penampila nya pasti menawan dan yang dibicarakan di kampus hal yang menyenangkan. Obrolan tentang bagaimana kaya di waktu mahasiswa atau membina keluarga sakinah saat kuliah. Sepertinya kampus mengubah perannya dari mendidik mahasiswa menjadi mengurung mahasiswa untuk jadi pemuda yang manja, rupawan, senang, dan tak banyak bertanya.
Jika tak percaya, lihatlah baliho kampus yang menampilkan muka mahasiswa yang rupawan, sehat, dan gembira. Mirip posyandu, kampus mendesain mahasiswa untuk tetap bugar, segar, dan tampak pintar. Bahkan ada kampus yang kini menyediakan fasilitas ruang fitness segala. Rasa-rasanya kampus punya tugas baru yakni meluluskan mahasiswa yang sehat badanya dan tepat pada waktunya.
Sedih saja melihat hari ini mahasiswa lebih banyak memadati pusat belanja. Lebih suka tinggal di kafe ketimbang ruang baca. Dan yang paling mengkhawatirkan lebih suka diam ketimbang berdebat dan bertanya. Seolah hidupnya sebagai anak muda usai ketika bisa pacaran, bisa punya uang, dan bisa dapat penghasilan.
Hilanglah mimpi, keberanian, dan pesona sebagai seorang anak muda. Yang dulu berhasil menumbangkan kediktatoran dengan cara luar biasa. Menggenangi jalanan dengan aksi untuk tuntutan yang sangat suci: bebaskan negara dari korupsi, turunkan harga bahan pokok, dan jangan biarkan senjata menjadi wasit segalanya. Janji anak muda hari itu lebih baik hidup berkalung derita tapi punya harga diri ketimbang kaya tapi melacurkan keyakinan.
Meski janji itu dinodai oleh sebagian di antara mereka yang rela mengkhianati keyakinan untuk posisi jabatan. Yang mau bergabung dengan para penjahat kemanusiaan untuk imbalan kedudukan. Tapi juga ada banyak yang masih konsisten menuntut perubahan dan tetap bersama dengan mereka berjuang bagi terpenuhinya nilai-nilai keadilan.
Mereka itulah yang mewariskan nilai pada segelintir mahasiswa yang masih punya pikiran beda. Pikiran untuk tidak patuh begitu saja. Terhadap doktrin kampus yang mengharuskan mahasiswa untuk mikir kuliah dan wisuda. Terhadap aturan yang melarang mahasiswa untuk bebas bicara dan bebas untuk menyatakan pandangannya.
Saatnya masyarakat menyaksikan mahasiswa yang tak sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Waktunya masyarakat diberitahu beda mahasiswa dengan politisi: yang pertama mendahulukan nilai idealismenya dan yang kedua menghitung kepentingan partai politiknya. Saatnya masyarakat tahu beda mahasiswa dengan pengusaha: yang pertama mengutamakan pengorbanan dan yang kedua mendahulukan keuntungan.
Kini saatnya bertanya apa yang paling penting dalam hidup mahasiswa hari ini? Nilai baik untuk masa depanmu sendiri atau pengalaman terbaik yang akan mendewasakanmu. Lulus tepat waktu sebagaimana harapan orang tuamu atau keberanian membantu rakyat kecil sewaktu-waktu. Jawaban itu semua tergantung pada dirimu, lingkunganmu, dan terutama keyakinanmu.
Kini waktunya kamu menjawab itu semua karena inilah saat yang menentukan dalam hidupmu. Menjadi seorang mahasiswa yang menjadi tenaga kerja untuk siapa yang membayarnya atau tenaga muda idealis yang akan mengubah masa depan bangsanya. Ingatlah proklamasi itu dibacakan oleh dua mantan mahasiswa yang kita tak tahu berapa IP-nya tapi kita tahu betapa besar mimpinya.(*)