Identitas, Puisi, dan Perlawanan
by
Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)
***
Cerita Puisi
Saya mau cerita puisi dengan iringan kacapi. Biasanya, orang Kaili yang ada di pesisir Sulawesi Tengah memainkan kacapi untuk mengiringi lagu panjang, mereka menyebutnya: dade ndate. Tapi tenang, saya tidak memainkan cerita panjang, juga bukan cerita pendek, tapi mungkin saja menyerupai prosa, yang isinya adalah mungkin saja cerita puisi, atau bisa jadi bagi kritikus ini sebuah lelucon, atau dongeng semata. Intinya, saya tidak yakin dengan semua definisi di atas.
Malam ini, saya rencananya, mengambil 10 menit untuk mementaskan cerita puisi. Tapi saya tidak menjamin juga, apabila nanti pertunjukan ini bisa memakan waktu lebih, atau malah kurang dari waktu yang disediakan. Saya memang jarang bertindak profesional, tapi juga bukan tipikal orang yang banyak membuang-buang waktu. Bukan apa-apa, saya hanya skeptis dengan waktu. Apalagi dengan sebuah kredo ‘waktu adalah uang’. Ungkapan yang memuakkan, melunturkan nilai kemanusian, dan penuh hasrat penghisapan.
Sudah saatnya kita merebut waktu. Baik dari apapun belenggu maupun penguasa yang membatu. Tapi karena waktu juga, saya bisa berbicara tentang dahulu yang mula-mula, dan bermuara pada ingatan.
Baiklah, begini ceritanya. Kala itu saya duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Sekolah kami diundang oleh kecamatan untuk mengikuti rangkaian agenda 17-an. Pesta kemerdekaan. Yang kehadirannya dihiasi umbul-umbul, baris-berbaris, upacara bendera, dan panggung kesenian. Orang-orang ramai mengikutinya, terlarut dalam megah perayaanya, meski tak pernah protes apakah merdeka kita itu asli atau imitasi?
Saya salah satunya. Ketika masih bocah dan tak banyak mengerti tentang itu dan ini, saya hanya disuruh oleh sekolah untuk membacakan puisi, di panggung besar. Disaksikan orang sekecamatan. Puisi itu karya penyair besar bangsa ini, Chairil Anwar dengan Karawang Bekasi. Saya tidak paham maksud dan makna dari puisi ini, dan tidak berusaha untuk mengetahuinya. Saya, kala itu, bocah yang senang bersepeda dan bermain bola, saya hanya tau bahwa Bekasi itu ada di Jakarta berkat saluran televisi yang banyak menayangkan kata-kata ‘Jabodetabek’, itulah akronim yang membahasakan wilayah yang saling terintegrasi: Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi. Dan Karawang. Saya, bocah yang hanya meraba-raba, mungkin saja letaknya ada di Jawa (dan ternyata itu benar).
Kesan pertama bersentuhan dengan puisi itu pun kemudian berlanjut, ketika saya memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMa), di Sumatera, Kotabumi, Lampung Utara. Adalah Mama saya, orang yang paling berpengaruh, dia yang tak menentu, sesuka hatinya, apabila hatinya sedang kangen dan sedang mengalami renjana yang akut, dia menuliskan surat yang isinya tentang pernyataan kasih sayang yang dibumbui kata-kata puitik.
Mama mengambil orbit dan benda-benda langit, memetik kembang dan menempa pedang sebagai perumpamaan metafora nilai kehidupan, semangat, dan usaha menggapai cita-cita kepada buah hatinya. Surat-surat yang mengandung unsur puisi itu terbang antar pulau antar propinsi, melewati darat, laut dan udara, dari Sulawesi ke pulau Sumatera. Suratnya menjelajahi separuh nusantara. Mengalami goncangan ombak, meliuk-liuk di tikungan, dan digoyang turbelensi. Surat itu, beberapa masih saya lipat dan simpan dikantong anyaman bambu sebagai kenangan.
Di masa-masa perantauan, sebagai anak SMA yang identitasnya tak mudah untuk diterangkan dan sulit bagi sebagian kalangan untuk memahaminya. Saya yang lahir di Palu. Mempunyai Papa, lahir dan besar sebagai seorang Kaili, yang kakeknya setelah ditelusuri adalah seorang Bugis Bone, yang gemar bermain judi, yang juga merupakan sahabat dekat dari ‘Guru Tua’ pendakwah Islam tersohor di Sulawesi, dengan nama besarnya As-Sayyid al-Habib Haji Idrus Bin Salim al-Jufri.
Sedang Mama, adalah seorang campuran Jawa Bantul dan Purworejo yang lahir dan besar di Kotabumi Lampung Utara. Di tahun 80-an, Mama pernah berkuliah di IKIP Muhamadiyah Yogyakarta yang sekarang menjadi Universitas Ahmad Dahlan. Dia pernah terlibat dalam aksi demonstrasi menuntut pembiayaan kuliah yang mahal. Hasilnya, rektor turun tahta dari jabatannya. Kisah itu kemudian sempat diabadikannya untuk disematkan kepada nama anak pertamanya (kakak saya), yang bernama Susana Maylinda Demonsparanta. Nama paling belakang ini merupakan akronim dari “demonstrasi di perantauan”.
Kemudian ketika di lingkungan sekolah dan pergaulan di tengah kampung, saya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dengan logat ketimuran, akibatnya saya mendapat perundungan dari teman-teman sekolah dan juga orang-orang kampung. Mereka seolah mengasosiasikan bahwa saya lebih menyerupai orang timur (meski wajah saya mirip Jawa). Dan timur yang ada di kepala mereka adalah primitif, terbelakang, dan banyak yang telanjang. Dan mungkin saja mereka ingin merujuk kepada Papua. Saya kecewa, marah, tapi sulit untuk bisa mengungkapkan, kondisi tersebut tentu mempengaruhi kosentrasi belajar, dan kebebasan berkomunikasi.
Tapi beruntunglah, pada masa-masa ini pula saya juga cukup berterimakasih kepada tante saya. Adik paling bungsu dari Mama, Welas Asih namanya. Sebagaimana namanya, orangnya penuh perhatian dan kepedulian. Dia lah yang mengenalkan selera musik kualitas baik dan bacaan menarik kepada saya. Di pagi hari dia memutar The Beatles. Musik yang iramanya meloncat-loncat, terkadang sedih, kadang muram dan so sweat.
Musiknya yang begitu asketik, dan tersirat semangat muda. Kemudian di sore hari dia memutar lagu-lagu Kitaro, yang membunyikan warna-warni instrument musik yang jarang dimainkan oleh para musisi populer dunia. Bunyi-bunyian beduk, gendang, seruling, shamisen, kecapi, gitar listrik, efek musik digital membuat saya meresapi setiap dentingan, dan mencoba mengkhayalkan sesuatu yang sangat indah, seperti berada di tengah kosmos, saya seperti menemukan kompleksitas tersirat.
Di samping senang dengan musik, tante saya juga berlangganan majalah Instisari setiap bulan. Hingga pada suatu edisi, saya membaca majalah Intisari yang di dalamnya mengulas salah satu tokoh dunia. Seorang pria berambut gondrong sedikit bergulung dan mengenakan baret dihiasi bros bintang merah membuat hati saya kepincut.
Dia dikenang sebagai sosok berani, tampan, unik, dan cerdas. Dia mengusung ide-ide sosialisme, dialah seorang gerilyawan yang bukan hanya menenteng senjata dan buku ke mana-mana, dia membela rakyat miskin, melawan kapitalisme, dan mengusir imperilisme Amerika. Dia, telah mampu membuat jiwa saya bergidik, dirinya tak pernah gentar, terutama saat-saat di garis pertempuran, sekalipun penyakit asma menyertainya. Dari majalah kecil Intisari tersebut, saya pertama kali mengenal sosialisme. Majalah itu mengulas sosok Che Guevara.
Pasokan intelektual dari tante saya yang sangat berharga itu masih membekas. Saya mencoba merumuskan sendiri jati diri, dan belakangan mempengaruhi saya dalam menulis puisi dan berkespresi. Saya menemukan jawaban tentang identitas diri. Paling tidak identitas tentang saya yang paling hakiki ialah bukanlah identitas yang tunggal. Amartya Sen paling bertanggung jawab akan hal itu.
Saya sepakat dengan kegelisahannya, pandangannya tentang “bahayanya seorang manusia yang mempercayai ketunggalan identitas.” Beliau seperti mengemukakan bila seseorang bisa saja gampang terhasut, dan bahkan rela melakukan tindakan keji hanya karena sesat pikir mempercayai identitasnya yang tunggal. Setidaknya dengan argumentasi demikianlah sedikit demi sedikit mengobati diri yang mengalami perundungan dan beberapa segregasi yang pernah saya alami. Saya kemudian mengabadikannya dalam nomor puisi dengan judul ‘Pedang Khatulistiwa’.
Akulah pedang khatulistiwa yang membelah kebekuan jiwa
Kepada dada nusa yang membentang angkuh
Aku akan menyembelih setiap akal
Yang menafikan barisan puspa ragam bahasa dan wajah
Aku, akan memenggal belenggu batas tapal setiap jengkal
Yang ingin memisahkan kemanusiaan
Ideologi Puisi
Banyak kepingan alasan kemudian mengapa saya memilih puisi sebagai media. Seperti kebanyakan pada umumnya, semuanya bermula dari pengalaman, kesan, dan petualangan. Saya tentu kurang setuju dengan pernyataan dari Sutardji Calzoum tentang kemerdekaan puisi sejati, yaitu membebaskan puisi dari tetek bengek ide, gagasan, dan melatari lainnya. Puisi-puisi saya justru lahir dari situ.
Bagi saya, musthahil puisi dapat berdiri sendiri, di bawah kaki sendiri. Puisi, sebagaimana karya-karya lainnya tercipta dari campur tangan gagasan dan ide. Seperti halnya kursi, yang bermula dari gagasan dan ide, kemudian masuk pada tahap membuat kursi, dan terakhir menjadi benda kursi. Cara berpikir Plato demikian ini kiranya menjadi pembenaran saya dalam membela alibi saya sendiri.
Meliputi pulau, pesisir pantai, pegunungan, dan hutan berdampak besar terhadap cara pandang saya melihat rezim represif. Di tanah air kita, gerakan tani yang berada di Urut Sewu, Kulon Progo, masyarakat adat yang ada di pegunungan Kendeng, pegunungan Slamet, hutan Kalimantan, hutan Papua, hutan Sulawesi, hutan Sumatera, orang-orang ladang yang ada di Maluku, nelayan teluk Benoa, teluk Jakarta, Pangandaran, Karimunjawa, dan masih banyak lainnya yang tak sempat disebutkan. Mereka mempertahankan tanahnya dari perampasan oleh negara, militer, dan korporasi. Mereka mempertahankan ruang hidupnya dari kerusakan dan keserakahan kaum pemodal. Dan mereka hampir mengalami represifitas yang mirip. Ini belum termasuk mengenai nasib para buruh, kaum miskin kota, dan desa. Deretan penindasan yang panjang.
Saya berada di tengah-tengah situasi itu, dan sialnya, ini menjadi pengalaman dan juga kesan terhadap saya dalam menulis puisi. Puisi dan sastra telah menjadi solidaritas, kepedulian, dan kehadiran. Dalam pengertian singkat dan padat, Profesor sastra Inggris di Lancaster University, Terry Eagleton menyebut sastra adalah sebuah praktik sosial yang harus diarahkan pada pembebasan (emansipasi) manusia.
Lempengan-lempengan kesan, pengalaman, dan petualangan tersebutlah membentuk lapisan kehendak saya untuk menuliskan bait-bait puisi. Kata-kata terus bergerak, tak berjarak, tak ada pembatas, tapi juga tak dipungkiri senang bermain-main dengan romantisme yang afektif.
Kawan-kawan, di bulan yang sama ini, namun pada tahun 1998 silam, 21 tahun lalu, seorang penyair cedal dari Solo dinyatakan hilang. Jika kata bersenjata menjadi kredo orang-orang Zapatista di pedalaman Chiapas, maka salah satu butir pelurunya adalah dia. Tak ada penyair di negeri ini kehadiran dan kehilangannya menjadi puisi. Orang-orang mungkin saja bisa membaca dan menulis puisi. Orang-orang bisa saja menjadi penyair yang tersohor. Tapi hanya dia, penyair yang kehadiran dan kehilanganya begitu puitik.
Negara mencoba melenyapkannya, namun kata-katanya menjadi frasa berlipat ganda. Di tulis di karton-karton, spanduk-spanduk, tembok-tembok, bergema di corong speker, di mulut toa, hingga berjalan wara-wiri di kaos para pemuda-pemudi yang membangkang. Wiji Thukul. Dia seakan terus berada di tengah-tengah kita yang resah, bosan, dan muak terhadap pengingkaran.
Buku puisi saya, kami sepakati untuk diberi judul ‘Kepada Wiji Thukul’, sebagai penghormatan, keberanian, cinta, dan dedikasinya terhadap kemanusiaan.
Akhirnya, paling tidak, pada puisi lah membuat kita bisa bekerja sama, bahkan dari yang saling tidak kenal sekalipun. Kita mempercayai adanya fiksi dan menyepakatinya secara bersama. Mengimaninya sebagai sesuatu yang melampaui dongeng. Melampaui realitas yang semu. Melebihi tafsir definisi mitos yang ditiupkan Yuval Noah Harari.
Sebagai penutup dari cerita puisi ini, yang sesungguhnya saya pun kurang yakin sebagai cerita puisi, izinkan daku membacakan sepenggal puisiku, tetapi tidak sebagai pengunci pertemuan yang fiksi ini.
SAKLAR
Hidup bagai menekan saklar
Menghidupkan ruang waktu
Atau tidur bersama lelap
*Tulisan ini, akan dipentaskan pada acara puisi akhir bulan, yang diselenggarakan oleh gubuk puisi API, di bsmd kopi nogo café, Godean, Yogyakarta.(*)