“Kesuksesan itu tak pernah final; kegagalan itu tidak pernah fatal. Yang penting adalah keberanian” -John Wooden, pemain basket
Dua kali saya baca buku berjudul Grit: Kekuatan Passion + Kegigihan ini di perjalanan. Saya menyukainya bukan karena isinya, tapi keyakinan penulisnya. Dibuka oleh kisah masa kecilnya yang selalu diremehkan. Dianggap bodoh karena tidak genius. Bapaknya penyuka hal-hal yang kaitanya dengan genius. Angela Duckworth tak merasa dirinya sebagaimana yang diinginkan ayahnya. Walau kemudian, dirinya mendapatkan hibah beasiswa.
Penasaran dengan soal genius, ia kemudian mendatangi West Point. Akademi Militer Amerika yang melahirkan orang semacam Rambo. Jadwal Akademi itu sangat ketat dan berat. Muncul pertanyaan dalam risetnya: siapa yang sanggup lulus West Point? Mereka yang sejak awal pintar atau mereka yang gigih. Jawabanya kita tahu: orang-orang tabahlah yang bisa lolos dari kawah West Point.
Tapi profesi apakah yang bisa jadi contoh ketabahan? Angela menyatakan mereka yang profesinya sebagai penjual. Kenapa? Karena sering sekali mendapat penolakan. Tapi apakah tabah saja cukup? Riset Galton tentang orang yang meraih prestasi puncak menggabungkan tiga kekuatan utama: kemampuan, semangat, dan kapasitas untuk bekerja keras. Biasa disebut di sekolah kita, tapi jarang sekali jadi ulasan yang menginspirasi.
Francis Galton bukan psikolog sembarangan. Ia saudaranya Charles Darwin, pria yang dikenal dengan teorinya tentang hukum alam dan spesies. Diakui oleh Darwin sendiri bahwa dirinya terbatas dalam memahami pikiran ilmiah dan daya ingatnya lemah. Tapi seperti diakuinya, “Keunggulan saya dibanding rata-rata manusia adalah ketekunan dalam mengamati dan mengumpulkan fakta, serta kecintaan penuh gairah pada ilmu pengetahuan alam.” Siapa siswa kita yang menyukai dan kenal Charles Darwin? Pria pintar ini lebih banyak dikutuk ketimbang dikagumi.
Buku ini seperti layaknya karya motivasi yang percaya akan kekuatan individu. Jika kekuatan individu itu terasah dengan rutin maka itulah namanya kebiasaan. Kebiasaan yang membuat seseorang memiliki keunggulan dan itu memang banyak dicontohkan oleh sejumlah tokoh. Hanya saja, apa yang memandu kebiasaan seseorang untuk kemudian memiliki prestasi? Apakah kebiasaan itu karena aturan?
Kebiasaan itu sebaiknya dipandu oleh minat yang dicampur dengan latihan dan berpusat pada orang lain. Mengikuti Aristoteles yang punya teori memeluk kebahagiaan dengan kombinasi antara suara hati dengan pengalaman diri yang positif. Gabungan antara ‘eudamoinic’ dengan ‘hedonic’. Sebuah kombinasi sikap yang sesungguhnya menjadi unsur ramuan utama dalam semua buku motivasi: memandang apa saja secara positif. Soal ini juga sulit dilatihkan dalam sekolah kita yang lebih sering mengancam ketimbang membuat siswa nyaman!
Tapi apa ada negara yang dapat mencerminkan semangat semacam ini? Penulis menyebut Finlandia. Contoh yang juga sering kita kutip untuk rujukan kualitas pendidikan terbaik. Wilayah kecil di Eropa Timur yang penduduknya menempati rekor sebagai paling bahagia. Budaya apa yang ada di Finlandia yang menuntun warganya jadi tangguh? Itulah yang dinamai dengan sisu: gabungan antara unjuk kegagahan, kegarangan, keuletan, dan semangat tak menyerah sama sekali.
Tahun 1939 digempur oleh Uni Soviet yang memiliki senjata, pasukan, pesawat tiga kali lipat, tetapi mampu bertahan di luar prakiraan negara komunis itu sendiri. Seorang warga Finlandia melukiskan dirinya sebagai ‘seorang yang keras kepala dan percaya bahwa ia bisa membalikkan nasib buruk dengan membuktikan bahwa ia sanggup bertahan dalam keadaan lebih buruk’. Lalu bagaimana mereka menaburkan semangat sisu itu? Melalui ekstra kurikuler di sekolahnya yang memang Finlandia dikenal paling top!
Kata orang Finlandia, “Keikutsertaan dalam acara tamasya Pramuka, misalnya, saat anak-anak usia tiga belas tahun ditugasi untuk menjaga anak-anak usia sepuluh tahun sendirian, tampaknya mempunyai korelasi dengan sisu.” Buku ini menawarkan hal unik karena ketangguhan itu bukan melalui kompetisi, tapi kegiatan ekstra. Apa kaitannya?
Riset yang ditampilkan buku ini ternyata memberitahu kita kalau pelajaran ekstra di sekolah memberi anak pelajaran penting tentang ketabahan dan komitmen. Latihan ketabahan itu bukan pada penguasaan pelajaran, tapi ketrampilan yang biasanya disediakan pada kegiatan esktra. Pada kegiatan esktra anak belajar apa saja: kerja sama, komitmen, kebiasaan positif, hingga toleransi. Maka penting sekolah menyajikan kegiatan esktra yang paling dasar sekalipun, seperti pelajaran seni dan musik.
Di buku ini Anda diyakinkan kalau kegiatan ekstra bisa meningkatkan ketrampilan sosial yang kelak berguna bagi kehidupan sosial di masa mendatang. Tak tanggung-tanggung, ada riset yang memberikan hasil: mereka yang gemar kegiatan esktra biasanya lebih punya komitmen menyelesaikan pendidikan bahkan mendapatkan pekerjaan lebih baik, ketimbang yang tidak pernah ikut kegiatan esktra. Kegiatan esktra membuat anak belajar untuk ramah pada orang lain.
Sebaiknya buku ini dibaca oleh guru, kepala sekolah, dan ketua OSIS. Biar lebih memberi perhatian besar pada kegiatan pembelajaran yang berunsur ‘pemupukan’ ketrampilan sosial. Hal yang diabaikan dan sekarang malah mau ditanam dengan pendidikan karakter yang muatanya mirip dengan pelajaran pada umumnya. Tahukah siapa yang jadi contoh guru ideal dalam pendidikan macam ini? Anda pasti tak kenal karena saya juga baru mengenalnya.
Joseph Brodsky, seorang pelarian Rusia dan penyair penerima hadiah nobel. Pada setiap kuliahnya, ia meminta mahasiswa menghapal puisi Rusia. Efeknya dramatik: mereka menjadikan hidupnya lebih bergairah, merasakan sebagai orang Rusia, dan membuat hidup mereka jadi berubah cara pandangnya. Kebiasaan ini ternyata tak hanya dilakukan oleh Joseph Brodsky, tetapi juga di West Point.
Di West Point ternyata menghafal kata demi kata merupakan tradisi kebanggaan. Bisa diurutkan kata apa saja dihapal: lagu, puisi, pedoman, keyakinan, kata bijak yang semuanya musti dihapal oleh kadet di tahun pertama. Sebenarnya apa yang diinginkan dari proses itu semua? Ternyata menghapal kemudian disertai dengan respek atau membantu jika tidak mampu yang akan melahirkan lingkungan saling mendukung.
Secara sederhana, pendidikan bukan melatih orang menjadi pribadi paling hebat, tapi membuat semua orang merasa perlu untuk saling menjadikan dirinya sama-sama hebat. Kata bersaing sumbernya berasal dari bahasa latin, yang secara harfiah bukan mengalahkan orang lain tapi berjuang bersama. Nah, buku ini meyakinkan Anda pada suatu titik bahwa pandangan positif bukan berasal dari diri sendiri saja, tapi musti dilatih dalam lingkungan secara bersamaan.
Buku yang lebih penting dibaca ketimbang buku LKS saya rasa!(*)