“….Apa yang mengagetkan bagi orang Indonesia adalah bahwa banyak dari pemilihan anggota DPRD ini melibatkan bukan hanya jual beli dukungan politik, melainkan juga suatu jenis praktik jual beli yang mungkin bisa ditemukan dalam pasar ternak yang nyata, dengan alat tukar berupa uang tunai ….” -Democracy For Sale
Saya membaca buku ini di sela-sela sillaturahmi keluarga. Perbincangan tentang Pilpres 2019 mendominasi hampir setiap pertemuan. Seperti biasa, kami semua terbelah dalam pilihan: sebagian memilih Prabowo sedangkan lainya menyukai Jokowi. Tapi kami merasa itu semua sudah berlalu walau ada yang kecewa dan beberapa curiga ada kecurangan. Hanya lebaran yang membuat diskusi itu tak berjalan panas karena kami semua menganggap itu hanya lampiran hidup saja.
Tapi cerita yang paling panas adalah tentang pilihan legislatif. Selalu ada kisah mengenai uang dan seringkali cerita dibumbui dengan mereka yang kemudian kalah dalam pertarungan. Saya tidak takjub tapi saya kagum dengan bagaimana cerita itu semua menyeret banyak orang dalam adegan kolosalnya. Ada yang jadi tim sukses, ada yang dapat bayaran, ada yang tak memilih meski sudah dikasih uang, dan ada yang untung besar. Rasanya pesta pemilu kemaren yang penting bukan kandidat, tapi bagaimana massa terlibat di dalamnya.
Nah buku berjudul Democration for Sale karya Edward Aspinall dan Wars Berenschot secara gurih menyimpan banyak cerita mengenai itu. Diawali dengan kisah pilihan Walikota Tangerang yang memunculkan kandidat dari petanaha dan saudara dari elite yang berkuasa. Mereka semua bertarung untuk memperebutkan suara dengan cara apa saja. Tujuan utamanya menang dan itu bisa ditempuh dengan cara apapun. Bisa dengan memanfaatkan program yang ada untuk kampanye atau mencoba membuat janji atas kebijakan yang tak bisa ditunaikan oleh pejabat saat ini. Ibarat peperangan, maka Pemilu terutama Pilkada merupakan pertarungan dengan taktik apa saja.
Klientisme merupakan konsep penting untuk memahami politik di Indonesia. Klintelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material. Konsep yang membuat saya bisa memahami mengapa semua orang kemudian terlibat dalam ritual politik karena itu memang menjanjikan banyak harapan. Itu sebabnya kampanye golput jadi tak berarti banyak di tingkatan rakyat pada umumnya.
Lewat perbandingan Argentina dan India, buku ini menawarkan sudut pandang unik. Keuntungan material merupakan salah satu dorongan untuk ikut dalam pesta demokrasi. Kalau di Argentina partai politik memegang peranan penting dalam membantu kebutuhan warga sekaligus membagi proyek sosial yang diperuntukkan untuk warga. Di sini situasinya berbeda karena partai politik minim peranannya. Telah lama partai politik sepanjang Orde Baru diredam perannya, digantikan oleh para elite yang ada di lingkaran birokrasi. Itulah yang kemudian menciptakan -istilah dalam buku ini- klientilisme gelindingan roda lepas (halaman 10).
Kaum birokrat ini telah menciptakan jejaring sosial sendiri yang lumayan efektif dalam menjaring suara. Pada buku ini diperlihatkan contoh yang menarik bagaimana Pilkada kebanyakan dimenangkan oleh petahana atau mantan birokrat yang punya jabatan penting. Dalam politik di Indonesia yang penting memang bukan gagasan, melainkan ‘siapa yang Anda kenal, untuk dan kepada siapa Anda membayar atau membalas jasa, dan kepada siapa Anda bersumpah setia’. Birokrat punya kemampuan untuk mengetahui semua jawaban di atas. Jejaring birokrasi punya keandalan dalam memastikan semua orang yang pantas untuk diajak terlibat dalam meraih kemenangan.
Melalui berbagai contoh, buku ini dengan menakjubkan memberi kita pandangan yang paling realistis bagaimana demokrasi bekerja di level akar rumput. Warga memilih didasarkan atas pertimbangan rasional sejauh mana mereka memaksimalkan akses terhadap sumber daya yang tersedia dan politisi juga menargetkan sumber-sumber daya yang tersedia untuk memaksimalkan pencapaian kemenangan dalam pemilu. Itu sebabnya para politisi dan pejabat dengan mudah menemukan metode untuk membajak program-program pemerintah dan menggunakannya untuk kepentingan yang terkait dengan Pemilu.
Buku yang memuat 10 bab ini merupakan studi penting, relevan, dan aktual untuk memahami proses politik yang bekerja di sini. Lewat buku ini semua bisa memahami betapa karakter politik pemilu pada pasca Orde Baru itu memiliki tiga ciri yang mendasar: peran partai politik ternyata relatif kecil, ketergantungan pada jejaring personal, dan posisi serta peran penting aparatus pemerintah. Dasar itu semua diletakkan oleh Orde Baru yang karakter utamanya adalah menginstitusionalkan dan bahkan menguniversalkan distribusi patronase sebagai karakter utama penataan politik (halaman 63).
Dikawal oleh Militer yang membersihkan politik dari konstentasi ideologis dan programatik sehingga negara memang menjadi pusat segalanya. Wajar jika kemudian negara dengan sistematis membagi saluran bantuannya pada perkumpulan-perkumpulan sosial yang sebenarnya dibentuk melalui prakarsa para aktornya. Partai politik sedari awal memang dikikis peranya. Soeharto di masa Orde Baru mengikat semua akses untuk tunduk kepadanya dan semuanya tergantung pada relasi dengannya.
Sebuah warisan hitam yang kemudian diistilahkan oleh Ben Anderson sebagai ‘negara-bagi-dirinya sendiri’ tak beda jauh dengan model negara kolonial. Walau ada banyak perkumpulan atau organisasi, tetapi semuanya telah dilepaskan ikatannya dari kehidupan partai politik. Orde Baru mencaplok semua ormas untuk pengaturan bisnis dan politik patronase. Efek dari pola politik semacam ini memang bahaya karena partai politik kemudian tak bisa berperan banyak dan partai politik sendiri rentan secara internal.
Terbitlah kemudian fenomena partai politik yang diprakarsai oleh elite-elite lama. Di tahun 2004 bahkan muncul ‘partai-partai presidensialis’ yang didirikan untuk meneruskan ambisi seorang pribadi menjadi presiden. Tapi tak seperti di Filiphina yang mana partai politik tumbuh dan hancur setiap saat bahkan bisa bubar dan muncul kembali, sedang di sini registrasi partai untuk bisa ikut dalam Pemilu relatif berat dan aturan ambang batas membuat sistem kepartaian berusaha menciptakan stabilitasnya.
Singkatnya, ada keinginan untuk mempertahankan partai politik sebagai penjaga utama Pemilu meskipun tantangannya adalah terbatasnya kekuatan partai untuk mempengaruhi massa sekaligus persaingan keras dengan perkumpulan masyarakat yang sudah punya akar di tingkat basis. Situasi itulah yang menyebabkan suburnya pekerjaan para broker. Buku ini mengulas dengan kaya perangai broker dalam Pemilu.
Setidaknya pemilihan kepala daerah langsung menciptakan situasi yang membuat partai politik musti memilih calon yang populer di mata rakyat dan sekaligus pemilihan langsung makin memarginalkan peran partai politik. Kenyataan ini membuat kandidat lebih banyak menggunakan jejaring pribadi dalam kompetisi politiknya dan suburnya praktik jual beli suara karena pilihan langsung mengembangkan relasi langsung antara para calon dengan pemilih. Apalagi dengan sistem proporsional terbuka saat warga memilih nama calon bukan partai politiknya.
Buku ini menampilkan studi yang kaya terutama kait mengkait antara calon, jejaring sosial, kelompok pemburu rente, hingga jejaring birokrasi. Relasi yang rumit sekaligus pragmatis ini membuat peta politik terus menerus didominasi oleh kalangan oligarki. Walau relasi ini tak semua sama pada setiap daerah, tapi buku ini menyimpan kecemasan yang serupa bahwa politik di Indonesia makin meluncur pada praktek klientelistik, .eski praktek ini bervariasi di sejumlah tempat.
Menariknya, buku ini membuat survei yang mengukur di sejumlah kawasan mengenai praktek klientelistik yang di beberapa wilayah sangat berbeda: Jawa mengecil terutama di kota besar dan luar Jawa praktek ini umum terutama di pusat ibu kota. Tesisnya semakin ekonomi tergantung pada negara, maka praktek klientelistik makin dominan dan makin diservikasii pusat perekonomian serta kontrol masyarakat sipil yang ketat membuat praktek ini menurun kadarnya.
Apa pentingnya riset ini bagi gerakan sosial? Peta ini memberikan gambaran tentang kompleksitas masyarakat yang akan diorganisir. Tantangannya bukan sekedar politik uang, tapi lapisan elite di jajaran birokrasi yang memanfaatkan anggaran negara untuk membeli dukungan. Politisi bukan lahir dari partai politik, tapi jejaring birokrasi yang memiliki basis kuat dan terawat sekaligus pengusaha rente yang telah punya basis logistik mencukupi untuk bertarung. Kalau politik bermuara pada transaksi sekaligus melemah jika ekspansi pasar merajai semua sektor, maka apa harapan kita pada demokrasi?
Tak ada jawaban mengenai itu semua karena riset ini memberikan gambaran paling masuk akal tentang dunia politik yang kini direcoki oleh uang, jejaring klientelistik, dan birokrasi yang seringkali dimanfaatkan untuk kompetisi politik. Buku ini memberikan contoh dan analisis yang dalam mengenai bantuan-bantuan klientelistik -apakah itu pengiriman amplop yang diisi uang tunai pada saat pemilihan, pemindahan birokrat yang setia kepada posisi-posisi yang menguntungkan, atau alokasi hibah pemerintah pada tim sukses (halaman 354) -yang akibatnya sulit untuk melahirkan politisi progresif, idealis, dan militan untuk muncul.
Meskipun kesimpulanya pesimistis, tapi buku ini seperti memberi sapuan yang kaya mengenai politik Indonesia yang tak berubah drastis karena landasan yang diciptakan oleh Orde Baru kini menemukan manfaatnya. Bukan hanya diperlemah oleh tradisi patronase, tapi dinamika perkembangan politik tak menyuburkan kesadaran progresif pada massa rakyat. Partai Politik dijauhkan dari peran vitalnya dan diremukkan oleh sistem pemilihan yang mengakibatkan fungsi pragmatisnya lebih menonjol. Politisi di buku ini lebih banyak ‘berkeluh kesah’ ketimbang percaya kalau ‘ide politiknya’ bisa meyentuh kesadaran rakyat.
Mungkin itulah jawaban dari pertanyaan kita hari ini mengapa reformasi yang didengungkan dengan nyaring kini hanya bisa dibaca dengan rasa pesimis dan skeptis. Buku ini ramuan yang indah untuk bisa menikmati kenyataan politik hari ini. Tak memberi kita keyakinan tapi keraguan dan kesangsian. Jamuan data yang lezat membuat kita paham betapa perjuangan demokrasi kini menghadapi semak belukar yang lebih kompleks.(*)