“Aku mau menggambarkan polarisasi dan ketimpangan di masyarakat sebagai komedi yang menyedihkan. Dalam kehidupan yang nyata, pertemuan kelompok berbeda diharapkan berjalan simbiosis. Namun, jika tidak berhasil, yang terjadi adalah hubungan yang parasit.” -Bong Joon-ho
Bong Joon-ho baru saja meraih penghargaan. Atas karyanya yang satir berjudul Parasites atau Gisaengchung. Ia memenangkan piala palem emas atau Palme d’Or di Festival Fim Cannes, Perancis. Sutradara asal Korea Selatan (Korsel) ini memang banyak melahirkan film yang unik, mengejutkan, dan kontroversial. Misalnya film The Host (2006) yang mirip adegan Goodzilla tapi dengan struktur cerita yang kritis dan menyengat. Kritik tegas pada pencemaran lingkungan yang selama ini dijalankan perusahaan. Begitu pula Snowpiercer (2013) yang menegaskan pertarungan kelas sosial antara kaum miskin dengan jutawan yang berlangsung dalam kereta api.
Saya baru saja menikmati karya lamanya Okja (2017), tentang gadis kecil yang memelihara babi hasil rekayasa genetik. Walau memang bermula dari adegan yang angkuh saat Miranda, perempuan ambisius yang merasa bahwa krisis makanan hanya bisa diatasi dengan rekayasa genetik. Ambisi perusahaannya adalah membagi hewan hasil rekayasa genetik pada semua peternak di dunia. Kalau hewan itu sudah waktunya disembelih maka dibawa ke kantor pusat perusahaan. Di sana babi-babi itu akan dicacah menjadi daging sosil yang kecil.
Perusahaan tak pernah tahu bahwa hewan dan manusia tak selalu punya hubungan keji. Pada suatu sudut desa di kaki pegunungan Korea, seorang gadis bernama Mija memiliki hewan piaraan hasil rekayasa genetik. Berdua, mereka habiskan waktu untuk menikmati panorama alam serta hidup seperti layaknya saudara. Babi hasil rekayasa itu bernama Okja. Okja bukan babi yang tak peduli pada pengasuhnya. Mija pernah diselamatkan nyawanya oleh Okja.
Tapi perusahaan memang tak peduli dengan itu semua. Okja waktunya dibawa ke kantor pusat untuk diperlihatkan bagaimana cara perusahaan menciptakan hewan raksasa yang dagingnya enak untuk disantap. Tapi Mija berani menentang ambisi perusahaan. Anak itu memburu para penangkap Okja dan itu membawanya pada petualangan yang bahaya. Seorang anak dengan dibantu oleh organisasi pecinta hewan menentang proyek rekayasa genetik.
Bong Joon-ho bukan seorang Marxis tapi filmnya sering menyiratkan pertarungan kelas sosial. Ia tampaknya resah dengan kehidupan kapitalistik yang sangat eksploitatif dan merusak segalanya: hubungan kemanusian hingga lingkungan. Protesnya keras pada taktik keji perusahaan yang berpedoman mencari laba dengan menghalalkan segala cara. Pada film Okja garis pergulatan itu tampak dari bagaimana keinginan perusahaan yang merias profilnya seakan-akan beroperasi dengan cara manusiawi.
Bong Joon-ho dengan piawai memperlihatkan bagaimana eksekutif perusahaan yang mengambil keputusan didasarkan atas laba, sensasi, dan tak memperhitungkan masyarakat sama sekali. Mereka percaya produk apapun asal murah pasti diterima. Baik produk itu kandunganya berbahaya atau dalam prosesnya ada keadilan yang dianiaya. Bagi perusahaan, masyarakat hanya kantong besar yang pikirannya tak terlalu jauh kecuali untuk mempertahankan hidup.
Okja dengan energik memperlihatkan bagaimana media yang pedomannya adalah mengail laba terus membantu perusahaan merias diri. Citra perusahaan dibangun oleh para pekerja media yang dengan pintar menyulap sebuah acara raksasa yang berakhir tragis. Okja memberi penegasan apa yang sudah dirasakan lama: perusahaan bisa melakukan segalanya dan mampu membeli siapa saja. Pada kisah Okja yang dibentuk bukan pertarungan antara akal dan nurani, tapi akumulasi melawan keberanian.
Mija seorang anak yang dibesarkan oleh alam dengan pengetahuan sederhana tentang kepedulian. Saat perusahaan mengusik hidupnya ia tak mau diam. Bertarung dengan caranya dan menawar hidup Okja melalui logika perusahaan yang tak mau rugi. Anak itu memang ditolong oleh gerakan pecinta hewan, tapi kemenangannya ditentukan oleh sikap sang anak dalam hadapi pemilik perusahaan.
Mija tahu ia berhadapan dengan siapa. Pemilik modal yang memiliki segalanya. Mustahil ia menentang seluruh proyek operasi perusahaan. Mija hanya menginginkan Okja. Keputusanya melawan semata-mata ingin melindungi Okja. Bong Joon-ho yang waktu kuliah berada dalam suasana Korsel yang menuntut demokrasi, mencoba untuk meletakkan Mija sebagai seorang pejuang. Pejuang yang sendiri tapi tetap memegang keyakinan kalau ia tak bisa ditaklukkan.
Film ini merawat kenangan heroik kita tentang perlawanan. Selalu dalam hidup kita akan bertemu dengan kaum yang terus menerus ingin mencetak laba. Hidup mereka hanya berputar di sekitar laba dan menjadikan apa saja jadi komoditas. Tentu pandangan hidup picik dan konyol ini tak semua menerima bahkan banyak anak muda melawannya. Okja meneguhkan gelombang perlawanan itu. Di mata Mija, tak semua orang bisa dibeli dan tak semua orang harus mau dengan logika hidup jual-beli.
Bong Joon-ho tinggal di negeri yang kini sedang menuju posisi sebagai negara maju. Berada dalam suasana industri dengan perusahaan yang berdiri di sana-sini. Korsel menuju pada sistem kapitalisme yang mempertahankan pada kekuatan jasa dan industri berat. Sebagai sekutu Amerika Serikat, Korsel tumbuh dengan bersinar: produknya ada di mana-mana dan kemajuan ekonominya ditempuh dengan cara seperti negara lainnya. Bong Joon-ho membuka tabir kehidupan sosial Korsel yang tak semuanya menikmati keunggulan ekonomi: orang desa lugu yang ditawan oleh kepentingan perusahaan dan petugas keamanan yang jadi kaki tangan pabrik.
Bong Joon-ho mewakili kegelisahan kita semua. Terhadap operasi bengis perusahaan yang kini meraja-lela. Kita memang tak bisa melawan semuanya, tapi Okja memberi tahu kita untuk tetap berani mempertahankan kehormatan, harga diri, dan martabat seorang manusia bahwa tak semua orang bisa dibeli dan tak semua orang itu keyakinan utamanya pada perolehan laba. Bong Joon-ho memberi kita pesangon untuk ke alam baka: beranilah menentang kekuatan yang menghitung semuanya dengan laba.
Karena hanya keberanian yang membuat hidup itu bernilai dan keberanian yang menciptakan hidup itu punya energi yang menyala-nyala.(*)