Oleh: Vera Safitri
Judul : Kemolekan Landak
Penulis : Muriel Barbery
Penerjemah : Jean Coteau dan Lady Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : Februari 2017
ISBN : 978-602-03-3827-9
Betapa malang jika seorang manusia menetapkan kecerdasan sebagai tujuan. Saat kecerdasan ditetapkan sebagai tujuan, dia akan bekerja dengan cara yang aneh. Pengetahuan membentuk dirinya dengan mengorbankan kepekaan-kepekaan kita sebagai “manusia”. Ini tentu berkebalikan dengan cinta. Mencintai bukanlah cara, ia adalah tujuan. Auwah!
Muriel Barbery, seorang novelis tangguh Perancis, barangkali dengan penuh rasa jijik mencemooh laku semacam ini lewat dua tokoh utamanya dalam novel, Kemolekan Landak (2017). Novel dituturkan dalam bentuk catatan-catatan dua perempuan Perancis bernama nyaris mirip: Renée Paloma dan Renée Michel. Bentuk penuturan ini membuat novel Barbery yang satu ini jadi terbaca semacam esai-esai pendek yang berlumur pergulatan seru.
Renée Paloma adalah gadis cerdas berumur duabelas setengah tahun, putri keluarga kaum intelek Perancis. Ayahnya anggota parlemen, ibunya seorang wanita kelas atas yang “kebetulan” lulus sebagai psikoanalis. Seperti umumnya keluarga intelektual lain. Orangtua Paloma dengan terperinci, telah mentitik-gariskan tangga hidup Paloma sampai ke lantai akademis yang sama dengan mereka. Kau, tau, sepasang intelektual yang tidak melahirkan intelektual adalah bencana. Seperti budaya marga Korea, kehancuran satu anggota marga akan meruntuhkan harga diri seluruh garis marga itu. Paloma kecil menyebut konsep ini sebagai garis hidup “akuarium”. Hidup dengan kemegahan intelektual, di ruang sempit keangkuha kelas sosial.
Itulah sebab mimpi terbesar Paloma untuk mati di usia 16 tahun. Hal itu ia putuskan demi keengganannya memasuki dunia orang dewasa yang, baginya, dipenuhi absurditas memuakkan. “Aku sebentar lagi meninggalkan masa kanak-kanak yang meskipun aku paham bahwa hidup ini adalah dagelan yang tak lucu, namun aku tak yakin bisa bertahan hingga akhir. Memang aku sangat cerdas, tapi aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bergumul dengan pikiran-pikiran ini” (hlm. 10). Paloma kecil menganggap, kematian mampu memutuskannya dari rangkaian omong kosong orang dewasa, dan mempertahankannya dalam kesucian masa kanak-kanak.
Kita bisa melihat tatanan ganjil kehidupan intelektual orang dewasa lewat mata belia penuh gugat Paloma, yang ia tulis dalam catatan-catatan yang ia juduli, Pemikiran Mendalam dan Harian Pergerakan. Keduanya sama-sama catatan harian. Padahal selama ini kita membayangkan, catatan harian adalah tumpahan pikiran-perasaan yang tertulis untuk diingat atau dipikirkan kembali. Tapi Paloma sengaja membuat catatan hariannya terpisah jadi dua buku: satu untuk pikiran, satu untuk tubuh.
Catatan Pemikiran Mendalam ia buat untuk menampung pemikiran-pemikirannya, sedangkan Catatan Harian Pergerakan dibuat untuk pergerakan tubuh. Bagi Paloma, dia butuh sebuat catatan untuk membahas laku eksistensial orang-orang di sekitarnya. Dalam Harian Pergerakan No. 1, Paloma menjelaskannya seperti ini, “Hal ikhwal apapun boleh kucatat dalam buku ini, asal mereka cukup indah untuk memberi arti pada kehidupan. Keluwesan, kecantikan, keselarasan, kekuatan. Kalau aku menjumpai sesuatu yang indah pada gerak tubuh, meski gagal menyelami ide cemerlang, barangkali aku akan mempertimbangkan pilihanku. Bisa jadi aku akan berkesimpulan bahwa hidup memang layak untuk dijalani” (hlm. 26).
Kecerdasan Paloma, gadis yang setara kelas enam sekolah dasar ini benar-benar sudah mencapai kemampuan universitas. Diperlukan usaha yang sungguh-sungguh keras untuk menjadi lebih dungu dari sebenarnya. Tidak seperti para caleg kita yang melulu sok lebih pintar dari sebenarnya, hah~
Sedangkan Renée yang satunya, bernama Renée Michel, seorang penjaga gedung apartemen yang dihuni Paloma, berumur 54 tahun. Jika Paloma begitu frontal menghadapi kecerdasannya, Michel justrumMati-matian menutupi kegemilangan pengetahuannya dengan berlagak dungu nyaris seumur hidupnya. Dia mencoba sekuat tenaga, hadir sebagai penjaga gedung yang sesuai dengan kerangka pikir normatif orang-orang di sekitarnya. Menyembunyikan dirinya sebagai penggemar karya-karya sastra Rusia, peresensi requim-requim klasik yang andal, serta seorang pemikir cukup ulung soal banyak karya lukisan Eropa. Ia melatih matanya agar terbiasa menampilkan tatapan kosong pada lawan bicaranya, berjalan terbungkuk-bungkuk ragu, selalu tersenyum, bertingkah takjub saat seseorang mengobrolkan Marx, apapun yang bisa membuatnya tampak dungu dan sesaui dengan kerangka pikir banyak orang tentang seorang penjaga gedung!
Diam-diam Michel menampilkan suatu hal ngeri kepada pembaca: sebuah pesimisme akut terhadap intelektualitas dan kelas.
Di jagat yang bulat ini, intelektualitas pada tempat yang tak seharusnya adalah penghinaan. Apakah kita benar-benar tahu di mana tempat yang seharusnya bagi intelektualitas? Jelas! Di setiap kepala kita, terbentuk imaji “tempat yang seharusnya” itu. Maka itu kita tak pernah bosan merasa takjub dengan berita-berita, “Remaja Loper Koran ini Lulus Cum Laude”, “Kisah Inspiratif Gadis Miskin Kulaih di Harvad”, “Kisah Nyata Perjuangan Jadi Sarjana”, bahkan biografi konglomerat sekaligus penguasa PT Trans Corp, Chairil Tanjung, dikenal karena “Anak Singkongnya”. Tak banyak yang mengenalnya sebagai pakar manajemen canggih Indonesia, dan bodoh amat dengan strategi bisnis cemerlang yang dijalankannya. Kita masih terpukau dengan narasi: berasal dari keluarga miskin tak menghalangi mereka untuk berprestasi. Di manapun tempat yang pantas bagi intelektualitas dalam kepala-kepala kita, yang pasti ia bukan milik seorang penjaga gedung tua juga bukan milik gadis cilik duabelas setengah tahun.
Hewan-hewan lahir dengan senjatanya masing-masing untuk menjaga mereka agar tetap bertahan hidup. Dalam hal ini, kita dibekali pikiran yang masih mentah. Kita membutuhkan perangkat yang lebih kompleks supaya pikiran mentah itu terus mengokohkan diri. Menciptakan kepekaan dan keberterimaan yang melindungi kita dari kerakusan alamiah kita. Termasuk keangkuhan berwujud intelektualitas.
Keangkuhan ini, sayangnya tak berwujud perdebatan-perdebatan sengit karena ketakjuban-ketakjuban konyol yang diciptakan oleh para politikus setiap harinya. Bahkan, kecerewetan yang disiapkan untuk memuji-cela buku-buku terbitan baru. Keangkuhan ini justru datang dari lagak minum kopi dan koran setiap hari, demi menjaga laku intelektualitas itu sendiri.
Di rumah Paloma, tempat sebagian besar catatan itu terpikirkan. Ia banyak menyaksikan adegan-adegan memuakkan yang berbungkus lagak intelektual semacam itu. “Setiap pagi, saat sarapan, Ayah minum kopi dan membaca Koran. Beberapa koran, tepatnya; Le Monde, Le Figaro, Liberation, dan sekali tiap minggu, L’Express, Les Echos, Times Magazine dan Courier International. Namun, aku lihat sekali bahwa kepuasannya yang paling besar ialah cangkir kopi pertama dengan La Monde di hadapannya. Ia hanyut dalam bacaannya selama setengah jam lebih. Untuk bisa menikmati setengah jam ini, ia harus bangun benar-benar sangat pagi, bahkan bila ada sidang malam dan ia hanya tidur dua jam. Ia bangun jam enam dan membaca Koran sambil meminum kopinya yang sangat keras. Seperti itulah Ayah setiap hari mengkonstruksi diri.” (hlm. 91)
Di banyak hal, kopi dan koran, sebagai dua entitas angkuh yang entah bagaimana ceritanya, jadi simbol laku intelektualitas. Keduanya sama-sama memiliki citra maskulin yang juga dimiliki oleh intelektualitas itu sendiri. Tentu kita tidak sedang menggunjingkan kopi di Indonesia yang kini kebacut melekat pada diksi senja dan lagu-lagu indie. Kopi seakan lebur dalam persoalan yang melulu cinta dan perasaan sepi. Kita muak. Paloma pun sama.
Hal memuakkan ini justru yang mapan terjadi di lingkup akademis mutakhir, intelektualitas, jadi semacam “kelas” yang ingin dimasuki banyak orang. Memasuki kelas intelektualitas jenis ini bukanlah terlalu sulit. Di kampus-kampus, gelar-gelar intelektual dirayakan dengan prestisius. Para professor menghamburkan rasa syukurnya dengan jamuan yang digelar persis seusai tepuk tangan di acara pengukuhannya. Tesis boleh saja terabaikan, apalagi para hadirin memang nyaris tak datang dengan bekal penasaran soal penelitian yang mengantar sang professor didaku jadi pemikir canggih di kalangan akademis. Meski begitu, laku kudu tetap ngintelek (memuakkan): obrolan harus penuh diksi-diksi ilmiah, tahu banyak nama penulis dan punya banyak stok kutipan buku termasuk minum kopi dan membaca koran hari ini.
Nyaris setiap pagi, ia menyaksikan lagak kelas intelektual ini di meja makan rumahnya. Ayahnya menyeruput kopi sambil membaca koran, ibunya menikmati kopi sambil membolak-balikkan katalog, Colombe, kakaknya meminum kopi sambil mendengarkan musik.
Namun, Paloma kecil yang sudah jijik setengah mati dengan lagak orang-orang dewasa di rumahnya itu dengan frontal membangkang. “Ibu pesan the melati dan ia menyuruhku mencicipinya. Bagiku rasanya sangat enak, sangat “aku”, sehingga pagi ini aku berkata bahwa itu yang ingin aku minum sejak sekarang di sarapan pagi” (hlm. 95).
Si Cerdas Paloma bukan hanya memiliki kesadaran akan dirinya yang terwujud dalam diksi “sangat ‘aku’”. Paloma adalah satu-satunya dari anggota keluarganya yang berupaya menjadi “aku”. Ia jadi satu-satunya dalam keluarga intelektual ini yang tidak menggenggam koran di sarapan pagi, dan justru membaca dengan telaten manga Taniguchi yang menurutnya, “mengajariku banyak hal tentang manusia”.
Begitulah teh dan manga melawan kopi dan koran. Keanggunan dan kegembiraan melawan agresivitas yang menyedihkan dan otokrasi intelektualitas orang dewasa.
Dalam novel ini, hal itu justru kita terima dari seorang psikolog kapitalis yang sedang dalam sesi mengobrol dengan Paloma yang dianggap ibunya, tidak waras. “Kamu ini anak cerdas, aku tahu” katanya. “Tapi orang bisa sangat cerdas sekaligus tidak berdaya, kamu tahu, sangat sadar dan sangat menderita”. Lalu aku merasakan sengatan kemarahan naik ke hidung (hlm. 30).
Kecerdasan mustahil bercakap-cakap sendiri. Toh, Paloma akhirnya merasa lebih hidup saat bisa minum teh dengan teman-temannya. Bercakap-cakap dan saling bercerita sebagai sesama “manusia”. Justru berbahaya apabila kecerdasan dan tingkat akademis sudah terlihat sebagai benda mati dan kehilangan daya, kemanusiaannya. Predikat akademis ini mewajibkannya mengurusi kemajuan kemanusiaan, pemecahan permasalahan yang amat menentukan nasib manusia, kesejahteraan atau peningkatan adiluhungnya. Sungguh merepotkan!