M. Fakhru Riza
Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Aktif di Komunitas Santri Gus Dur Jogja dan Social Movement Institute
***
Dalam tulisan ini penulis ingin mengulas akar problem teoritik yang mendasari perilaku politik kontemporer kita dalam sistem demokrasi liberal, lebih spesifiknya yang berkembang dalam disiplin Psikologi Politik. Upaya untuk membedah landasan teoritik psikologi politik yang menopang ‘teori partisipasi politik’ penting untuk dikritisi supaya kita bisa melampaui dan memberikan pandangan baru partisipasi politik yang lebih progresif dan demokratik. Bukan hanya sekedar keterlibatan politik kita direduksi habis-habisan hanya menjadi lima tahununan dengan mencoblos di Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana yang ditopang oleh teori ‘psikologi partisipasi politik’ arus utama.
Selain itu, menjadi kegelisahan penulis sendiri selaku bagian dalam komunitas akademik dalam disiplin Ilmu Psikologi. Acuan teoritis dalam refrensi-refrensi akademik untuk membaca situasi politik kekinian memiliki masalah-masalah ideologis yang terselubung. Kemudian, ketika landasan teoritiknya sendiri sudah bermasalah, maka sejauh apapun pembacaan maupun penelitian tentang situasi politik kekinian akan selalu menghasilkan kesimpulan yang sama (tidak kritis). Maka dari itu, upaya penulisan ini menjadi sedikit ikhtiar untuk mengetengahkan problem-problem teoritik yang mendera teorisasi psikologi politik arus utama.
Partisipasi Politik dalam Demokrasi Liberal
Dalam disiplin Psikologi Politik (merupakan kolaborasi antara disiplin Psikologi dan Ilmu Politik yang mulai mengemuka pada tahun 1970an [Montero Maritza: Hal 212]) penteorisasian tentang aktivitas politik warga negara dibahas dalam tema ‘psikologi partisipasi politik’. Oleh para psikolog politik arus utama, partisipasi politik direduksi habis-habisan hanya berkaitan dengan aktivitas pemungutan suara pada saat Pemilu atau berafiliasi (contoh: menjadi caleg) pada partai politik dalam sistem demokrasi liberal.
Dengan kata lain, yang diharapkan oleh teori partisipasi politik hanya dikaitkan dengan aktivitas Pemilu dan Partai Politik. Pandangan demikian ini sangat reduksionis dan simplistis terhadap aktivitas politik seseorang. Pendekatan demikian ini juga abai terhadap pembacaan yang tak kasat mata yang menyelubungi politik pada kegiatan politik demokrasi liberal. Ia akan luput membaca problem ideologi dan kuasa sistemik yang mendera sistem demokrasi liberal (borjuis). Bagi para psikolog politik mainstream yang mendukung teori partisipasi politik, apapun wajah sesungguhnya demokrasi yang kita hadapi, idealnya bagi mereka kita harus berpartisipasi dalam setiap Pemilu.
Bagi mereka alternatifnya hanya dua, menjadi pemilih setiap Pemilu dengan harus mencoblos, atau kita harus menjadi kandidat partai politik, masuk ke dalam partai tanpa pernah tahu dan faham secara kritis kondisi dan hambatan sistemik partai politik kita yang isinya para oligark ataupun barisan kolaboratornya. Sekaligus, jika ada warga negara lainnya yang merasa tidak puas dengan kandidat dalam Pemilu yang merupakan hasil dari negosiasi oligarki (seperti kasus Pilpres 2019 kali ini) akan dicaci-maki dan dianggap apolitis dan sekaligus dikutuk tidak berhak melakukan kritik terhadap rezim yang akan terpilih kemudian hari.
Watak reduskionis yang akut mendera penteorisasian ‘partisipasi politik’ tersebut berimplikasi kepada praktik intervensi para psikolog yang memiliki spesialisasi dalam Psikologi Politik hanya dengan bertugas mendorong para warga negara untuk menjadi ‘melek politik’ dalam arti disiplin dan patuh dengan Pemilu atau bertugas memberikan training moral kepada para politisi supaya menjadi politisi yang profesional dan baik (tentu dengan standarisasi yang reaksioner dan dangkal).
Kemudian, penteorisasian ‘partisipasi politik’ yang bermasalah tersebut mendapatkan kritik yang mendalam dari para psikolog kritis. Psikologi Kritis ini merupakan pewacanaan dari para ilmuwan psikologi yang kecewa dengan perkembangan ilmu psikologi arus utama yang dinilai jatuh kepada pendekatan yang positivistik dan seolah-olah obyektif, padahal hanya menjadi selubung ideologi yang menguntungkan status quo [Lihat Dennis Fox dan Issac Prilletinsky, dalam Psikologi Kritis]. Upaya kekecewaan mereka kemudian berbuah kepada gugatan kritis terhadap disiplin ilmu psikologi arus utama. Mereka menyebutnya dengan pendekatan Psikologi Kritis.
Dalam konteks penteorisasian ‘partisipasi politik’, Maritza Monterro yang merupakan profesor di jurusan Psikologi Sosial Universidad Central de Venezuela memberikan kritik yang dalam. Monterro memberikan alternatif baru terhadap teori partisipasi politik arus utama, ia menyebutnya sebagai tindakan politik. Bagi Monterro, tindakan politik lebih menekankan karakter dinamis dari aktor-aktor sosial yang menentukan dalam masyarakat dan dalam membangun institusi sosial yang adil. Dengan kata lain, tindakan politik merupakan keterlibatan seseorang dalam dunia politik yang dinamis dan tidak dibatasi hanya mencoblos atau menjadi kandidat pada Pemilu saja.
Ia dinamis dalam konteks permasalahan yang sedang dihadapi oleh kehidupan politiknya. Ia juga tidak boleh abai dengan selubung-sebulung ideologis yang menindas masyarakatnya. Ia juga harus bisa mempersoalkan problem sistemik dari dunia politik yang sedang ia hadapi. Monterro membawa perspektif yang lebih luas dalam membaca partisipasi politik. Ia mengaitkan dengan kehidupan yang lebih luas dari sekedar melihat psikologi politik seseorang dengan kacamata individualistik semata.
Justru bagi Monterro, dengan keluasan pembacaan, individu malah bisa menjadi agen perubahan sosial politik yang membebaskan masyarakat dari ketertindasan politik yang sistemik dan terselubung. Hal ini sangat relevan membaca selubung-selubung sistemik dan ideologis di balik praktik demokrasi liberal di Indonesia yang masih dalam cengkraman oligarki [Jefrey A. Winters: Hal 266]. Dalam situasi cengkraman oligarki politik tersebut tak ada jalan keluar jika hanya tindakan politik diartikan sebagi keterlibatan politik pada Pemilu lima tahunan semata.
Tindakan politik dinamis sebagaimana dikatakan Monterro justru memberikan paradigma baru kepada kita sehingga memungkinkan untuk melakukan akselerasi dan melakukan perubahan politik di luar Pemilu lima tahunan. Dari situ, kita dituntut untuk mencari imajinasi politik baru yang mampu membongkar selubung-selubung oligarki politik sekaligus selubung cengkraman kapitalisme-neoliberalisme dalam politik kita.
Imajinasi dan Tindakan Politik yang Lebih Partisipatif
Kita kini dihadapkan kepada suatu kenyataan bahwa aktor-aktor politik (parpol dan kuasa oligarkinya) menguasai aktivitas politik saat ini. Sehingga kemudian, agenda-agenda progresif, penuntasan pelanggaran HAM, politik perburuhan, hingga reforma agraria mangkrak tak ada hasilnya. Dengan kata lain, sebuah kedunguan jika agenda politik kita masih membebek dan memberikan dukungan sia-sia (sekaligus gratis) kepada kekuatan politik yang tidak merepresentasikan kepentingan progresif kita. Malah justru sebenarnya, pososisi petahana maupun oposisinya adalah musuh kita bersama.
Dengan kata lain, tindakan politik kita tidak diarahkan semata-mata untuk aktivitas politik pada Pilpres 2019 ini. Harus ada imajinasi politik untuk melampaui agenda-agenda politik kotak suara. Politik elektoral demokrasi liberal memiliki problem terkait presentasi dan representasi. Sistem ini yang mendaku sebagai sistem yang terbaik saat ini, pada kenyataannya memiliki krisis terkait dengan substansi demokratiknya. Demokrasi hanya dimaknai urusan coblos-mencoblos saat Pemilu.
Setelah Pemilu, kita (rakyat) tidak memiliki kuasa sama sekali. Semisal ada pejabat (legislatif, yudikatif, maupun eksekutif) yang bekerja menghianati kepentingan publik dan demokratik kita bersama. Kita tidak bisa menariknya dan menggantikannya dengan delegasi lainnya secara langsung. Sistem demokrasi liberal saat ini mekanismenya sangat rumit dan seolah-olah demokratik dalam arti ada pengawasan. Akan tetapi, bentuk pengawasan dan fungsi penarikannya diberikan kepada kekuasaan partai. Nah, di sinilah problemnya. Partai, posisinya elitis dan tak bisa dikontrol langsung oleh rakyat.
Sistem demokrasi yang demikian pada dasarnya tidak sesuai dengan praktik demokrasi ala polis Athena (sebagaimana para teoritisi demokrasi liberal mengklaim). Demokrasi polis Athena, merupakan demokrasi dengan musyawarah dan partisipasi langsung. Jika ada delegasi politik yang tak sesuai dengan keputusan musyawarah. Maka ia bisa ditarik langsung oleh warga (rakyat)[Janet Biehl: Hal 19].
Simpulan
Dari krisis demokrasi liberal soal pemusatan kekuasaan dan tak ada kontrol rakyat langsunglah yang menjadikan agenda-agenda yang sifatnya progresif tak bisa kita selesaikan. Selalu saja berbenturan dengan kontradiksi kuasa hasil dari pemusatan kekuasaan ala demokrasi liberal yang akhirnya memunculkan faksi-faksi kekuasaan yang kedua-duanya jauh dari kontrol langsung rakyat.
Maka kemudian, agenda-agenda politik ke depan kita tujukan kepada tindakan-tindakan politik yang mendorong percepatan terbentuknya sistem politik demokrasi partisipasi langsung. Saat kita bisa mengontrol langsung agenda-agenda politik kita bersama. Jika belakangan ini yang mengemuka dalam diskursus alternatif publik menjelang Pilpres adalah golput, maka dari titik point itu perlu ada konsolidasi untuk mengorganisir diri bersama untuk membuat proposal politik kolektif bersama yang melampaui praktik demokrasi liberal yang tak bisa kita kontrol langsung.
Kepustakaan