“Salah satu tujuan perguruan tinggi adalah menyampaikan perdebatan bodoh dengan cara yang bodoh dan kemudian belajar, melalui interaksi dengan sesama mahasiswa dan dosen, mengenai betapa bodohnya mereka” -Dan Dezner
“Jangan pernah merasa yakin mutlak akan segala hal” -Bertrand Russell
“Semangat petualangan, saya yakin, krusial bagi kehidupan kesarjanaan yang benar-benar produktif” -Ben Anderson
Tak ada tokoh kampus yang populer hari ini selain Rektor Universitas Sumatera Utara (USU). Bukan karena temuan ilmiah yang dilahirkan, tapi kebijakan represif yang diputuskan. Jauh sebelumnya, ada Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang memicu persoalan internal tentang bisnis gelar. Sebelumnya lagi, ada rektor yang masuk penjara karena tuduhan korupsi. KPK malah mulai mencurigai proses pemilihan rektor yang punya bau suap. Sekilas informasi ini membuat kita curiga, apa yang sedang terjadi di kampus hari-hari ini?
Saat Orde Baru digoyang, kampus punya peran bersejarah. Hampir semua kampus di Indonesia pada masa itu jadi awal tempat berangkat para demonstran. Para dosennya punya peran sebagai oposisi yang secara berani menentang kediktatoran Soeharto. Walau tak semua kampus mengambil peran progresif, tapi kematian sejumlah mahasiswa, bahkan penculikan yang sasarannya adalah mahasiswa menempatkan kampus sebagai tempat pendidikan kaum pergerakan. Kejatuhan Soeharto seperti pintu bagi semua akademisi untuk menyambut harapan baru.
Di Universitas Islam Indonesia (UII) tempat saya kuliah, banyak dosen kemudian hijrah dalam kekuasaan. Begitu pula Universitas Gajah Mada (UGM) yang malah pernah menempatkan dosennya dalam kedudukan tertinggi: ketua MPR hingga wakil Presiden. Malah, Presiden Jokowi dulu adalah mahasiswa fakultas Kehutanan UGM. Tersirat ada kebanggaan, rasa unggul, dan percaya, kampus punya ikatan suci dengan penguasa. Ikatan yang kemudian membentuk pola relasi baru di antara kampus dengan negara. Tak lagi sebagai oposisi kritis, tapi mitra, bahkan sekutu yang loyal.
Walau tak sesederhana itu pola relasinya, tapi kampus memang mulai secara bertahap menyesuaikan dengan irama reformasi. Di antaranya adalah pola perubahan tata kelola yang memberikan banyak otonomi pada kampus. Otonomi itu yang memberikan wewenang kampus untuk mengembangkan institusinya bukan hanya sebagai lembaga pendidikan tinggi, melainkan juga tempat belajar apa saja yang kadang tidak ‘tinggi’.
Di antaranya adalah bagaimana merebut pasar mahasiswa yang secara jumlah sangat potensial. Di sejumlah kampus negeri, mulai digagas penerimaan melalui jalur mandiri. Terlebih di kampus swasta yang secara mahir mulai menggunakan strategi pemasaran yang serupa dengan iklan produk komersial. Pola penjaringan mahasiswa yang tak hanya mengandalkan pengalaman belajar dan perolehan pengetahuan, tapi pertimbangan kelas sosial yang berhasil meletakkan sendi baru pada Institusi kampus.
Kampus mulai berusaha mencangkokkan ‘watak komersial’ yang berimplikasi banyak: kampus mulai memikirkan untuk meraih laba, kampus membuka diri untuk industri apa pun untuk bekerja sama, dan kampus mulai berusaha membatasi kebebasan akademik. Resiko atas keputusan pragmatis ini melahirkan efek dramatis: pengembangan usaha komersial kini menjadi wewenang kampus, bangunan kampus mempertimbangkan efek komersial, dan kegiatan kampus berorientasi komersial.
Tapi yang beresiko adalah kehidupan mahasiswanya. Kondisi yang tak hanya terjadi di Indonesia, tapi Amerika sekalipun. Dilukiskan oleh Tom Nichols, penulis buku Matinya Kepakaran:
“Kini di banyak kampus, mahasiswa diperlakukan sebagai klien dan bukan murid. Orang-orang yang masih muda, baru lulus sekolah menengah atas, dimanjakan secara material maupun intelektual. Ini kemudian memperkuat kecenderungan-kecenderungan terburuk para mahasiswa yang belum belajar disiplin diri -sesuatu yang pernah dianggap sangat penting untuk meraih pendidikan lebih tinggi. Perguruan tinggi kini dipasarkan seperti paket liburan selama beberapa tahun, bukan sebagai kontrak dengan institusi dan dosen untuk perjalanan pendidikan.”
Fungsi perguruan tinggi bergeser dari tempat pendidikan menjadi tempat pelatihan. Sehingga fungsi gelar tak menandakan pelatihan atau pendidikan, melainkan sekedar ‘bukti’ kehadiran rutin peserta didik di kampus. Cerminan kampus Amerika ini tentu tak jauh berbeda dengan di sini, ketika kampus telah mengalami persegeran keras, yang berawal dari upaya pengembangkan kultur pengetahuan menjadi tempat untuk latihan tenaga kerja.
Konsekuensinya, banyak kampus abal-abal muncul. Di Yogyakarta sendiri banyak kampus yang berantakan karena konflik yayasan hingga kampus yang menularkan kesadaran palsu. Sebutlah cerita tentang kampus yang mahasiswanya tiba-tiba terjangkit kesurupan lalu diselesaikan dengan kegiatan ritual. Pola pembelajaran yang berbeda-beda dan tak dipahamai membuat kampus tak mampu bertahan sebagai institusi yang liberal dan sekuler.
Beruntung kampus dibesarkan cerita tentang pergerakan mahasiswa. Himpunan anak-anak muda yang punya kesadaran kritis, berusaha untuk selalu sangsi atas apa saja, dan terbuka dengan gagasan alternatif. Kisah mengenai mereka terentang sejak Soekarno hingga Budiman Sudjatmiko. Nalar intelektual yang dibangun tidak didasarkan atas kepatuhan, tapi kemauan kritis untuk meyakini pengetahuan itu membawa perubahan dan kemajuan peradaban.
Yogyakarta kaya dengan suasana akademis semacam itu. Kini bagaimana upaya membangkitkan itu semua tak lain adalah melalui himpunan atau organisasi mahasiswa. Tempat satu-satunya yang masih bisa diandalkan untuk mempertahankan aroma intelektual sebuah perguruan tinggi. Adalah mereka yang berusaha untuk merayakan kegiatan intelektual, mengembangkan gagasan gagasan alternatif, hingga mencoba melakukan banyak pembelaan pada lapisan masyarakat yang tak berdaya.
Kampus baiknya memelihara dan membesarkan pergerakan. Di antara terjangan fanatisme dan irasionalitas, dunia pergerakan yang dapat menjadi perisai andal. Mereka yang masih meyakini bahwa akal sehat, perbedaan, serta pengetahuan kritis bisa menjadi alat pertimbangan masuk akal melawan tiap propaganda palsu. Topangan pilar pergerakan mahasiswa itulah yang akan mampu mempertahankan budaya kebebasan akademik di kampus.
Kini budaya itu terancam oleh keputusan otoriter yang tak memahami makna dan arti sebuah kampus. Kalau tiap upaya menggulirkan ide dihakimi dengan cara sewenang-wenang, maka kampus telah kehilangan arti sebagai tempat untuk belajar. Konsekuensinya kampus bisa makin konsevatif, konformis, dan mandeg. Suasana intelektual yang padam itulah yang bisa diselematkan hanya oleh pergerakan mahasiswa.
Saya yakin, karena keberadaan pergerakan mahasiswa itulah, kampus tak semata-mata sebagai lorong calon tenaga kerja, melainkan harapan munculnya kesahajaan intelektual. Suatu konsep yang diartikan sebagai, “Kumpulan kesadaran seseorang yang ditujukan ke diri sendiri dalam mengakui bahwa pemikirannya mungkin salah mengingat bahwa pengetahuannya sesungguhnya tak sebanyak yang dipercayai, serta memahami bahwa kemampuan berpikirnya terbatas dan pendapatnya mungkin tak berimbang, [Iwan Parnoto, Guru Besar ITB]” Itulah roh yang ditanam dalam dunia kampus mustinya!
Semoga kampus kita mampu meneladani semangat itu semua. Amiiin!(*)