“Saya lebih menyukai ‘politik anti-politik’, yaitu politik bukan sebagai teknologi kekuasaan dan manipulasi. . . atau sebagai seni dari yang berguna. Tetapi, politik sebagai suatu cara untuk mencapai dan mencari kehidupan yang bermakna, menjaganya, dan berbakti kepadanya. Saya lebih suka politik sebagai moralitas praktis, sebagai pengabdian kepada kebenaran, sebagai suatu perhatian kepada sesama manusia. . .” -Vaclav Havel
Kali ini harian Kompas (26 Maret 2019) harus membuat penjelasan terhadap hasil surveinya yang sempat dipublikasikan. Isinya memang mengejutkan: Jokowi unggul, tapi Prabowo terus menanjak. Jarak di antara keduanya makin tipis. Survei ini kontroversial. Tuduhan dialamatkan pada orang dekat pemimpin redaksi. Dianggap berpihak dan mulai berusaha mempengaruhi opini. Malah ada yang mengajak untuk berhenti berlangganan Kompas.
Kejadian ini tak muncul lima tahun yang lalu. Tampaknya pertarungan menuju RI 1 berjalan ketat, berat, dan habis-habisan. Seolah ini menjadi pertaruhan terakhir di antara kedua kandidat. Sehingga para pendukung mulai berusaha untuk melawan siapa saja yang menurunkan pamor calonnya. Survei yang dilakukan memang menempatkan Jokowi pada urutan tertinggi, tapi jaraknya dengan Prabowo makin tak jauh. Survei bukan memberi kejelasan, tapi berubah fungsi jadi provokasi.
Walau dibalut dengan tradisi ilmiah, tapi ada banyak keraguan soal independensi lembaga survei. Prabowo bahkan terang-terangan curiga pada proses, motivasi, hingga kepentingan di balik survei. Tampaknya keraguan itu menyebar begitu cepat sehingga harian sebesar Kompas ikut memberikan klarifikasi. Gawat sudah kalau metodologi sebuah survei tak lagi dipercaya dan hasilnya dianggap hanya keinginan untuk menguntungkan salah satu calon.
Peran survei kini bukan lagi jajak pendapat, tapi memastikan siapa pemenang. Apalagi hasil survei ini kemudian jadi bahan liputan besar-besaran media massa. Kita bukan hanya terganggu dengan reaksi, tapi kita juga merasa perlu untuk mengingatkan lembaga survei. Bukan pada metodologinya, tapi juga cara menyampaikan hasilnya. Seakan hasil itu memastikan siapa pemenang dan siapa yang ditundukkan. Padahal pada politik itu ada unsur yang selalu tak bisa diabaikan yakni ‘ketidakpastian’.
Mari kita berhitung tentang Jokowi. Seorang kandidat yang punya segudang prestasi tapi juga diterpa banyak isu hoaks. Kalau dibandingkan dengan presiden sebelumnya, Jokowi punya kerja infrastruktur yang mengagumkan. Banyak jalan tol dibangun, waduk dibuat, hingga Investasi didatangkan. Tapi juga ada banyak soal pelanggaran HAM yang tak bisa dipenuhi. Hanya pukulan berat pada dirinya bukan ketidakmampuan memenuhi keadilan, tapi citranya yang terlanjur dianggap sebagai pro China hingga tidak dekat dengan Islam. Jokowi berhadapan dengan terpaan isu hoaks tentang dirinya, bukan kerjanya.
Sebaliknya Prabowo yang terus gagal menjadi kandidat wakil presiden maupun presiden kini punya sekutu baru. Kelompok yang menamakan diri 212 telah memutuskan untuk dukung Prabowo. Ditemani Sandiaga Uno, mereka terus mengobarkan resep ekonomi yang dianggap manjur: turunya harga bahan pokok, lapangan kerja tersedia, hingga diraihnya kedaulatan. Janjinya meski abstrak tetapi mempesona banyak kalangan yang termakan hoaks tentang Jokowi. Walau dirudung banyak kasus sekitar tim suksesnya, tapi Prabowo muncul sebagai anti-tesa Jokowi: pesona pada penampilan dan retorikanya.
Kini jenis publik seperti apa yang akan memilih keduanya? Survei tak banyak memberi petunjuk masyarakat seperti apa yang jadi pemilih hari ini. Survei tak menjangkau sejauh itu atau tak mau mengangkatnya. Tentu keragamannya tinggi, tapi kalau Pilgub DKI jadi petunjuk kecil, maka kita memang musti kuatir. Sebagaimana kekhawatiran yang dinyatakan oleh Kompas. Mudahnya, kita dimakan oleh isu yang tak jelas, tapi dinyatakan berulang-ulang.
Dengan pengguna internet sebanyak 56 persen total populasi, sementara ada 133 persen pendaftar telpon seluler, maka kita mendapatkan ‘postur’ publik hari ini: memakan informasi dari media sosial, mengolah informasi sebagaimana logika media sosial, dan memutuskan tindakan berdasar informasi yang tersedia. Itu artinya profil yang nantinya akan dipilih bukan yang sekedar sesuai harapan, tapi seperti yang dikemas dalam media selama ini.
Mengapa bisa seperti itu? Karena menurut suatu tulisan, kita ini menghabiskan waktu dalam mengakses internet setiap hari selama 8 jam 36 menit (kompas 26 Maret 2019). Itulah dunia sosial masyarakat kita!
Jadi siapa pemenangnya? Mungkin yang disebut pada sejumlah lembaga survei, tapi juga bisa jadi yang populer di media sosial. Ukuranya memang bukan lagi apa yang mampu dikerjakan ketika berkuasa, tapi apa yang dianggap memenuhi kerinduan publik saat ini: figur yang diharapkan memenuhi mimpi mereka sekaligus figur yang bisa memuaskan hasrat mereka. Mungkin karena itu, kali ini pemilihan berjalan brutal, keras, dan bahaya. Pemilu itu jadi berperan dalam pemuasan hasrat ketimbang peneguhan nilai demokrasi.
Tim sukses bukan lapisan yang salah. Kandidat tak pula jadi tersangka utama. Hal yang sama ada pada partai politik dan media: keduanya tidak bisa jadi tersangka tunggal. Tapi semuanya turut bertanggung jawab dalam membawa kampanye jadi kegiatan yang membunuh keadaban. Sikap nyinyir, saling ejek, bahkan kecaman pribadi yang dikemukakan dan jadi bahan berita telah mencuat serta diterima sebagai ‘perangai yang normal’.
Kita ternyata bukan dipukul oleh terorisme dan korupsi, tapi oleh hilangnya rasa kewargaan yang prinsipnya adalah kerja sama dan berbagi tanggung jawab.
Yang kita pertaruhkan bukan lagi akal sehat dan nilai demokrasi. Namun jaminan bagi kepuasan kita sebagai manusia yang tamak akan kekuasaan, ingin mendapatkan tahta, dan berambisi untuk mengalahkan siapa saja. Pasti kita kuatir karena kita mungkin tak mendapatkan pemimpin, tapi perompak akal sehat yang ketika ingin mendapatkan tahta melakukan cara apa saja. Inilah masa paling darurat dalam demokrasi dan semoga kita siap menghadapi resiko semuanya.(*)