Oleh Muhammad Fakhrurrozi (Mahasiswa Fakultas Hukum UII dan Pegiat Social Movement Institute)
Awal mula buku ini diberi nama “Sekolah!”. Namun mengalami perubahan yang hingga saat ini buku tersebut berjudul “Sekolah Itu Candu”. Lahirnya buku ini bermula dari sebuah peristiwa ketika rekan dekatnya Roem Topatimasang menemukan kumpulan tulisan yang tersimpan dalam perpustakaan pribadinya kemudian mengumpulkan tulisan-tulisan yang tercecer tersebut menjadi sebuah buku.
Buku ini pada dasarnya membahas sesuatu yang sudah tidak asing lagi dalam forum-forum diskusi hingga warung kopi. Ya benar, pendidikan. Membahas persolan pendidikan di Indonesia memang tidak pernah ada habisnya. Sampai lahir judul-judul buku yang satir seperti “Orang miskin dilarang sekolah” karya Eko Prasetyo hingga yang cukup mengerikan buku karya Chu-diel yang berjudul “Sekolah dibubarkan saja”.
Pendidikan kita hari ini tidak hanya berhasil mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat Undang-Undang Dasar 1945 namun turut serta menjerumuskan anak bangsa. Berbagai penelitian dilakukan untuk menilai serta memberikan pendapat terhadap sistem pendidikan apa yang pantas diterapkan di Indonesia. Pergantian menteri turut pula membawa perubahan sistem pendidikan. Kurikulum diubah kemudian melakukan beragam uji coba hingga menciptakan kelinci uji coba berbentuk manusia.
Makna sekolah yang pada awalnya hanya berarrti pengisian waktu luang namun kini justru diperluas menjadi suatu sistem kelembagaan pendidikan yang kadangkala dan celakanya justru diartikan sebagai hakikat pendidikan itu sendiri. Hari ini sekolah telah menjadi suatu pengertian stereotip, bahkan suatu stigma kental dalam masyarakat. Pakaian yang seragam, ujian kenaikan tingkat, pemberian ijazah hingga gelar akademis. Padahal, dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Masyarakat mungkin asing mendengar “sekolah keahlian administrasi perusahaan” yang coba anda bayangkan terdapat sebuah sekolah yang sepenuhnya berkegiatan bukan di satu gedung atau ruang kelas tetapi di gerbang kereta api bawah tanah yang sedang meluncur. Sepertinya yang sering didengar adalah “sekolah anak jalanan/gelandangan” yang banyak bermunculan di sudut kota dari Rio De Jenero sampai Manila hingga Jakarta. Bagi mereka yang sudah terlanjur menganggap sekolah dalam arti yang gaib selama ini, maka memang sulit untuk memahami bahwa sekolah justru bisa saja sangat berbeda dengan apa yang mereka pikirkan.
Pernah ada sebuah sekolah yang bernama Sekolah Tinggi Wiraswasta di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Sejak awal sudah menjelaskan bahwa mahasiswanya tidak akan memperoleh ijazah dan juga gelar akademis apapun. Mereka hanya akan mendapatkan jaminan kemapuan mandiri dan berkarya meskipun sekecil apapun. Namun anda sudah pasti tahu nasibnya saat ini, hanya mampu berdiri selama 3 tahun dalam keadaan hidup segan mati tak mau.
Pasar bebas tak hanya berdampak pada masalah perekonomian namun merambah kedalam dunia pendidikan juga. Bisnis buku, pakaian sekolah hingga jabatan pimpinan suatu instansi pendidikan turut hadir dalam diskursus permasalahan pendidikan. Pendek kata penddikan telah menjadi suatu komoditas.
Hari ini sekolah sudah persis seperti perusahaan. Sekolah tidak hanya tentang mengajar peserta didik namun mengurus hal-hal seperti administrasi, manajemen, proyeksi rencana induk pengembangan, anggaran belanja, efisiensi, moral kerja, promosi bahkan tiap tahun harus pandai-pandai menghitung arus penawaran dan permintaan. Persaingan antar sekolah juga terjadi, sekolah negeri dengan sekolah swasta. Tidak jarang sesama sekolah negeri juga turut berkompetisi jadi jangan terkejut jika peserta didik juga terpengaruhi oleh ideologi kompetisi ini. Hari ini kita sibuk disuruh menghafal pelajaran bahkan kata-kata atau istilah asing yang mereka tidak ketahui makna dan artinya, bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dalam kehidupannya. Layaknya khalayak yang tercabut dari akarnya.
Upaya pembaruan sistem pendidikan nasional di Indonesia sudah sering dilakukan. Namun hingga saat ini upaya tersebut hanya berputar pada persoalan yang itu-itu saja, seperti: bagaimana menyesuaikan perangkat teknis persekolahan dengan kemajuan manajemen dan teknologi modern. Justru bukan bagaimana mempertanyakan kembali secara kritis hakikat pendidikan itu sendiri. Pauo Freire sendiri meyakini bahwa hakikat pendidikan itu sendiri merupakan sarana penyadaran dan pembebasan, fungsi guru sebagai kawan belajar, kedudukan murid sebagai subjek utama dan realitas kehidupan sebagai objek pendidikan.
Sayangnya sekolah justru sudah mirip dengan pasar, pabrik maupun perusahaan pengolah. Hal ini dibuktikan dengan sumber daya manusia terlatih hasil dari sekolah merupakan salah satu faktor atau fungsi produksi ekonomi yang utama dan vital selain sumber daya alam dan sumber daya modal (uang dan kekayaanan). Sekolah kini menjadi bagian mekanisme pasar tenaga kerja (labour marker).
Buku yang berukuran tidak begitu besar dan tidak pula tebal ini ingin memberikan pesan sederhana namun penuh dengan makna. Bahwa kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk sekolah itu sendiri. Bagaimana sebenarnya ia mewujud pada saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dan ke arah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali.
Masihkah pantas sekolah mengakui diri sebagai pemeran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?.