“Betapa menakjubkan bahwa hidup yang paling sesaklah yang paling mudah diingat. Hidup penuh kegagalan, keberhasilan, kekecewaan, kejutan, dan krisis merupakan hidup yang penuh dengan peristiwa menonjol. Dalam hidup yang kosong, rinciannya pun buram, dan sulit untuk diingat dengan pasti” -Eric Hoffer
“Kebudayaan barbar ditandai dengan kehendak manusia untuk menundukkan dan melukai orang lain. Kebudayaan normal adalah kebudayaan orang-orang yang mengaggumi dan membiarkan sesamanya tertawa dan bahagia” -Nietzche
Siapa sesungguhnya orang besar itu? Mereka yang lahirkan perubahan, mengubah situasi, atau yang tak berpaling kecuali pada minatnya? Charles Darwin siapa yang menyangka akan menjadi seorang agnostik padahal dikirim untuk menjadi pendeta. Ia memburu jawaban atas pertanyaan yang paling saleh: dari mana asal usul manusia? Winston Churchill tak mau menjawabnya tapi menambah pertanyaan yang sangat politis: akan terus dibiarkan dunia ini di bawah ancaman orang gila yang bernama Hitler?
Buku ini menawarkan santapan yang ringan, hangat, tapi meyentuh. Mengenai beberapa orang yang diidealkan sebagai manusia hampir sempurna: melawan arus, menciptakan temuan, dan hidup dengan ketabahan luar biasa. Bunda Theresia yang dilukiskan selalu dengan kegigihan, kesabaran, dan rasa cinta yang membakar pada kaum miskin. Semangat yang diperantarai oleh asuhan ibunya yang menakjubkan: suka berbagi makan pada orang miskin sekitarnya.
Ditulis buku Character Is Destiny oleh dua senator, John McCain dan Mark Salter, yang punya hobbi langka: membaca buku dan menulis. Hobbi yang saya rasa sulit ditemukan pada kalangan anggota partai, apa lagi parlemen kita. Mereka sepertinya merasa penting untuk mencetuskan kisah-kisah klasik mengenai kepribadian agung. Seraya mengutip Shakespeare, kedua penulis itu percaya bahwa perubahan dapat dibimbing oleh karakter yang agung, gagah, dengan nurani yang bersih.
Kita bisa tertawa, senyum, atau sinis menilainya. Tapi memang buku ini bercerita kebesaran para pemimpin, seniman, hingga politisi yang melewati hidupnya dengan cara memukau. Thomas Moore misalnya, seorang yang melawan Martin Luther karena kuatir adanya kekacauan sosial tapi akhir hidupnya tragis sekali. Menolak menandatangani sumpah yang mengakui Anne sebagai ratu dan terang-terangan melawan raja.
Padahal dulu Moore sahabat karib Raja Henry. Hanya karena nuraninya menolak untuk merestui keputusan naif raja maka dihukum penggal dirinya. Hukuman yang dilukiskan oleh penulis dengan mengejutkan dan bernada humor gelap:
“….kembali ke sel, Moore bersiap menghadapi kematian dengan penuh doa, berani, serta gembira. Ketika seorang tukang cukur datang untuk merapikan rambut dan janggutnya, ia menolak dengan mengatakan bahwa raja berniat memiliki kepalanya, dan ‘Saya enggan membuang biaya lebih banyak untuk kepala.’” [Halaman 11]
Nada tulisan yang mencerminkan suasana gelap itu muncul pada tulisan tentang Winston Churcill. Semasa anak sering dapat hinaan, tak mendapat perhatian, bahkan nada cemooh bapaknya. Disindir dan dikatakan sebagai anak yang tak punya masa depan, dirinya merasa penting untuk melawan stigma itu. Saat menjadi perdana menteri usianya tak lagi muda, tapi keyakinannya untuk tak menyerah melebihi anak ingusan yang tak mau kalah.
Hampir semua kisah itu memberi kesimpulan kalau perubahan digerakkan oleh karakter mulia. Dan itu tak hanya dimiliki oleh nabi tapi juga manusia. Seorang individu yang memilih untuk tidak menyerah pada kenyataan, berpihak hanya pada hati nurani, dan meyakini kalau keadaan apa pun bisa diubah oleh perbuatan.
Benarkah itu?
Ini soal yang menyulut sejak lama. Kalau memang perubahan diubah oleh seseorang, lalu apa yang membuat seseorang tak memilih untuk berbuat bajik tapi malah perbuatan keji? Bagaimana mungkin lahir seorang Soeharto yang dengan kejam menyuruh orang membunuhi mereka yang kena tuduh PKI? Benarkah Soeharto tidak dibimbing oleh karakter yang mulia atau situasi yang membuat keputusan gila itu lahir?
Buku ini tak memperdebatkan itu, tapi menggali tiap sudut kehidupan individu. Seorang yang lahir dari keluarga bangsawan punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbaik. Seperti Wodrow Wilson yang diasuh oleh sekolah yang kualitasnya terbaik. Seperti halnya seorang yang tumbuh dalam keluarga penyayang akan muncul dalam dirinya sifat-sifat altruistik. Bunda Theresia contohnya.
Jadi keluarga, lingkungan, dan pendidikan amat mempengaruhi diri seseorang. Tak lahir Leonardo de Vinci yang kreatif, imaginatif, dan unik jika tak berada di lingkungan yang membuka fantasi itu tampil. Sebagaimana Gandhi takkan lahir kalau pengalaman penindasan tak dirasakannya langsung dan menyakitkan. Munculnya karakter mulia bukan dari bawaan semata, tapi diasuh oleh lingkungan, pendidikan, dan petualangan.
Yang memikat buku ini adalah gaya tulisanya: puitis, bersemangat, tapi reflektif. Bayangkan seorang senator yang menuliskannya: memberi gambaran kuat tentang pribadi seperti Mark Twain, Ferdinand Magelan, hingga Edith Cavell. Sebagian besar kita mengenalnya, tapi tulisan ini membuat kita jadi mengagguminya. Semangat yang tersimpan dalam tulisan ini adalah memberi magnet bagi kekuatan pribadi seseorang.
Jika dikritik, tulisan ini memang beraroma Barat. Para pahlawannya di antaranya adalah Jendral hingga seorang penakluk. Tak bisa diingkari seunggul apa pun seorang panglima, pasti dirinya adalah sosok yang keji: berani menumpahkan darah, tak takut untuk membasmi manusia, dan rasa kemanusiaannya musti tunduk oleh logika perang. Mereka manusia besar, tapi dengan dosa yang besar pula.
Tak banyak ilmuwan ditulis: Charles Darwin satu-satunya. Sastrawan hanya Mark Twain dan seniman hanya Leonardo de Vinci. Mayoritas adalah politisi, pejuang kemanusiaan, dan rohaniawan. Para individu yang dianggap penulis dibimbing oleh karakter mulia.
Pantas kalau buku ini ditulis oleh seorang senator. Keinginannya adalah memberi contoh bagi politisi mana saja yang sering mengabaikan nurani. Pasti tulisan ini tak banyak dibaca oleh koleganya, tapi buku ini memberi makna bagi siapa yang membacanya. Bahwa orang baik tak harus berasal dari utusan Tuhan, tapi manusia biasa yang peduli, empati, dan peka. Kita pun bisa memilikinya dan bangsa ini sedang kehilangan orang-orang semacam itu.
Buku ini cocok untuk kita yang sudah frustasi melihat ulah politisi. Makin konyol, mudah berseteru, dan tak gampang untuk bersama. Melalui buku ini kita memang mendapati berbagai contoh ideal, tapi kita mungkin harus mengakui kalau untuk terbitnya seorang tokoh mulia, yang diperlukan bukan sekedar keyakinan tapi juga lingkungan. Itulah yang kita hilang hari ini. Buku ini usaha sederhana untuk melakukannya.(*)