“Orang yang pintar menganggap hidup yang keras bersama orang-orang berakal lebih nyaman daripada hidup yang senang bersama orang-orang bodoh” -Aristoteles
Nak,
Percayalah kalau apa yang bapak katakan ini bukan hal yang mengada-ada. Tulisan ini tak berniat menghasutmu, apalagi merusak kepercayaanmu pada penguasa. Pesan ini bapak buat agar kamu meyakini kalau kekuasaan tak selamanya harus dipatuhi. Tulisan ini hanya usaha bapak meyakinkan padamu kalau kita hidup dalam kepungan bahaya.
Saat tulisan ini bapak buat, kamu masih duduk di bangku SMP. Menjadi remaja yang punya harapan indah akan masa depan. Dipadati dirimu oleh media sosial yang melahirkan banyak orang terkenal. Hanya komentar lucu atau sekedar pamer makanan orang bisa menghasilkan pendapatan besar. Kamu sedang berada di tikungan kapitalisme yang mutakhir.
Semua dinilai oleh uang. Hingga, beberapa anak seusiamu yang sudah pintar dapat uang. Sempat kamu terpesona tapi bapak hanya bisa ketawa. Bisa-bisanya anak kecil sudah menyukai dan mencintai uang dengan cara gila. Wajar jika temanmu suka membanggakan apa yang orang tuanya miliki: mobil, rumah, hingga jabatan. Seolah itu semua memang sepantasnya dibanggakan oleh remaja seusiamu.
Nak,
Bapak tak ingin cerita masa lalu. Namun bapak ingin berkata kalau uang tak pernah ada di pikiran bapak waktu remaja. Hidup hari itu hanya diisi oleh perasaan jatuh cinta, kuatir akan pelajaran matematika, dan bingung kalau kita tak menghapal lagu yang jadi primadona. Hidup dikelilingi oleh petualangan dan mimpi yang meyakinkan. Memang HP tak ada, tapi radio bisa membuat bapak bermimpi ke mana-mana.
Uang dan ketenaran itu menyenangkan. Tapi hidup tak bisa diukur hanya dengan cara itu. Rasa bahagia tak tumbuh dengan cara berapa banyak yang menyukai kita. Namun cukup dengan sejauh mana kita bisa membantu sesama. Cobalah sejenak dengarkan apa yang temanmu keluhkan, simpatilah sejenak pada masalahnya, dan sedikit bantu apa yang kamu mampu.
Kamu mungkin tak terkenal, tapi kamu bisa jadi kawan menyenangkan. Tak karena banyak uang, tapi karena banyak bantuan. Itulah arti utama menjadi teman. Seorang yang membuat kita tahu kelebihan kita dan menutup apa yang jadi kelemahan. Teknologi yang kami gunakan saat itu namanya kepercayaan. Yang dimanfaatkan bukan dengan memencet tapi kebersamaan dan persahabatan.
Nak,
Bapak dulu hidup di pemerintahan Orde Baru. Nama itu memang angkuh. Seakan apa yang terjadi di saat itu belum pernah ada di masa sebelumnya. Tapi memang benar. Itulah waktu ketika hidup tak bersandar pada akal, tapi kepatuhan. Di mana-mana yang ada hanya rasa kuatir, cemas, dan takut kalau berhubungan dengan penguasa. Mereka bisa melakukan apa saja yang tak kita duga.
Mula-mula muncul hantu bernama PKI. Hantu itu hidup dengan cerita yang bahaya. PKI itu pembunuh para Jendral. PKI itu memberontak ketika negara baru berdiri. Hingga PKI itu anjurannya adalah anti-agama. Kalau bisa diringkas, PKI itu ancaman hari itu, masa lalu, bahkan masa depan. Semua orang yang dianggap PKI hari itu musti ditumpas. Kalau tidak, nyawanya juga haknya, untuk hidup sebagai orang normal.
Kamu pasti bertanya mengapa bisa seperti itu? Masa itu sedang terjadi Perang Dingin. Antara dua negara raksasa Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Keduanya berusaha mencari sekutu. Dan negeri kita jadi sekutu terbaik AS. Kepatuhan pada Paman Sam ditunjukkan dengan memusuhi apa saja yang menjadi kebencian negara itu. Salah satunya adalah menodai ajaran komunisme dan membunuh anggotanya.
Pembunuhan itu terjadi secara massal. Korbanya jutaan. Kita lebih menyerupai negara Jerman di masa Hitler. Cara membunuhnya seperti konflik di Rwanda. Hanya menggunakan perangkat sederhana, rakyat biasa berperan seperti algojo. Didukung oleh serdadu, kita seperti kumpulan iblis yang tak pernah merasa berdosa pada kejahatan luar biasa yang kita kerjakan. Orde Baru benar-benar baru dalam melatih kita untuk jadi kejam pada sesama.
Nak,
Kekerasan menjadi awal berkuasanya Orde Baru. Lalu kekerasan menghiasi hari-hari pemerintahannya. Tercatat banyak orang dipenjara, dibunuh, hingga dipotong hak-haknya. Soeharto penguasa saat itu dikenal sebagai pelanggar hak asasi manusia. Nanti di akhir kekuasaanya, seorang penyair dan beberapa anak muda dilenyapkan olehnya. Itu kenangan hitam yang tak dapat dihapus hanya oleh pembangunan.
Saat kamu lahir, bangsa ini meninggalkan Orde Baru. Memeluk demokrasi ditandai oleh kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat. Tapi siapakah yang bisa memanfaatkan itu semua? Hanya mereka yang kaya, berpengaruh, dan punya posisi. Itulah yang terjadi di kemudian hari: orang yang dulu berkuasa ingin mempertahankan posisi dengan melakukan persekutuan.
Yang kamu lihat hari ini dulunya bermusuhan: orang yang dulu mengutuk Soeharto kini bersatu bersama putera-puteri Soeharto. Anak muda yang dulu diculik malah ikut bangun partai bersama penculiknya. Begitu pula orang yang memuja nasionalisme kini malah bersama dengan pemuja pasar bebas. Kaum demokrat yang aktif berjuang kini duduk nyaman bersama kekuasaan.
Nak,
Itukah namanya hidup? Saa tiap orang boleh berbalik posisi: dari yang benar jadi salah, lalu yang salah mencampuri yang benar? Kalau tiap pencuri tak bisa dihukum dan yang jahat boleh saja bercampur dengan yang berkuasa, maka yang hilang pertama-tama adalah kepercayaan. Kita meragukan apa yang dilakukan oleh penguasa karena dikelilingi oleh mereka yang dulu pernah berdusta.
Tidakkah kamu kecewa melihat hari-hari ini orang menyatakan pendapat seenaknya. Mengutuk siapa saja yang tak memilihnya. Mencemari ruang publik dengan kalimat yang menghasut, mengutarakan kebencian, bahkan mengancam sana-sini. Dicemarinya akal sehat dan moral tak bisa diatasi hanya dengan khutbah apalagi ceramah. Kita memerlukan kekuatan yang bisa menyanggah itu semua, nak.
Kalianlah generasi yang dapat berbuat lebih. Lebih berpengaruh karena punya kemampuan melipat gandakan pesan. Lebih mampu menyatakan kebenaran karena pengetahuan yang kalian punya bisa berasal dari mana saja. Malahan kalian lebih bisa mengajak anak-anak muda lainya untuk mengawali kehidupan politik dengan cara sehat, maju, dan beradab.
Nak,
Waktunya kini kalian yang menentukan pilihan. Tak mungkin panggung publik dikuasai oleh orang yang kehilangan moral dan akal. Hilang moral saat orang itu punya dosa masa lalu tapi diberi kesempatan untuk memimpin masa depan. Hilang akal ketika dukungan politik diberikan hanya atas dasar naluri untuk mengenyahkan yang berbeda. Biarkan keyakinanmu sebagai anak muda membimbingmu: keyakinan akan kebenaran, keberanian menyatakan pendapat yang berbeda, dan punya imajinasi melihat masa depan.
Jangan biarkan bangsa ini tersesat kesekian kalinya, memilih pemimpin yang dikutuk oleh sejarah. Menunda perubahan karena percaya pada ketentuan yang secara muatan menyimpang dari keadilan. Waktunya kalian memastikan bahwa perubahan tidak untuk mereka yang sejak dulu duduk jadi penguasa, tapi tak banyak yang dapat diperbuatnya. Kita sudah ketinggalan jauh dari negeri tetangga dan jangan sampai kita sama sekali tidak dihormati oleh mereka.
Nak,
Kalau mau jujur, bapak tak banyak membuat perubahan. Kemampuan kami hanya menjatuhkan Soeharto lalu mengantarmu pada pintu kebebasan. Bapak takut pintu itu akan dipasang kembali: dibatasinya kebebasan berekspresi, mudahnya kriminalisasi, dan dibiarkanya orang-orang lama duduk kembali berkuasa.
Kawan-kawan bapak ada yang hilang, dibunuh, dan teraniaya. Mereka kala itu masih mahasiswa, beberapa tinggal di Papua dan lainnya pejuang kemanusiaan yang luar biasa. Kami turun ke jalan, menyatakan perlawanan dengan terbuka, dan tak pernah kami takut dengan peluru yang sering mengancam. Beresiko perjuangan saat itu, tapi kami bangga dengan apa yang bisa kalian nikmati hari ini.
Nak,
Belajarlah melawan. Terhadap apa yang membuat kamu terusik secara nurani. Terhadap apa yang menganggu akal sehatmu. Sebab kalau kau biarkan semua kemunkaran itu merajalela, kamu bisa bersepakat dengan kesewenang-wenangan. Hidup tak lagi menghormati martabat kemanusiaan, tapi melacurkan diri pada kekejaman dan kedunguan.
Belajarlah bersama rakyat kecil. Yang memiliki sepetak tanah kecil, pekerjaan kecil, dan upah yang kecil. Berhutang bapakmu pada mereka karena nurani, akal sehat, dan kebenaran kadang bermukim di sekeliling mereka. Bantu mereka jika membutuhkan. Bela mereka jika haknya dianiaya. Tidak untuk membuatmu jadi pahlawan, tapi mengajari kamu bagaimana mustinya menjadi manusia budiman.
Nak,
Terimakasih kamu mau membacanya dan jangan pernah lelah untuk selalu bertanya, sangsi, dan curiga. Terutama pada keadaan dan utamanya pada kekuasaan. Sekali lagi jangan takut melawan jika apa yang kamu lawan adalah hal yang kamu anggap benar dan apa yang kamu bela memang sepantasnya untuk dibela.(*)