
“Jadi meskipun saya tertarik pada Sutan Sjahrir dan sikapnya dan kapasitas intelektualnya, saya tidak bisa menjadi seorang sosialis, karena saya sudah menjadi seorang muslim” -Bang Imad
Ia cerita tentang Goenawan Mohamad yang mengalami rasa takut ketika tetangganya diburu aparat karena dituduh PKI, saat mana massa melakukan pengadilan jalanan pada orang yang di stigma PKI. Mas Goen -begitu akrab dirinya dipanggil- meyakini ada rasa takut yang ditebar hari itu. Bukan oleh serdadu, tapi tentang PKI yang telah melakukan teror. Dalam Indonesia di Mata Naipaul terbitan Circa, VS Naipaul mengisahkanya dengan bahasa sastra.
Ia tak mengadili, hanya mengantarkan sebuah pengalaman. Pengalamanya ketika bertandang ke Indonesia. Negeri yang baru diruntuhkan oleh tentara serta berusaha menumpas apa saja yang berbau kiri. Naipaul kagum dengan kepadatan kota yang berserakan dengan penduduk yang berhamburan ke sana-ke mari. Bukan pada pesona riasan kota, tapi Naipaul meyakini ada identitas yang ingin ditemukan. Usai gelora revolusi Soekarno, tampaknya ada keinginan untuk merumuskan siapa Indonesia.
Ia bercerita tentang Suryadi. Pengusaha besar di Jakarta yang masa lalunya hidup dalam penjajahan. Ia menolak mengabdi pada penguasa Jepang. Berkat kemampuan dan pengalamannya, ia menaiki tangga kelas sosial. Menjadi priyayi, kelas menengah yang sekuler. Tapi puterinya berubah secara mengejutkan: jadi berjilbab, memilih menikah dengan pemuda miskin, dan mengabdi sepenuhnya pada suami. Naipaul menjadi saksi sebuah keyakinan Islam yang sedang mencengkramkan pengaruhnya.
Naipaul melihat Islam yang meluas serta mengubah banyak anak-anak mudanya. Mereka jadi gemar mengutip kitab suci dan bangga hanya dengan kitab suci. Tapi ia tak hanya heran dengan Islam, tapi juga kagum dengan orang kiri. Bertemu dirinya dengan Sitor Situmorang, penyair yang dijebloskan penjara oleh Soeharto, mengenang dirinya tentang asal-usul daerah tempat dirinya lahir. Tempat yang mempesonanya dan selalu jadi buah rasa rindunya. Walau Sitor sudah melanglang buana, tapi rasa kecintaanya pada sukunya amat tebal. Naipaul bercerita dengan apik, rapi, dan meyentuh.
Bertemu ia dengan Adi Sasono yang memberitahukannya tentang pondok pesantren. Ia ke Tebu Ireng lalu melompat ke Pabelan. Bertemu dengan Abdurrahman Wahid yang tampaknya tak terlalu memikatnya. Heran dirinya dengan Pondok Pesantren yang melatih anak-anak tidak dengan kecintaan pada pengetahuan tapi ketundukan total pada kyai. Rasanya cemas setelah menyaksikan pondok yang menyatukan orang miskin, kaum terpelajar dengan kurikulum yang dikelola dengan bebas. Mereka menamainya dengan salah satu tokoh kritis pendidikan: Ivan Illich.
Secara sinis ia bertanya apa yang bisa diperbuat seorang santri pondok pesantren setelah lulus? Bisakah ia mengubah masyarakat sekitar pondok yang miskin dengan lahan terbatas. Bagaimana pondok pesantren dapat menampilkan diri sebagai pengubah sistem sosial kalau penduduk desa hanya jadi bagian rakyat kecil yang lemah, bodoh, dan tak punya kemampuan ekonomi? Itu sebabnya Naipaul tak terlalu percaya anak santri bisa jadi lokomotif perubahan.
Mungkin karena ia tak terlalu lama berdiam di Indonesia. Ia tak menyangka kalau salah satu pimpinan Pondok yang ditemuinya akan jadi kepala negara. Tapi beruntung Naipaul bertemu dengan Umar Khayam dan Linus sang penyair. Seorang penyair yang sulit dipahami oleh ibu kandungnya karena memilih untuk tinggal di kamar yang sempit serta memuja aksara begitu rupa. Kekaguman, heran, campur bingung untuk memahami Linus yang memiliki orang tua baik, sulit mengerti puteranya, dan memiliki pilihan hidup sendiri.
Indonesia pada masa itu: tapak kekuasaan militer yang mendominasi, hantu komunisme ditiupkan setiap kali, dan Islam sedang berusaha jadi oposisi. Itulah saat Naipaul bertemu dengan bang Imad. Seorang pria yang jadi mentor tentang Islam yang kala itu meraih popularitas di lingkungan anak-anak muda. Saya pernah mengalami masa kejayaan itu saat buku Tauhid yang terbungkus dalam cetakan sederhana dianggap bahaya.
Bang Imad pernah tinggal dan dibantu oleh Sjahrir. Seorang Sosialis yang menurutnya baik, suka membantu, tapi pasti tidak bisa jadi idolanya. Muncul dirinya sebagai seorang penceramah, pelatih, bahkan perintis masjid Salman ITB. Masjid yang hingga jadi legenda dan tercatat oleh sejarah sebagai awal mula pendidikan kader-kader muda tarbiyah. Naipaul bertemu dengan bang Imad, mengikuti pelatihannya, dan berkomentar banyak tentang profil dirinya.
Seorang yang pernah di penjara oleh Orde Baru dan di dalam sempat bertemu dengan Dr. Subandrio. Seorang kiri kolot berada dalam penjara yang sama dengan aktivis Islam yang pandangannya bermusuhan. Hanya, penjara sejak dulu sama: dunia yang harganya adalah kehangatan, keakraban, dan saling bersekongkol. Bang Imad tak disiksa tapi penjara membuatnya jadi tokoh legenda. Pulang dari penjara memang tak banyak diberi jatah mengajar oleh ITB. Tapi itulah awal mula dirinya jadi guru banyak anak muda Islam.
Tapi pelatihan Islam kala itu masih mengkombinasi antara pendekatan motivasional, melalui pembacaan puisi dengan gaya partisipatoris yang melibatkan keaktivan peserta. Di ujung pelatihan akan diberikan solusi Islami. Imaddudin dosen tekhnik ITB, pernah menjadi perintis ICMI bersama Adi Sasono, Amien Rais, dan Dawam Rahardjo, serta pernah belajar di Cornell lalu bertemu dengan seseorang di Malaysia dan di sanalah dirinya terlibat dalam gerakan Islam. Kepulangannya ke Indonesia menambah keyakinannya untuk meneguhkan Islam sebagai identitas anak muda.
Tahun 1973 itulah masa-masa ketika harga minyak melambung dan tokoh politik Islam jadi kiblat perjuangan. VS Naipaul jadi saksi betapa Islam kala itu jadi simbol perjuangan. Bukan hanya dengan membawa sentimen ketidakadilan, melainkan juga tawaran sistem alternatif. Buku-buku Maulana Maududi hingga Sayyid Qutb jadi sandaran bacaan untuk memastikan kalau Islam memang pantas jadi solusi. Tikaman ide itu sampai di Indonesia dengan dibawa oleh bang Imad di antaranya.
Catatan rekaman VS Naipaul, seorang penulis Karibia keturunan India-Nepal yang berkewarganeraan Britania ini memang meyimpan banyak stereotipe. Terutama mengenai Islam yang masih dibayangi dengan emosi, mudah mensimplifikasi, dan kadangkala curiga. Tapi itulah kekuatiran yang membayang dan pandangan yang jadi kritik banyak orang pada VS Naipaul: selalu memandang Islam secara negatif dan melihat unsur permusuhan pada apa saja.
Melihat Indonesia tahun 80-an dalam pandangan novelis peraih nobel sungguh merupakan kejutan: Indonesia yang sedang mencari identitas, Islam yang ingin berpengaruh, dan tentara yang masih dominan. Sebuah penilaian yang tak berubah di hari ini dan buku ini hanya membuktikan kalau dalam perubahan sejarah kita belum bergerak ke mana-mana. Kita masih berada di tempat yang sama, tak melakukan lompatan berarti, dan penguasanya masih mereka juga.(*)