5 Pertanyaan untuk Kaum Pergerakan

“Harus ada perlawanan, entah dengan cara apa, dan jangan sampai kita tunduk olehnya” -Albert Camus

“Aku tidak mengerti keadaan Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilanya hampir tetap saja. Bagaimana ini? Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja-pekerja kasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur tiga tahun dengan mencukur 20 tahun? Apa bedanya menggenjot becak setahun dengan sepuluh tahun?” -Ahmad Wahib

Kini waktunya memang untuk berdebat. Tidak untuk memastikan pilihan tapi untuk menentukan sikap. Tak hanya pada Pemilu, tapi proyek perubahan yang mau ditegakkan. Hendak ke mana perubahan sosial ini akan kita bawa dan apa memang kita memang masih punya pendukung yang setia? Benarkah rakyat yang kerap kali kita ucapkan itu memang berada di belakang kita dan keadilan yang sering dijanjikan itu apa memang benar-benar kita perjuangkan?

Dalih bisa ditumpuk dan alasan bisa berderet. Tapi kenyataan yang kita hadapi memang muram. Kita tak sekuat seperti dulu: lama-kelamaan apa yang kita perjuangkan tak lagi kita yakini dan apa yang menyatukan kita lama-kelamaan jadi kabur. Bukan hanya itu, tapi kita juga mulai berkurang kepercayaan satu sama lain. Tiap kawan mulai curiga temanya jadi musuh dan sebaliknya musuh dipercayai sebagai kawan. Kita kehilangan tak hanya ideologi, tapi basis massa bagi kita berakar.

Waktunya kita untuk membuat pertanyaan yang mungkin dapat memancing kesadaran. Saatnya kita bertanya pada apa yang sudah kita alami, apa yang kita menangkan dan apa yang masih tak berubah dari kita semua. Bukankah memang untuk memastikan jalan kita perlu memahami tujuan dan peta di mana kita berada? Melalui itu kita bisa memahami siapa diri kita, apa yang mau kita raih, dan apa yang jadi hambatan utamanya. Hanya melalui perantara pertanyaan kita bisa mencapai ke sana.

Pertanyaan pertama kuawali dari hal yang sederhana. Masihkan kita percaya dengan jalan pergerakan? Jalan yang membuat kita menyimpan utopia, membuat kita punya militansi, dan memudahkan kita untuk berkorban apa yang paling berharga. Ini pula jalan yang mendorong kita melakukan konfrontasi dengan nilai apa pun yang membahayakan demokrasi dan hak asasi manusia. Nilai yang menjadi kiblat dan roh kita dalam memastikan diri untuk menjadi kaum pergerakan.

Kalau itu masih kita katakan percaya, maka kita dihadapkan pada pertanyaan siapa yang kita bela selama ini? Buruh, petani, rakyat miskin, atau mahasiswa yang sekarang ini mengalami polarisasi hingga dikooptasi? Kalau memang mereka masih kita bela, adakah kepercayaan mereka pada kita semua sama seperti di masa-masa lalu? Memberikan mereka keyakinan bahwa aspirasi mereka sama dengan keyakinan kita, sekaligus apa yang ingin kita perjuangkan seperti apa yang mereka cita-citakan.

Kalau itu kita masih yakin dan percaya diri, mungkin waktunya kita bertanya siapa yang kita lawan sebenarnya? Kalau dulu dengan gagah kita mengatakan Orde Baru dengan semua mesinnya. Kini kita hendak bertanya lagi apakah memang Orde Baru sudah runtuh hingga ke akar-akarnya? Tak ingatkah kita kalau mesin Orde Baru itu punya perangkat bernama militerisme yang keji, konglomerat yang merajai sektor apa saja, dan birokrasi yang memusuhi serta membohongi rakyat?

Di titik ini kita berdebat dan pada sisi ini kita tak bisa menjawab. Sehingga dengan gampang kita mulai mengubah peran dan secara sederhana kita merombak cara. Sebagian besar mengatakan Orde Baru tak runtuh sama sekali, bahkan menjelma menjadi lapisan kekuatan yang menyebar ke mana-mana. Ditunjukkan hal itu dengan bercokolnya para pejabat era Soeharto di kabinet sekarang ini atau masih menguatnya sentimen anti-komunis yang dulu diciptakan oleh Soeharto. Soeharto memang sudah dikubur, tapi ajaranya jadi amalan utama.

Di sisi lain ada yang percaya Orde Baru tak tegak sepenuhnya. Masih tersisa kemenangan yang dihasilkan oleh reformasi. Liberalisasi partai politik, matinya dwi fungsi, hingga desentralisasi otoritas. Itu sebabnya yang percaya tesis ini meyakini kalau perjuangan diteruskan dengan menempati posisi dan memerankan diri sebagai lapisan elite. Mereka meyakini kalau perubahan mustahil hanya berjalan melalui tekanan tapi juga negoisasi dan kompetisi politik secara terbuka. Jalan kooperatif diambil karena memang inilah yang terbaik untuk saat ini. Keyakinan yang belakangan sering digugat, dipertanyakan, bahkan dianggap berkhianat.

Pertanyaan bisa dilanjutkan dengan kemenangan apa yang telah kita capai dalam perjuangan menuntut demokrasi? Sudahkah perkara hak asasi manusia yang memakan korban nyawa luar biasa itu bisa kita adili? Pelakunya dapat hukuman dan korbanya dapat kompensasi. Percayakah kita kalau penanganan soal hak asasi manusia itu tak bisa segera, seketika, dan melalui proses yang tak mudah. Persis seperti apologi yang dikatakan oleh rezim berulang-ulang.

Hingga pertanyaan terakhirnya, apakah kita masih punya kehormatan untuk mengatakan sebagai pejuang kalau kondisinya seperti sekarang ini? Kita berseteru untuk soal apa saja dan kita sulit untuk menyatu pada cara apa saja. Masing-masing kita sepertinya tak lagi malu untuk menyatakan diri bersekutu dengan para penindas hanya untuk bertahan hidup, melindungi kepentingan diri sendiri, bahkan mencapai tangga popularitas yang maknanya kosong belaka. Sudahi kebanggaan di masa lalu karena kita sebenarnya berhadapan dengan kenyataan yang makin pelik, rumit, dan bahaya.

Lihatlah politisi yang dulu pernah jadi teman seperjuangan, kawan seiring, dan saudara dalam keyakinan. Mereka hampir mirip boneka yang menyatakan dukungan pada apa yang sebenarnya dilawan di waktu muda. Mereka serupa kurcaci yang berbaris rapi untuk mengatakan apa yang dulu mereka kutuk pada saat mahasiswa. Hanya karena usia, keluarga, dan ekonomi kita menjauhkan diri dari nilai yang dulu kita yakini: kejujuran, martabat, dan indepedensi. Sesekali lihatlah muka rakyat yang kena gusur, mahasiswa yang ditangkap karena demonstrasi, atau foto kawan kita yang hilang.

Pandanglah mereka dengan seksama. Bertanyalah pada diri sendiri apakah memang kita masih layak mengatakan sebagai pembawa aspirasi mereka? Kita memang tak bisa konsisten selamanya, tapi kita juga tak mungkin jadi pengkhianat akhirnya. Melukai kehormatan rakyat dengan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan yang nista, berlabuh bersama para penindas HAM dengan alibi yang dibuat begitu rupa, dan masih berani untuk menyatakan diri bahwa situasinya baik-baik saja?

Kawan, waktunya kita pulang pada keyakinan agung yang dulu kita perjuangkan. Dunia memang berubah tapi di sini para penjahatlah yang mengubah diri kita. Kita kian kompromis, kita makin banyak pertimbangan, dan kita sulit membedakan mana kejujuran dan mana persekongkolan. Pada waktunya, sejarah memang akan mencatat apa yang kita lakukan dan apa yang tak mampu kita capai. Tapi andaikan kita percaya bahwa di masa depan kita mau menggoreskan hal yang berharga, maka warisan terbaiknya adalah mengubah pandangan kita.

Tidak mudah lagi percaya pada jalan demokrasi yang bibitnya disemai oleh para penjahatnya. Mulailah melibatkan dan membela anak-anak muda yang masih percaya pada perjuangan mempertahankan kedaulatan. Serta, membangun persekutuan dengan para pejuang rakyat yang kini sedang melawan pabrik, dikucilkan dalam penjara, dan sebagian aktif mengingatkan akan kejahatan HAM di masa lalu. Bersekutulah dengan mereka karena itulah nurani yang dulu membuat kita memilih untuk berjuang, berkorban, dan melawan.

Pulanglah pada mereka yang membuat kita tak pernah merasa tua, tak lagi merasa berkuasa, dan tak lagi takut pada siapa saja! Merekalah penyatu kita hari ini. Merekalah guru kita selamanya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0