Oligarki Kekuasaan Dalam Kaca Mata Vedi R Hadiz

Oleh: Danang Pamungkas

***

Vedi R Hadiz, Lahir di Jakarta, 1964. Ia adalah Professor pada Departemen Sosiologi di Universitas Singapura dan peneliti tamu di Universitas Murdoch, Australia. Vedi Hadiz banyak menulis di beberapa jurnal internasional, buku-buku, dan majalah Prisma. Sosok ini merupakan pemikir ilmu sosial kontemporer yang pendekatannya mengenai sistem  kekuasaan dan ekonomi-politik patut menjadi rujukan utama untuk mengenali proses demokrasi di Indonesia. Beruntung saya mengenalnya melalui seorang teman yang menyukai kajian sejarah dan ilmu politik semasa mahasiswa tingkat akhir. Lewat karya “Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Suharto” terbitan LP3ES tahun 2000, beberapa  esainya di situs Indoprogress.com, dan ceramahnya yang sudah banyak di Youtube – membuat saya sadar betapa miskinnya analisa ilmu politik dan ilmu sosial Indonesia saat ini dalam menganalisa korupsi massal pejabat negara  di pelbagai lembaga dan partai politik yang dikepalai wajah lama Orba.

Pada tahun 2017, Vedi Hadiz dengan panjang lebar memberikan ceramahnya di Universitas Indonesia. Menurutnya pendekatan Ekonomi-Politik (Ekopol) di Indonesia terutama di kampus-kampus tidak berkembang, karena dianggap terlalu resisten terhadap kekuasaan. Pendekatan Ekopol menurutnya bersifat fundamental, yaitu membedah hubungan-hubungan negara dengan pasar. Yang berarti pendekatan ini meneliti hubungan struktur sosial-struktur kekuasaan-relasi kekuasaaan secara historis. Baginya, Indonesia bisa di pelajari melalui sejarah dari masa ke masa. Karena perubahan tidaklah “Taken For Granted” namun ada proses dan dialektika.

Menurutnya, struktur kekuasaan Orba dibangun dengan pendisorganisasian dan pendepolitisasian masyarakat sipil, dengan pembangunan kapitalisme negara yang di pimpin oleh Suharto selaku “Godfather” beserta kroninya yang bertujuan menguasai sumber-sumber ekonomi dan lembaga negara untuk kepentingan pribadi.

“Saya selalu mengkritik mahasiswa Indonesia, yang saya ajar di S-3. Umumnya mereka memiliki dua kelemahan. Pertama, pemahaman teori yang lemah. Kedua, lemah dalam kajian komparasi. Karena lemahnya kajian komparasi, seolah-olah kasus yang ada di Indonesia terlihat unik dan berdiri sendiri. Padahal ada banyak kasus di Amerika Latin, Afrika, Asia, dan Timur Tengah yang memiliki persamaann terhadap kondisi Indonesia.” Ucap Vedi R Hadiz pada ceramahnya di Universitas Indonesia 2017.

Kemunculan Orde Baru dan Sistemnya

Pendekatan Vedi Hadiz sangat berbeda dengan akademisi arus utama. Bagi Vedi, untuk mengenali politik Indonesia harus mengetahui bagaimana pemerintahan Orde Baru dibangun. Orde Baru dibangun dengan penumpasan terhadap musuh bebuyutannya; Partai Komunis Indonesia dan massa pendukung Sukarno. Pengalaman akan masa rezim Sukarno yang mengandalkan politik mobilisasi massa untuk mencapai tujuan-tujuan politik negara dengan meradikalisasi golongan petani-buruh, sangat membahayakan kepentingan para kapitalis birokrat.

“Naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan di tahun 1966 ditandai dengan pembunuhan ratusan ribu orang-orang komunis, serta pemenjaraan orang-orang yang tak terhitung jumlahnya . . . Tak diragukan lagi bahwa Orde Baru yang ia dirikan di dasarkan pada penghancuran Partai Komunis Indonesia berserta seluruh ormasnya, serikat-serikat buruh, dan organisais kaum tani yang militan. Serikat-serikat buruh radikal juga tampil sebagai pelopor dalam upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir era 1950-an. Namun, pada akhirnya perusahaan-perusahaan ini jatuh dalam kendali militer, yang kemudian membangun kepentingan-kepentingan mereka sendiri yang lebih besar denagn menduduki jabaran-jabatan manajer untuk menindas kecenderungan organisasional militan kaum pekerja.” (Hadiz, 2000: 210-211)

Bagi Rezim Orba, oposisi dalam politik bukanlah budaya masyarakat Indonesia. Hal yang paling cocok untuk Indonesia adalah sistem kekeluargaan dan harmoni sosial. Oleh sebabnya pemerintah melakukan penerapan azas tunggal Pancasila dalam seluruh lanskap kehidupan politik dan negara. Orba juga melakukan peleburan partai-partai menjadi tiga pratai; Golkar, PDIP, dan PPP – Dengan  Golkar sebagai pemegang kendali kekuasaan. Seluruh pegawai negeri dari pusat sampai desa menjadi kader fungsionaris Golkar, sementara militer menjadi pengawal setia rezim. Untuk meredam konflik perburuhan, rezim membuat wadah organisasi formal bernama Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai wadah organisasi yang dibawahi langsung oleh pemerintah. Hal ini membuat serikat buruh yang independen tidak akan diakui sebagai organisasi, dan dianggap menggagu stabilitas rezim. Bagi rezim, perjuangan kelas dan konflik adalah bentuk dari anti-pancasila, sehingga dibuatlah peraturan Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang prinsipnya menganggap bahwa pengusaha dan buruh adalah keluarga yang saling mengayomi. Pegusaha sebagai bapak keluarga, sementara buruh menjadi anak yang menuruti bapaknya. Segala bentuk pemogokan kerja adalah subversif dan menentang pancasila.

Kosakata “Buruh” yang identik dengan gerakan marxis di hapus menjadi kata “pekerja/karyawan” yang dinilai lebih Indonesia. Konsep perjuangan kelas-pun tidak mendapatkan tempat dalam Orba, karena bersifat merusak dan mengancam harmoni sosial. Politik massa mengambang yang dibuat Ali Moertopo, menjadi senjata utama Orba dalam menetralisir kehidupan masyarakat dari politik, dan mobilisasi massa. Kebijakan ini bisa disebut “Fungsionalisme” bahwa semua profesi harus berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara. Petani lebih baik mengurusi lahannya, guru lebih baik fokus mengajar, karyawan lebih baik bekerja demi pengusaha; untuk urusan politik serahkan semuanya kepada pemerintah dan politisi.

Singkatnya menurut Vedi, Orde Baru dibangun dan bertujuan untuk melindungi kepentingan  bisnis Oligarki Kapitalis Keluarga Suharto dan rekan-rekannya, serta Militer sebagai pengawal kepentingannya.

“Pertama, Orde baru merupakan suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan secara instrumental – tidak sekedar struktural – memanfaatkan kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya berikut kapasitas-kapasitas koersif untuk memperluas kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Kedua, suatu sistem hubungan antar negara dan masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sistematis kelompok-kelompok civil society dan dominasi lembaga-lembaga korporatis ciptaan negara. Ketiga, Suatu sistem patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Suharto sendiri, dengan poros yang terletak di Cendana. Sistem Patronase ini menjalar dan menembus semua lapisan masyarakat dari Jakarta hingga Provinsi-Provinsi, Kabupaten-Kabupaten, Kota-Kota, dan Desa-Desa. Penopang jaringan ini adalah gabungan dari pejabat-pejabat tinggi negara, birokrat-birokrat kecil lokal, kapitalis nasional dan lokal, perantara dan bandar politik yang sangat ahli, tokoh-tokoh informal lokal, para pejabat militer, serta gerombolan (hooligan) dan kaum preman di luar jalur resmi.” (Hadiz, 2000: 259-260)

Kekuasaan Orba merupakan cerminan bagaimana predator politik di sekeliling Suharto saling berebut pengaruh untuk mendapatkan keuntungan dalam lembaga negara dan pembangunan nasional. Misalnya, korupsi di tubuh pertamina era 80-an yang melibatkan Ibnu Sutowo, eksploitasi hutan di berbagai wilayah di Indonesia, berbagai proyek pembangunan jalan yang di serahkan pada kontraktor yang tak berpengalaman, perizinan lisensi impor kepada perusahaan yang punya hubungan baik dengan Cendana, dan perizinan pinjaman kredit bank macet kepada keluarga dan kroni Suharto yang jumlahnya miliaran rupiah. Para Oligark ini memanfaatkan kedekatannya dengan kekuasaan, dengan memonopoli sistem, dan berusaha mengeksploitasi apapun yang di miliki oleh negara untuk keuntungan pribadi para elit.  Sehingga kapitalisme di Indoneisa bukanlah kapitalisme yang berasal dari hukum akumulasi kapital dengan persaingan bebas di dalamnya, yang meng-andaikan negara hanya menjadi regulator saja. Kapitalisme Indonesia dibangun oleh kumpulan keluarga-keluarga bisnis yang menduduki jabatan lembaga negara dan memanfaatkan kedekatannya dengan kekuasaan untuk mendapatkan akses modal dan sumber daya yang luas untuk memperkaya kerajaan bisnisnya melalui serangkaian monopoli dan korupsi.

“Dengan mengontrol lembaga-lembaga Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Bulog, dan Pertamina – Para birokrat politik yang berkuasa dapat membagi-bagikan lisensi perdagangan, kredit bank negara, konsesi-konsesi kehutanan, dan kontrak-kontrak pasokan. Hubungan tersebut bersifat simbiosis, dimana akses kepada perekonomian ditukarkan dengan dana-dana yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik atau pribadi. . Dana-dana bagi yayasan yang disediakan oleh kalangan bisnis bank-bank negara itu digunakan untuk mendanai Golkar, dan menanamkan investasi pada usaha-usaha bisnis pribadi Suharto.” (Hadiz, 2000: 119)

Reformasi dan Re-Organisasi Kekuasaan Orde Baru

Pada tahun 1997-1998 terjadi krisis ekonomi yang membuat struktur Oligarki di sekitar Suharto terguncang. Beberapa kredit macet yang jumlahnya miliaran dolar tak mampu di bayar oleh perusahaan swasta maupun negara. Pemerintahan Orba-pun tak tinggal diam, pemerintah melakukan kredit kepada IMF untuk memulihkan kondisi perekonomian nasional. Namun bantuan dana IMF bukan dimaksimalkan untuk kepentingan publik, namun disalurkan kepada kroni, dan keluarga Suharto. Ekonomi kian terpuruk, dan terjadilah kerusuhan etnis di Jakarta yang membuat rezim tidak bisa lagi menutupi kebobrokannya.

Gerakan mahasiswa kian radikal menuntut Suharto untuk jatuh, penembakan mahasiswa di kampus Tri Sakti memunculkan dukungan yang luas dari masyarakat kepada mahasiswa untuk berjuang melawan kekuasaan Orba. Tepat 21 Mei 1998, Suharto mengundurkan diri dari kekuasaan dan babak baru kekuasaan politik di mulai.

Pertanyaan yang ingin saya ajukan adalah kenapa setelah reformasi tak ada gerakan mahasiswa yang mampu mendudukkan wakilnya ke dalam jabatan strategis negara atau presiden? Mengapa setelah reformasi wajah-wajah Orba masih dominan dalam kekuasaan? Apakah ada yang salah dengan gerakan reformasi yang tak bisa merubah struktur kekuasaan? Sayangnya, tiga pertanyaan ini tak pernah bisa dijawab oleh rekan diskusi semasa mahasiswa, ataupun buku-buku kuliah yang pernah dibaca. Namun  Vedi Hadiz mampu menjawabnya dengan sangat detil. (1) Kegagalan Gerakan Mahasiswa Beraliansi Dengan Lintas Kelas. Gerakan mahasiswa yang kian masif pada periode 1996-1998 cenderung terlambat untuk beraliansi dengan gerakan buruh-tani yang pada masa itu juga terkena dampak langsung dari krisis ekonomi. Kelas menengah yang banyak di pecat oleh perusahaan-pun turut mendukung gerakan mahasiswa. Namun hal yang sulit adalah terkotak-kotaknya gerakan mahasiswa, ada yang mendukung kepemimpinan Habibie, dan ada yang terus mendorong perubahan sosial-politik yang lebih luas. Diksi “reformasi” masih menjadi perdebatan di kalangan internal mahasiswa, karena kata “revolusi” dianggap ke kiri-kirian. Gerakan-pun menolak disebut gerakan politik, mahasiswa menganggap gerakan ini adalah gerakan moral untuk kebaikan bersama. Corak aktivisme mahasiswa 1966, 1974, dan 1998 masih tetap sama – lebih mengafiliasikan dirinya kedalam gerakan kebaikan ketimbang membangun kepeloporan politik untuk menggantikan rezim Orba. Bagaimana pun kekuatan politik, dalam hal ini partai, merupakan kendaraan untuk bertarung dalam arena, meskipun PRD sudah terbentuk namun jumlahnya masih sangat kecil dan tidak mampu menjaring suara dari publik yang kecewa dengan kebijakan Orba. Sesudah reformasi, praktis gerakan mahasiswa hanya berharap pada elit reformis dan partai-partai tanpa memiliki kendaraan politik sendiri. Hal ini membuat aktivis berpetualang mencari partai yang mau menampungnya, dan berharap menjadi petinggi politik untuk mengusir tokoh lama. Namun cara yang terakhir ini terbukti gagal.

(2) Pembangunan Kekuasaan Baru Dan Jaringan Oligarki. Pasca Suharto semakin terdesak, elit-elit disekitarnya hanya memiliki dua pilihan;  loncat dari kapal atau tetap berada di dalam kapal. Ketua DPR pada saat itu, Harmoko salah satu sekutu Suharto, lebih memilih mendukung mahasiswa, beberapa menterinya yang loyal-pun iku mengundurkan diri, Jenderal Wiranto dan Militer pun sudah tidak mendukungnya dan para oligark yang mayoritas ber-etnis Tionghoa juga sudah tidak percaya lagi dengannya pasca kerusuhan etnis di Jakarta. Setelah reformasi, aktor-aktor kuat yang di besarkan Suharto mulai membangun kekuasaan baru. Dengan adanya perubahan UU Pemilu – semua kelompok masyarakat bisa membangun partai politik. Namun karena para birokrat politik – oligark Orba ini sudah mapan dan memiliki sumber daya yang lebih besar baik modal maupun relasi politik, membuat mereka dengan mudah menjadi pemain politik baru di era reformasi. Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, para elit ini berlomba-lomba untuk menguasai lembaga daerah beserta sumber daya alam untuk kepentingannya. Watak predatoris terhadap penguasaan lembaga pemerintahan ternyata tidak hilang, hanya sekarang medan pertempurannya menjadi luas serta lebih beringas. Meskipun militer sudah tidak lagi menjadi pengawal rezim, mereka tetap mendaptkan bisnis gelap dengan struktur komando teritorial yang ada. Pada masa reformasi inilah penggunaan politik uang dan organisasi milisi sipil semakin kuat. Beberapa ormas sipil dibentuk oleh partai-partai untuk mengancurkan lawan politiknya ataupun sebagai penjaga bisnisnya. Politik lokal di tingkat kabupaten dan provinsi menjadi lebih beringas, para milisi sipil tak segan-segan melakukan tindakan kekerasan dan pengrusakan terhadap kelompok tertentu. Para preman, bajingan, bandar, dan makelar politik-pun tampil naik kelas menjadi anggota parlemen. Mereka sudah mapan dan menjadi garda pelindung lahirnya Orba pasca pembantaian 65, sehingga dengan format politik lokal yang baru – mereka dengan mudah tampil ke depan publik menjadi elit baru. Kasus korupsi atas lembaga negara dan eksploitasi SDA sudah menjadi konsekuensi dari perpolitikan predatoris.

Partai politik hanya digunakan sebagai alat dan kendaraan untuk menguasai sumber-sumber perekonomian daerah kertimbang bercorak ideologis. Bahkan tak jarang ada partai-partai yang corak ideologinya mirip satu sama lain, namun dalam kepentingan bisnis mereka berbeda jalan. Partai-partai seperti PDIP, PAN, PPP, dan PKB – menurut Vedi, partai tersebut diisi oleh gabungan dari orang-orang birokrat politik, petualang politik golkar, pensiunan militer, intelektual ICMI konglomerat, pengusaha-pengusaha menengah, dan sedikit para reformis-liberal. Dengan kombinasi yang seperti itru hampir mustahil kelompok reformis-liberal mampu memenangkan pertarungan di dalam partai melawan para pemodal kuat yang dibesarkan Orba. Bahkan partai seperti PDIP yang digadang-gadang nasionalis yang di dukung oleh gerakan buruh semasa reformasi, tak memiliki wakil buruh di dalam elit partainya.

(3) Pragmatisme Elit Reformasi. Pada saat pemilihan Presiden oleh MPR pada tahun 1999, presiden yang terpilih akan menghadapi banyak rintangan dan pekerjaan yang besar – terutama bagaimana pemerintah bersikap terhadap para konglomerat yang mempunyai hutang menumpuk di bank sentral. Badan pemerintah yang ditugaskan membekukan aset-aset pengusaha yang bernilai miliaran dolar, merupakan salah satu lembaga yang rawan terjadi korupsi dan suap-menyuap. Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid ke tampuk kekuasaan melalui sidang MPR cukup mengejutkan. PKB bersama poros baru mampu mengalahkan PDIP yang mayoritas memenangi suara pemilu 1999.

Terpilihnya Gusdur, menurut Vedi adalah hasil dari perhitungan  matang, dan pembagian kekuasaan yang merata terhadap sekutu-sekutu bahkan oposisinya. Terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden, Amien Rais sebagai Ketua MPR, dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR – bukti bagaimana pembagian kekuasaan berjalan adil. Terpilihnya Gus Dur menjadi Presiden tak serta merta membuatnya bisa keluar dalam kubangan politik oligarki – ia pun tak berkutik untuk menindak hutang-hutang para konglomerat, terutama skandal korupsi Suharto. Menurut Vedi, dalam proses pemilihan Gusdur terjadi kesepakatan-kesepakatan gelap dan kontrak politik yang membuatnya tersandera oleh kepentingan oligarki yang duduk di partai-partai. Hal itu terbukti setelah Gusdur memecat beberapa menteri dalam kabinet tanpa berkonsultasi dengan koalisinya, dan membuat dekrit presiden pembubaran DPR, ia dengan mudah di lengserkan oleh Akbar Tanjung dan Amien Rais. Lengsernya Gusdur dari kekuasaan menguatkan asumsi bahwa kesepakatan-kesepakatan awal terhadap sekutu dan oposisinya sudah ia langgar sendiri.

Pragmatisme politik dan tidak adanya basis gerakan sosial yang mengakar kuat menjadi problema politik Indonesia. Syarat utama dari demokrasi adalah elemen gerakan sosial yang dengan efektif beroposisi dengan kekuasaan. Namun sampai saat ini pertarungan politik hanya dihiasai oleh para oligark yang dibesarkan Orba. Mungkin butuh waktu yang cukup lama untuk menantikan gerakan sosial memiliki kendaraan politiknya sendiri melawan partai-partai oligarki.

Dengan dinamika politik Indonesia yang siklusnya terus berulang seperti ini, mungkinkah politik Indonesia akan berubah? Saya amat menyukai argumentasi dan teori yang digunakan oleh Vedi Hadiz dalam menjelaskan dinamika politik Indonesia. Bagi saya, karya-karya beliau wajib untuk dibaca bagi siapa saja yang ingin belajar bagaimana bangsa ini dibangun dan dihianati oleh kekuasaan. Seharusnya teori beliau masuk di dalam kajian Teori Sosial yang diajarkan di kampus-kampus Indonesia, ketimbang menjadi teori politik yang diajarkan di kampus-kampus, Negeri Kanguru.

 

*Danang Pamungkas, lahir di Rembang 2 Desember 1994. Sekarang ini saya bekerja serabutan menjadi jurnalis lepas di beberapa media online. Kontak: danangpamungkas637@gmail.com

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0