Oleh: Hasan M.Thaib – (Mahasiswa S1 Universitas Janabadra Yogyakarta/Ketua Komite Forum Sekolah Bersama Yogyakarta)
***
Di balik keterlibatan gerakan sosial, politik, ekonomi (kelompok aktivis yang berasal dari kampus, pemuda kota, aktivis-aktivis organisasi non pemerintah,dan kaum cendikia) dalam pertarungan perebutan kekuasaan (strugle for power), sesungguhnya terdapat pertukaran kepentingan antar klas. Kalndermans (2007) menyebutkan adanya tiga alasan pokok mengenai keterlibatan orang dalam sebuah garakan sosial, yakni ingin mengubah lingkungannya, ingin melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah terlibat lebih dahulu, atau karena ingin memberi makna pada kehidupannya dan mengekspresikan pandangan serta perasaan-perasaannya (Lih. kumpulan tulisan, Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal-Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia – Editor; Dianto Bachriadi. Hal.14). Seperti Kalndermans, adanya keterlibatan orang dalam sebuah gerakan sosial, ekonomi, politik hanya sebatas pada “eksistensi” dalam memanfaatkan gerakan sosial sebagai life style (gaya hidup) yang mendorong popularitasnya sebagai pelayan atau pembantu masyarakat, baik aktivis, mahasiswa, politisi, non politisi, semua itu merujuk pada manusia politik yang mewabah sampai dengan hari ini. Pertukaran kepentingan (excange of interests), merupakan faktor yang signifikan yang mengikat orang terlibat di dalam aksi-aksi kolektif dan lebih jauh dalam suatu gerakan sosial (Lih. Bachriadi: 2010). Secara umum seringkali kita temukan orang-orang yang terlibat dalam gerakan sosial (baik secara organisatoris maupun individu terorganisir), hanya pada siklus tertentu dalam persoalan yang mengikat dan terikat. Orang-orang yang mengikat adalah orang-orang yang sudah ter-ideologisasi (dalam bentuk organisasi mahasiswa ataupun lebih jauh gerakan sosial-politik-ekonomi).
Dalam sebuah organisasi atau gerakan sosial pasti mempunyai pembacaan secara organisatoris dalam menempatkan subjek revolusi yang merupakan faktor penentu dalam mendorong keterlibatan sebuah gerakan. Faktor penentu ini juga menjadi alat vital organisasi atau gerakan sosial, politik, ekonomi dalam melakukan kampanye isu atau kampanye persoalan, penelitian, dan mengkonsolidasikan diri di dalam perjuangan masyarakat. Menurut Dianto Bachriadi, sebagai satu bentuk politik arus bawah (popular politics), gerakan sosial tidak hanya mejadi alternatif dari politik institusional atau politik formal (Lih. kumpulan tulisan, Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal-Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia – Editor; Dianto Bachriadi. Hal.11). Dan kalau dilihat, dari tahun 2016, 2017 sampai 2018 hari ini, keterlibatan gerakan sebagai politik arus bawah menjadi alternatif dalam perebutan kekuasaan. Sedangkan politik permukaan atau politik formal menjadi pokok pembahasan dalam sebuah gerakan. Apalagi dalam banyak kasus, persoalan-persoalan yang di hadapi oleh masyarakat (petani, buruh dan kaum miskin kota) terus meningkat dari tahun ke tahun. Mulai dari perampasan dan monopoli tanah, politik upah murah, dan berbagai skema yang dilakukan negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan.
Dalam hal ini ketika terjadi persoalan yang demikian berlomba-lomba, gerakan sosial-politik-ekonomi datang dan mencoba mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi kolektif. Hal ini bisa disebut perjuangan spontanitas (Lih. Ceos Arendt:2018 – Suluh Pergerakan.org) tanpa membaca keadaan masyarakat secara umum. Misalnya, dalam perjuangan kaum tani hari ini. Dalam memicu keterlibatan kaum tani dalam gerakan sosial adalah bagaimana kaum tani di rampas tanahnya. Dalam hal ini kita akan mendapatkan keterlibatan kaum tani, khususnya mereka yang memiliki kepentingan untuk menguasai dan atau mempertahankan tanah (Lih. kumpulan tulisan, Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal-Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia – Editor; Dianto Bachriadi. Hal.18). Sedangkan, tugas dari gerakan sosial harus berusaha merangsang tuntutan, sekaligus juga menyediakan, agar lebih banyak keuntungan kolektif yang diperoleh petani meskipun hanya untuk tingkat lokal (Lih. Skocpol 1994: 228).
Pertukaran kepentingan inilah yang kemudian bisa menjadi hal yang mendasari kelompok-kelompok petani untuk terlibat dalam politik gerakan sosial, politik, ekonomi. Karena disini, terjadi pertemuan dua kekuatan yang sangat eksplosif, yaitu kelompok aktivis dengan segala kepentingan politik, ekonomi dan ideologisnya dengan kelompok massa petani yang berkepentingan dengan tanah (Lih. Bachriadi 2012). Dan dengan perpaduan ini, harapannya persoalan yang selalu mendera kelompok tani, mulai dari perampasan tanah, kriminalisasi dan lain-lain bisa diminimalisir.