Surat untuk Milly dan Mamet

Rasanya seperti baru kemaren bertemu dengan kalian. Keluarga muda yang mapan, punya banyak pilihan, dan resah oleh pilihan. Kerapkali saya bertemu kalian di Mall, Cafe, dan mungkin di kantor yang berlantai tinggi. Seorang pria yang waktu sekolah berteman dengan banyak anak mapan dan ketika bertemu menikahi salah satu teman. Romantis, indah, dan pasti banyak orang juga mengalaminya.

Milly gadis yang dibesarkan oleh seorang papa yang lumayan. Punya pabrik dan keras pada karyawan. Serupa dengan bos pabrik yang tak rela keuntungannya dibagi pada buruhnya dan merasa kekayaan itu hasil jerih payahnya. Katanya pernah ditipu oleh orang kepercayaanya dan karena itu pabrik lalu diserahkan pada sang menantu. Menantu yang mulanya suka memasak tapi mengubah pekerjaan karena suruhan mertua.

Mamet sejak awal punya mimpi tapi musti mengalah dengan keadaan. Pria lugu yang selama ini menjadi peyerta dalam kisah utama: Rangga dan Cinta. Pria baik yang hidupnya selalu mengalah dengan sekitar: pada mertua, pada karyawan, pada teman, bahkan pada orang yang niatnya nggak bener. Mungkin itu sebabnya Mamet menikah dengan Milly: pasangan sejiwa yang berusaha merawat mimpi dengan berpusat pada anaknya.

Melihat kalian saya seperti menyaksikan tetangga saya sendiri yang baru menikah. Namanya mirip dengan kalian: Bayu dan Ella. Menyewa rumah kecil yang hanya berisi dua ruangan. Barusan mereka punya anak yang lalu diungsikan ke rumah mertua. Kata mertuanya, Ella musti diasuh di rumahnya karena Bayu selalu ke kantor. Tak mau  ditinggal, maka Ella selama punya bayi harus tinggal di kediaman mertua.

Milly, ternyata kita tak bisa hidup hanya dengan suami dan anak saja. Kita musti menghitung orang tua yang pasti sering sakit-sakitan, mudah sekali tersinggung, dan inginnya semua keinginan dipenuhi. Milly, ternyata kita tak pernah dianggap dewasa dan mungkin orang tua masih melihat kita seperti bayi yang tak bisa berjalan dan mengambil keputusan sendiri.

Dan Mamet, ternyata jadi suami itu tak gampang. Kita musti mendahulukan apa yang dianggap patut dan pantas di tengah situasi umum: suami musti memahami kalau istri butuh pemenuhan hak, suami perlu tahu kalau dirinya itu bertanggung jawab pada semuanya, dan suami itu musti mendengar pandangan istri yang kadangkala posisi sosialnya lebih baik dibanding kita.

Melihat kalian berdua, saya seperti diajak untuk bertanya: sejak kapan kehidupan keluarga itu musti memuat kepentingan di luar diri kita berdua? Dari mana sebuah mimpi yang kita miliki sendiri harus disatukan dengan mimpi orang lain yang kini menyatu menjadi suami atau istri? Kapan kita bisa mengatakan kalau hidup berkeluarga itu tak boleh saling mendahului tapi musti berbagi?

Bisakah Milly melihat ada banyak hidup rumah tangga yang tak seindah milik kalian: istri dipukuli, dipoligami, dan dijadikan pekerja oleh suaminya. Modal cinta bisa dikalahkan oleh kondisi dan romantika bisa berubah jadi aniaya. Itulah saat cinta dan kenangan tak bisa jadi jaminan untuk hidup rumah tangga.

Berumah tangga memang modalnya harus percaya. Mamet pria yang istimewa. Setia, suka bercanda, dan Milly seperti bidadari baginya. Tapi mengapa ada pria sebaik ini? Mamet tak tahu kita agamanya karena tak tampak dia pernah berdoa atau ibadah. Mungkin Mamet memang sejak awal selalu berimajinasi tentang dirinya yang baik, yang dikenal, dan yang dikagumi. Imajinasi ternyata membentuk kepribadian. Hanya sebuah suara hati yang digemakan berulang kali dapat membuat hidup kita jadi baik.

Tapi suara hati itu terbit bukan seketika: Mamet bukan Rangga yang pintar, tampan, dan suka puisi. Pria pragmatis yang mahir membedakan semua rasa. Daya ciumnya atas rasa membuat Mamet peka pada perasaan siapa saja: istrinya yang kesal, mertuanya yang selalu menyetir, tapi tak cukup peka melihat hartawan yang sesungguhnya perampok.

Inilah yang merajai hidup kita hari ini, Mamet. Kaum kaya yang lebih punya harta banyak dibanding kalian dan menyita hubungan terbaik kalian. Cinta itu bisa jadi pengkhianatan kalau mereka datang dengan merusak apa yang kita percayai. Mimpi Mamet hampir saja bisa dibeli oleh mereka: mendanai pembuatan restoran dan mencoba menyitir semuanya.

Dari mana mereka berasal? Kekayaan yang tumbuh di atas pemerasan pada sumber daya alam, diadili kemudian dibebaskan, dan bisa saja tetap menjadi lapisan terhormat. Mereka seperti kata Milly, orang yang berusaha mencuci uang haramnya untuk ditanam ke bisnis yang remeh-temeh tapi jadi mimpi kalian. Benar kata Milly, mencintai Mamet bukan karena ia suka masak, tapi memang ia pantas dicintai.

Milly dan Mamet, kalian beruntung si jahat itu tak memburu kalian. Sesudah mengetahui kalau resto itu hasil uang haram, kalian tetap bisa mengembangkan bisnis sendiri. Di ujung cerita, seorang kuliner yang subscribe-nya jutaan datang ke rumah mencicipi makanan. Berdua kalian tersenyum bahagia, semua gembira, dan seorang pelayan berceloteh lucu sekali.

Si jahat tampil hanya untuk memastikan cinta kalian tak bersih dari goda. Tapi si jahat itu terlampau raksasa untuk sekedar lewat saja. Mereka sesungguhnya tak hanya mengganggu cinta kalian, tapi memperkosa rasa keadilan yang ada di negeri ini. Buruh-buruh yang ada di perusahaan Melly teraniaya bukan karena upah, tapi si jahat itulah yang mengambil haknya.

Tapi kalian memang bukan cerita tentang oligarki. Saya lupa kalau ini adalah kisah keluarga muda, kelas menegah, dan yang percaya kalau melalui cinta semua bisa dikalahkan. Heroik sungguh ,tapi memang itulah hiburan kita hari ini: memberi rasa optimis pada keluarga muda dan percayalah apa pun masalahnya, semua itu bekalnya adalah cinta dan percaya.

Makasih Milly dan Mamet, KALIAN membuat saya terbuai, terhibur, dan percaya kalau semua itu hanya ada di film saja!

Film Milly dan Mamet | Barmy Army Film Club

Film Milly dan Mamet | Barmy Army Film Club

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0