“Ketika seribu orang percaya pada beberapa cerita yang dibuat-buat selama satu bulan, itu berita palsu. Ketika satu milliar orang percaya pada cerita yang dibuat-buat selama seribu tahun, itu adalah agama.” -Yuah Noah Harari
“Apakah Anda benar-benar berpikir bahwa umat Muslim secara inheren lebih etis daripada ummat Hindu, hanya karena umat Islam percaya pada satu Tuhan sementara umat Hindu percaya pada banyak Tuhan?” -Yuah Noah Harari
Saya membaca buku 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad 21 karya Yuah Noah Harari di tengah suasana keagamaan di mana-mana. Tetangga saya seorang ibu rumah tangga waktunya dihabiskan untuk mengaji. Tiap hari dengan sepeda motor yang mesinya sudah lapuk, ia mengajar kitab suci: cara membaca yang benar, menghapalnya, dan menuntun mereka yang ingin menghayati agama. Dipupuk keyakinan itu begitu lama sehingga ia membatasi diri untuk hidup sesuai doktrin: tak meminjam uang di Bank karena riba, hingga tertib waktu dalam hal ibadah.
Ia tak sendiri karena banyak ibu-ibu lain berbuat serupa. Bahkan lapisan artis kini memutuskan untuk hijrah: tak mau lagi menjadi bintang pada adegan yang melanggar norma, bahkan karirnya sebagai artis tak dilanjutkan lagi. Mereka meyakini hidup di bawah ketentuan suci agama menuntut untuk menjauhi hal-hal yang dilarang. Artis adalah profesi yang dilarang. Diubahnya penampilan hingga cara bicaranya penuh dengan nasehat.
Mengapa orang berpaling pada agama? Harari bilang itulah cara orang bertahan hidup. Orang menghidupkan fiksi untuk mencipta makna dalam hidupnya. Tanpa fiksi orang akan kehilangan harapan dan kemampuan untuk menanggung apa yang terjadi di dunia. Melalui fiksi yang dihidupkan dengan ritual, orang kemudian dibiasakan untuk mempercayai hal-hal yang menentramkan batin, otak, dan kesadaranya.
Justru dengan agama manusia dibimbing untuk berbuat baik, membela, dan melindungi yang lemah. Tapi, status fiksi yang membuatnya gampang disalah-gunakan. Harari punya contoh komplit sejak agama Islam dan Kristen menyebar ke seluruh dunia maka insiden perang salib, jihad, inkuisi, dan diskriminasi agama terjadi.
Ada apa dengan agama?
Ada kecongkakan yang muncul dalam agama. Yudaisme misalnya, sangat percaya kalau aturan etis universal itu berpangkal pada ajaranya. Seolah orang yang hidup sebelum zaman Musa dan Abraham tak mengenal etika sama sekali: tanpa komitmen moral dan hidup dalam semangat Hobbes. Namun buktinya berlawanan: di zaman batu ada banyak kode moral bahkan suku Aborigin memiliki pandangan etis padahal mereka tak kenal Musa maupun Muhammad.
Argumentasi Harari memang seperti kebanyakan kaum sekuler: meyakini agama tak cukup mampu menciptakan dunia lebih baik. Terlebih dengan algoritma, kehidupan sebenarnya bisa dijalani dengan mengoptimalkan penggunaan perangkat tekhnologi dan media. Kemampuanya tak hanya memuaskan rasa keingintahuan, tapi juga penasaran.
Hal-hal praktislah yang mampu menyatukan manusia. Harari menulis, “Orang-orang memang masih memiliki agama dan identitas nasional yang berbeda. Tetapi ketika menyangkut hal-hal praktis, bagaimana membangun negara, ekonomi, rumah sakit, atau bom, hampir semua diri kita masuk ke dalam peradaban yang sama. [hal. 116]” Tapi apakah cukup hal-hal praktis memecahkan soal kita di masa depan?
Harari melihat kita punya soal yang berat: pertama soal nuklir yang menjadi alat tawar-menawar. Mau dipakai atau diatur pemakaianya. Lalu tantangan ekologis yang secara nyata mengharuskan kita untuk membereskanya saat ini. Dan soal yang gawat lainya adalah, teknologi yang membuat kita bisa masuk ke alam kiamat.
Harari secara provokatif melihat teknologi yang kini mampu mengkikis kemampuan dasar manusia. Revolusi Kecerdasan Buatan (AI) bukan hanya menerbitkan komputer yang cepat dan pintar, tapi juga dipicu oleh bergabungnya sains hayati (life sciences) dengan sains sosial (social sciencies). Kemampuanya bukan hanya dalam bidang ketrampilan, tapi juga emosi.
Lalu bagaimana manusia, bangsa, dan persoalan kemanusiaan dibereskan? Harari tak percaya pada agama apalagi nasionalisme yang kini diserukan oleh figur seperti Trump maupun Putin. Keyakinanya ada pada etika sekuler. Tidak menolak agama tapi memastikan dengan kerendahan hati untuk menghormati pilihan manusia maupun derita yang dialaminya. Secara unik buku ini ditutup dengan bab mengenai meditasi: upaya aktif untuk mengenal diri yang unik, berbeda, dan istimewa.
Saya merasa Harari sedang ingin mengutuk nasionalisme dan agama yang dianggapnya pemicu masalah dunia. Tapi ia lupa kalau itu bukan pangkal penyebab utama: agama tak selalu melahirkan kebencian dan nasionalisme bukan sebab utama peperangan. Harari tak banyak menggali kalau sekulerisme yang melahirkan demokrasi bisa memicu kisruh.
Tak bisa kita meyederhanakan rumitnya soal kemanusiaan pada satu atau dua penyebab utama. Kita butuh kerendahan hati kalau dunia memang menyimpan sumber masalahnya sendiri. Belajar dari sejarah kita pasti bisa melihat ambisi, kemajuan tekhnologi, hingga bencana alam dapat merubah semuanya.
Bahkan agama meski dibajak oleh kaum teroris, tetapi jadi sumber untuk mendapat kepastian. Meski itu mungkin fiksi bagi Harari, tapi itu bisa memberi orang harapan untuk bertahan. Harari terlampau buru-buru membangun kesimpulan meski dirinya menawarkan cara baca yang baru dalam melihat dunia. Saya terkesan pada buku ini bukan karena pandanganya, tapi cerita dan sindiranya.
Secara kualitas gagasan masih jauh dari dua buku sebelumnya: Homo Sapiens dan Homo Deus. Tapi sebagai sebuah provokasi buku ini menarik kita untuk percaya kalau teknologi sedang bersiap untuk melakukan ekspansi pada pikiran, prilaku, dan sikap kita pada sekitar. Sebuah buku yang informatif tapi kurang inspiratif.(*)