Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Sungguh ironi memang ketika saat menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN) UGM yang dilakukan di Maluku, seorang mahasiswi malah menjadi korban pelecehan seksual dan percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh sesama teman KKN nya. Usut punya usut hal tersebut ternyata sudah terjadi agak lama, sekitar tahun 2017. Dan baru tersiar ke publik karena diekspose oleh media kampus; Balairung tahun 2018. Dengan judul yang agak keras dan menohok ‘Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan’. Hal ini tentu sangat berkonotasi negatif. Serupa memberi pertanyaan pada kita, apa yang terjadi di UGM? Dan ketika fakta tersebut mencuat, tak ayal semua mata tertuju, semua mulut mencaci dan semua jari siap dengan tulisan-tulisan memaki. Ini konsekwensi yang harus di terima oleh pelaku, pihak kampus yang terlibat, maupun nama besar UGM itu sendiri. Semua jadi meradang, di dunia nyata maupun di dunia maya.
Lalu, apa yang hendak kita lihat dari kasus tersebut? Apa yang penting untuk kita cermati dari kejadian ini, baik secara perspektif pidana maupun perspektif sosialnya? Pertama mungkin kita melihat perjalanan kasusnya sendiri. Artinya, dengan rentang waktu yang cukup lama, ada dua masalah yang memungkinkan yang terjadi pada korban. Bisa karena trauma atau bisa juga karena korban tidak mau permasalahan ini terekspose kencang di masyarakat luas. Sembari berharap keadilan dari pihak kampus untuk menindak pelaku dengan seadil-adilnya. Tapi sayang sungguh sayang, keadilan tersebut tak kunjung datang. Malah kesialan korban bertambah dengan buruknya nilai KKN yang harus ia terima. Ibarat pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’; sudah jadi korban perkosaan, nilai KKN buruk dan yang paling menyakitkan ialah pelakunya malah bebas dan bahkan siap menjalani wisuda.
Seharusnya, kasus ini sedari awal sudah dilaporkan ke pihak berwenang. Karena percobaan perkosaan dan semacamnya seperti ini, sudah bukan menjadi domain kampus lagi untuk mencarikan jalan penyelesaiannya. Kampus hanya bisa menginvestigasi kasus ini sebatas tindakan ketidakdisiplinan akademis. Yang konsekwensi hukuman terberatnya ialah dikeluarkan dengan paksa alias DO.
Tidak hanya disitu, ada juga hal menggelitik sekaligus serius yang coba ditunjukan pejabat UGM. Hal ini menunjukkan bukti ke khalayak bahwa tingkat derajat kaum intelektual ternyata tidak berbanding lurus dengan prilakunya sebagai insan cendikia. Hal itu bisa dilihat dari pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat di DPkM yang mengatakan bahwa korban juga bertanggungjawab atas terjadinya kasus percobaan perkosaan tersebut. Disini secara awam orang bisa menilai bahwa tidak hanya terjadi kepincangan nalar yang terjadi di UGM, tapi akalnya pun juga ikut turut pincang. Dengan meng-andaikan korban sebagai ‘ikan asin’ santapan sang kucing, tentu ini sangat menyesakkan dada. Pernyataan ini jelas sudah mengarah pada penghinaan dan pelecehan terhadap gender, yang seolah bahwa perempuan itu suatu kewajaran untuk disantap oleh kaum lelaki.
Dan kalau kita ingin melihat lebih jauh lagi, pernyataan pejabat DPkM ini jelas-jelas adalah sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Membayangkan sang pejabat kampus mengatakan ‘Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan’, membuat kita berpikir, apakah mungkin orang seperti ini menjadi pejabat dilingkungan akademik. Kalau pernyataannya saja seperti ini, apakah mungkin orang akan aman, terutama kaum perempuan, ketika berkuliah di UGM. Karena jelas sekali, cara pejabat DPkM UGM melihat kasus ini terkesan sangat merendahkan harkat dan martabat seorang perempuan. Seolah perempuan tersebut tidak berharga sama sekali. Perempuan disama-samakan seperti ikan asin. Dan laki-laki adalah kucing yang bisa kapan saja dan dimana saja bisa makan ikan asin tersebut sesukanya. Saya rasa ini adalah kedunguan yang paling sontoloyo.
Ditambah dengan ketidakseriusan serta ketidaktegasan pihak UGM dalam melakukan investigasi kasus ini untuk memberikan rasa keadilan bagi korban, akhirnya gunung es tersebut mulai runtuh; perlahan tetapi terus membesar. Bahkan sekarang hampir semua media lokal, nasional bahkan internasional sudah mengangkat kasus ini. Desakan demi desakan terhadap pertanggungjawaban UGM atas kasus ini terus menguat. Bukan tidak mungkin hal ini memancing diskursus yang lebih luas lagi serta tuntutan yang lebih berat lagi bagi UGM secara institusional. Bahkan yang tersebrat sekalipun, seperti mengganti rektor dan sebagainya.
Akhirnya, seperti kata pepatah, ‘sepandai-pandainya kita menyembunyikan bangkai, lambat laun tapi pasti baunya akan tercium juga’. Dan bau itu hari ini keluar dari lorong kampus UGM yang berdiri gagah perkasa. Bukan saja bau kasusnya, tapi bau martabat dari sebuah institusi yang kini pincang nalar pincang pula secara akal