***
Setelah melihat film Venom garapan terbaru Marvel, secara subjektif ada beberapa pesan serius yang bisa ditangkap meski agak jenaka. Ya ini mirip dengan film-film fantasi lainnya. Tapi Venom agak sedikit berbeda. Meskipun film ini kurang sesuai ekspektasi, minimal Venom ingin memberikan kita jawaban sekaligus umpan balik ketika sedang menontonnya. Venom seakan menyiratkan bahwa tidak ada kejahatan yang abadi yang dilakukan oleh seseorang. Bahkan bukan tidak mungkin yang dahulu pernah berbuat jahat, sekarang berubah haluan menjadi baik. Ini yang kemudian kita kenal dengan metamorfosa. Dan Venom adalah bagian dari metamorfosa yang ingin di tampilkan oleh Marvel.
Venom, yang kalau kita lihat sebelumnya pada film Spiderman, adalah sosok jahat yang karakternya arogan dan berlawanan dengan tokoh utama. Atau bisa dibilang venom adalah sesuatu yang jahat yang bertujuan menciptakan kekacauan dan tidak suka dengan adanya kebaikan. Makanya Venom dan Spiderman kemudian menjadi dua karakter yang berlawanan dan berhadap-hadapan dalam laga. Tapi dalam film terbarunya, Marvel menampilkan Venom yang berbeda walaupun tidak mengubah sisi dasar karakteristiknya yang agak arogan.
Film Venom ini sendiri bermula dari kisah seorang jurnalis. Dimana sang jurnalis sedang berusaha mengungkap praktik jahat sebuah perusahaan Life Foundation, yang dipimpin oleh Carlton Drake. Perusahaan ini disinyalir telah melakukan praktek yang dilarang dan memakan korban yang tidak sedikit. Eddie Brock, sang jurnalis yang berusaha mengungkap praktik tersebut kemudian malah dianggap mengada-ada oleh perusahan tempatnya bekerja. Dan alhasil ia dipecat oleh perusahannya sendiri. Tapi keyakinannya terhadap praktik kejahatan Life Foundation tidak goyah. Ia akhirnya melakukan penyelidikan sendiri dengan bantuan orang yang dikenalnya. Dan pada saat menyelidiki kasus inilah ia kemudian bersentuhan dengan Venom, simbiote dari luar angkasa yang mencari induk untuk raganya. Dan tubuh Eddie ternyata cocok dijadikan semang oleh simbiote tersebut.
Secara alur, film ini termasuk lambat dan kurang menegangkan. Tantangan yang ditunggu-tunggu seperti laga antar superhero atau makhluk ‘monster’ hanya terdapat diakhir cerita saja. Harus diakui bahwa jalan cerita dalam film ini lebih banyak bergulat antara Venom dan tubuh semangnya saja; dialektikanya lebih banyak antara Eddie dan Venom saja yang menjadi satu dan kemudian saling bercakap dan ngobrol tentang sesuatu yang terkadang berbeda untuk melakukan sesuatu. Hampir jarang dalam separuh waktu dalam film Venom ini kita menyaksikan pertarungan antar monster yang bertubi-tubi, yang menghancurkan kota dan seisinya atau terjadi kerusakan yang besar. Kita baru bisa menyaksikan pertarungan tersebut saat beberapa saat film akan berakhir. Sebuah pertarungan antar simbiote yang ternyata tidak hanya Venom saja yang hadir, melainkan ada yang lainnya yang bernama Riot. Riot ini yang kemudian dijadikan Marvel sebagai sosok jahat yang akan mengirim lebih banyak simbiote dari luar angkasa untuk menguasai bumi.
Tentunya sebagai sebuah produksi animasi, sudah menjadi lumrah kemudian kalau ada 2 karakter tokoh yang ingin di tampilkan. Biasanya antara karakter baik dan jahat. Dan endingnya ialah kekalahan dari salah satu tokoh karakter tersebut. Nah, disini keunikan Venom yang digarap oleh Marvel. Karakter Venom masih sama seperti yang kita lihat dalam Spider Man; kasar dan keras. Akan tetapi kali ini Venom adalah sosok yang tidak antipati dengan manusia dan kehidupan di bumi. Bahkan Venom kemudian yang berusaha menyelamtkan kehidupan di bumi dengan menghancurkan Riot saat hendak memulai project kehancuran.
Film Venom layak mendapat apresiasi meskipun masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan. Baik kelemahan secara produksi dan sebagainya. Karena film Venom sendiri menggambarkan sisi kehidupan yang umum; bersemangat, menggebu-gebu, kecewa, penghianatan, perubahan suasana hati, kesadaran dan kemudian kebanggaan. Dan memang seperti itulah kehidupan manusia. Kadangkala berbuat jahat, tapi kadang kala juga bisa berbuat baik. Tapi apapun itu, film Venom ini seakan menginginkan kita untuk menafsirkan ulang lagi frase ‘jahat’ tersebut. Seperti sebuah pertanyaan, benarkah kemudian orang jahat akan selalu berbuat jahat. Ataukah ada kemungkinan untuk bertransformasi dan bermetamorfosa untuk menjadi lebih baik?
Ini yang menjadi catatan ‘lebih’ dari film Venom. Bahwa apapun kekurangannya, Venom bisa tampil sebagai karakter yang dialogis. Akankah Mak Lampir dalam serial Misteri Gunung Merapi akan bermetamorfosa juga? Hehehe… [Melki AS]