Luna Febriani [Pegiat Social Movement Institute]
***
Akhir-akhir ini banyak yang membagikan dan mengirimi saya qoutes yang sedang viral di sosial media yang berbunyi “Saat wanita lelah bekerja, maka mereka ingin dinikahi” sembari menanyakan ‘kamu ndak lelah, nduk? Ndak mau nikah toh?’. Sontak, quotes ini kemudian menarik perhatian dan membuat saya gregetan, lalu dari sinilah saya kemudian tergugah untuk kepo terhadap koment-koment dari quotes yang dishare di sosial media dan menanggapinya melalui tulisan yang tidak ilmiah dan tidak seberapa ini.
Sebelum melangkah lebih panjang, perkenalkan saya adalah seorang perempuan biasa, berasal dari sebuah daerah yang sama dengan Ahok dan sehari-hari menghabiskan waktu minimal 8 jam untuk bekerja. Bekerja sudah menjadi bagian dari hidup saya, yang mana hampir separuh hari saya, mulai dari hari Senin sampai dengan Jumat, bahkan tak jarang Sabtu dan Minggupun saya curahkan waktu libur untuk bekerja. Lelah? Tentu saja, apalagi disaat tuntutan-tuntutan akan pekerjaan semakin meningkat. Tapi, ini adalah konsekuensi dari pilihan rasional saya hal ini sudah menjadi pertimbangan sebelum saya memutuskan menjadi perempuan pekerja.
Ada beberapa pertimbangan yang membuat saya memutuskan untuk menjadi perempuan pekerja: Pertama, terbukanya struktur yang memungkinkan dan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk dapat bekerja, terutama di arena publik. Tidak dapat dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa di masa lampau perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang menguntungkan, perempuan dianggap sebagai the second human being (manusia kelas kedua). Posisi ini menempatkan perempuan hanya sekedar objek/pelengkap dan properti dari laki-laki, dan ini melahirkan dampak yang kurang menguntungkan bagi perempuan itu sendiri, diantaranya: marginalisasi, subordinasi, streotipe, kekerasan dan beban ganda. Dalam kehidupan sehari-hari, dampak ini terlihat nyata, dimana di zaman dahulu perempuan hanya ditempatkan di ranah domestik (sumur-dapur-kasur), perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan dan, anggapan bahwa perempuan selalu irrasional sehingga perempuan dibatasi untuk bekerja di ranah publik, upah perempuan jauh lebih kecil dibandingkan kaum laki-laki, dan banyak lainnya.
Namun, fenomena ini berubah, seiring hadirnya feminisme yang merupakan ideologi dan gerakan pembebasan perempuan karena selama ini perempuan acapkali mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya, maka perlahan posisi perempuan mulai diperhitungkan dalam ranah publik, seperti pembangunan dan pengambilan keputusan. Sehingga, dari sinilah gerbang kebangkitan kaum perempuan mulai dibuka sedikit demi sedikit. Perempuan sudah mulai diperkenankan mengeyam pendidikan, bekerja di ranah publik dan mendapatkan upah yang setara dengan laki-laki, hingga perempuan mulai dilibatkan dalam arena politik. Nah, keterbukaan struktur dan kesempatan inilah menjadi salah satu faktor dan pertimbangan saya dalam memutuskan untuk menjadi perempuan yang bekerja.
Kedua, Bagi saya seorang perempuan, bekerja bukan saja untuk tujuan pemenuhan kebutuhan ekonomi semata, tapi lebih dari itu, bekerja juga memiliki fungsi lainnya seperti menjalin relasi sosial, sebagai bentuk otonomi dan ekspresi serta aktualisasi diri. Dan, ternyata fungsi-fungsi lain inilah yang sampai sekarang menguatkan saya untuk tetap menjadi perempuan pekerja. Dari bekerja, saya dapat menemukan kebahagian diri, karena dengan berjejaring, mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri, saya merasa memiliki manfaat bagi orang banyak. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda: Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang banyak. Berarti dengan bekerja, saya meyakini saya telah mengamalkan ibadah sosial dan ibadah agama, bukan begitu? Yah, sejalan dengan manfaat dari bekerja yang saya utarakan tersebut tentu saja saya tidak bermaksud meneguhkan teori fenomenal hirarkhi kebutuhan dari Abraham Maslow yang menyebutkan bahwa kebutuhan akan aktualisasi dari merupakan kebutuhan tertinggi dari manusia, tapi yah begitulah kenyataannya, itulah yang saya alami. Narasi ini bukan berarti saya mengunderestimate perempuan-perempuan yang tidak bekerja, bagi saya perempuan juga punya otonomi diri untuk tidak bekerja, memilih untuk tidak bekerja juga mulia dan patut untuk dihormati dan dihargai.
Lalu kembali ke pertanyaan dari quotes yang sedang viral tersebut “apakah ketika perempuan lelah bekerja maka solusinya menikah?” Menurut hemat saya, solusi kalau lelah bekerja maka menikah ini adalah candu! Kok bisa? Karena dia hanya menjadi solusi yang sifatnya sementara, dengan kata lain solusi ini hanya dapat menenangkan dalam jangka waktu yang cukup pendek bukan cukup lama. Karena, apakah dengan menikah maka segala kelelahan akan segera hilang? Belum tentu! Solusi konservatif ini justru akan mengembalikan posisi perempuan menjadi the second human being, dimana menganggap menikah adalah solusi dari segala permasalahan perempuan akan menjadikan laki-laki ibarat dewa penyelamat dari masalah perempuan sehingga akan menimbulkan relasi ketergantungan antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. So, kalau lelah bekerja, pilihannya istirahatlah, ambil cuti luangkan waktu untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat atau segera mengajukan pengunduran diri. Kalaupun mau menikah, monggo, tapi semoga keinginan menikah itu bukan karena lelah bekerja, tapi karena pilihan dan otonomi kita, perempuan!