Pengalaman membaca Fire & Fury (Menyingkap Rahasia Memalukan di balik Pemerintahan Donald Trump) oleh Michael Wolf (Peraih National Magazine Awards dan Mirror Awards)
***
Buku ini unik, jenaka dan mampu membuat kita geleng-geleng kepala. Bayangkan Gedung Putih yang diisi oleh komplotan aneh dengan kebiasaan yang mengejutkan serta tak bisa diduga. Sang Presiden Donald Trump memang pribadi yang kontroversial: tak suka baca, jarang bisa dengarkan pendapat orang dan sangat menyukai dirinya sendiri.
Michael Wolf menulis dengan kocak. Diawali dari rasa terkejut dari tim sukses atas kemenangan Donald Trump. Inilah tim sukses yang sebenarnya meyakini kalau mereka takkan sukses. Dari awal model kampanyenya hanya mengutuk serta membanggakan Amerika. Model kampanye yang meniup habis-habisan isu SARA. Sialnya kampanye ini ternyata mendulang suara yang besar.
Kelak kita semua tahu kemenangan ini berbau bacin: tuduhan ada hubungan dengan Rusia hingga meretas face book untuk mengetahui apa yang disukai responden. Tapi Michael Wolf uraikan dengan konyol cerita di balik gedung putih: mengawali dari ketidak-percayaan akan menang hingga bagaimana Presiden membentuk tim gedung putih yang terdiri dari kawan dan keluarga.
Buku ini memberitahu kita paradoks demokrasi: yang mayoritas belum tentu memilih yang ideal. Bahkan bisa jadi memilih yang paling tak masuk akal. Donald Trump mimpi indah kaum konservatif tapi bisa jadi hantu bahaya untuk kaum liberal. Membayangkan bagaimana dirinya selalu tidak percaya pada siapapun dan mengaggumi pandanganya sendiri.
Mula-mula kebocoran seputar kehidupan gedung putih. Donald Trump bawa selimut lalu lari teriak di malam hari. Atau keluhan tentang gedung putih yang panas dan ada kecoa pula. Begitu pula bagaimana tim dalam istana kacau, tanpa kesatuan dan sulit untuk melihat prioritas. Seolah gedung putih kini bukan istana presiden tapi diduduki oleh orang-orang tolol.
Repotnya media selalu dimusuhi oleh Trump. Gaya politiknya yang emosional, intuitif dan cenderung menyerang memang mudah jadi sasaran tembak media. Hebatnya Trump tak peduli itu semuanya. Trump disebut sebagai manusia pasca literasi-sumbernya hanya tontonan TV bukan buku. Maka Trump selalu kesulitan jika merujuk data bahkan dalam pidato sekalipun.
Improvisasi terus-terusan adalah gayanya dalam pidato. Sehingga orang bisa terperangah hingga Bush pernah komentar sesaat setelah mendengar pidato Trump dalam kalimat yang sinis: ‘omong kosong yang aneh’. Sungguh ironi untuk Amerika sebagai negara besar yang memilih Presiden yang masa lalunya berkabut banyak masalah.
Wolf menulis: selama 30 tahun disorot media hampir semua kegiatan usaha Trump bermasalah: real estate-nya di New York, Atlantic City, maskapai penerbangan, Mar-a-Lago, lapangan Golf, hotelnya: yang bukan hanya jadi beban masa lalu tapi gilanya dapat menjadi landasan untuk panggung ketenaranya. Ibarat pertunjukan Trump menampilkan sesuatu yang konyol sekaligus sensasional. Ia memang membuat panggung kekuasaan jadi stand up comedy.
Dari yang tertata menjadi kacau balau, dari yang terencana jadi penuh intuisi dan dari yang aktif jadi reaktif. Itu sebabnya Trump sulit tentukan prioritas: diserahkanya urusan Timur Tengah ke menantunya Jared yang orang Yahudi sekalipun belum mengenal banyak tentangnya. Jared jarang menyumbang untuk keperluan Yahudi sehingga mereka sedikit terkejut dengan penunjukan ini. Kelak kita jadi tahu bagaimana kacaunya kebijakan Trump mengenai hubungan Palestina-Israel.
Trump dikelilingi oleh para pengaggum dan profesional. Pengaggum ini datang dari teman dan utamanya famili. Anak serta menantunya punya pengaruh penting di gedung putih. Sungguh ini penguasa konyol karena anaknya diberi jabatan dan kuasa penting: penasehat Presiden. Demokrasi yang konyol karena famili memegang peran utama dalam pengambilan keputusan negara.
Anak dan menantu bisa punya peran penting dalam kebijakan negara. Wolf memberi contoh pada kasus Suriah: pilihan menyerang atau diam. Saat kota Khan Sheikhoun dihancurkan oleh senjata kimia sesungguhnya Trump tak terlampau peduli. Urusan perang itu memang bukan jadi kepentinganya. Terlebih informasi mengenai itu disajikan dengan gaya yang Trump tak menyukainya.
Tapi Trump sedari awal suka dengan serdadu, apalagi yang bajunya ditempeli bintang. Anaknya tahu bapaknya itu tak bisa diberitahu hanya dengan informasi. Butuh informasi yang dikemas dalam data yang gampang dilihat, bisa mengejutkanya dan menarik minatnya. Meluncurlah foto-foto anak Suriah yang dianiaya yang membuat Trump terperangah hingga memutuskan untuk membalas serangan.
Buku ini menguliti kebiasaan Trump yang aneh: tidak menyukai institusi. Bayangkan Presiden tak senang dengan lembaga. Karena Trump suka dengan dirinya sendiri. Kasus yang memukul 100 harinya adalah memecat direktur CIA: James Conney. Orang yang sesungguhnya berjasa karena Conney yang membuat Hillary tampak berantakan. Kesaksianya membuat hubungan Trump dengan Rusia jadi tampak memalukan.
Trump tampaknya kagum dengan Putin, bahkan memujanya. Ironi yang konyol setelah perang dingin yang usai dan persaingan keras di banyak tempat harus berakhir dengan keterpesonaan pada figur. Tapi begitulah Trump yang hampir semua diukur dari perasaan dirinya dan selalu memakai kriteria dirinya sendiri. Soal Rusia ini ternyata memang bermula dari ketelodoran bahkan cenderung karena kenaifan.
Wolf menyimpulkan diri Trump sebagai:..salah satu karakter Trump, dia akan selalu dianggap tempat orang-orang secara tidak adil mengambil keuntungan. Hal ini menurun dari sikap keras dan pelit ayahnya atau kesadaranya sebagai anak orang kaya…dia hidup dalam ekosistem untung-rugi, keuntungan bagi satu pihak diambil dari kerugian pihak lain…
Landasan hidup gaya penjual yang memeras. Tapi begitulah dirinya memerankan diri: suka berkicau dan mengatakan hal berulang-ulang, bahkan yang mengaggumkan: Trump kerap lupa pada apa yang baru dikatakanya. Maka dari dalam istana gedung putih yang muncul bukan hanya keputusan politik tapi juga gossip murahan.
Tapi Trump meraih35% dukungan dari para fansnya. Apapun yang dilakukanya! Trump tak hanya suka mengejek orang lain tapi anaknya sendiri diejek. Don Jr, 39 tahun dan Eric, 33 th dengan riang dibilang sebagai anak yang ketika Tuhan lagi membagi otak keduanya tak hadir. Don bahkan dapat julukan Freddo, satu karakter lemah dalam film Godfather. Trump suka mencemooh siapapun yang lebih pintar darinya.
Bayangkan Amerika dipimpin oleh pribadi yang kacau, unik dan mengejutkan ini! Kekacauan yang paling nyata pada tim yang saling bersaing: antara sayap kanan konservatif yang dipimpin Bannon dan keluarga Trump yang memadati lingkungan istana. Dalam seluruh kebijakan tampaknya dua golongan ini yang terus berseteru. Buku ini membuat kita merinding karena menggambarkan kebijakan luar negeri atau kebijakan domestik jadi bahan perdebatan antar dua kelompok yang bersaing.
Lama kelamaan banyak orang memutuskan mundur. Kini Donald Trump ditemani oleh mereka yang masih muda dan minim pengalaman. Mereka yang masih bertahan untuk tetap melayaninya. Penulis tak terlalu percaya Trump akan memimpin dalam dua periode: bahkan satu periode pun tampaknya sempoyongan.
Hanya politik tak bisa ditebak kemana arahnya. Diantara sistem yang sudah baku serta aparat yang harusnya profesional, tokh Amerika bisa melahirkan Presiden jenis seperti Donald Trump. Buku ini memang membuat kita cemas pada masa depan demokrasi tapi juga buku ini memberi pelajaran penting bahwa siapapun kandidat dan seburuk apapun kualitasnya tetap punya peluang jadi penguasa. Demokrasi membuat pintu kesempatan itu terbuka selebar-lebarnya.
Kali ini Donald Trump yang beruntung mendapatkanya. Walau dicerca, dijadikan sasaran olok-olok dan bahkan diramal takkan lama memimpin: tapi Trump membawa politik dalam arti yang baru. Bukan sebagai perbuatan bajik dimana urusan rakyat jadi kepentingan utama, tapi politik adalah mempertahankan jabatan serta menggunakan sesuai dengan emosinya sendiri.
Pantas buku ini memicu kontroversi karena membuka selubung gedung putih yang digambarkan sebagai rapi, seram dan berwibawa. Kantor itu tak ubahnya pos ronda dimana tiap orang bisa komentar sekenanya dan kemudian bercanda sekenanya dan menyatakan pendapat apa saja. Kita bukan melihat Donald Trump sebagai Presiden tapi potret zaman yang sudah lelah dengan kebaikan, kebajikan dan kebersamaan. Sialnya mereka inilah yang ikut menentukan hitam-putihnya kehidupan di bumi.
Trump hanya sebuah petunjuk kalau hari akhir kian mendekat…..