***
Proklamasi kini sudah berubah bunyinya
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyerahkan semua kedaulatanya. Bumi, air dan kekayaan yang ada di dalamnya bisa disewa untuk kepentingan apa saja. Hal-hal yang menyangkut jaminan investasi hingga keamanan akan kami sesuaikan dengan kebutuhan para penyewa.
Sungguh ironi 70 tahun yang lalu kita putuskan untuk merdeka. Tindakan yang berani dan beresiko. Sejarah bercerita ada usaha keras sekutu untuk mengusai Indonesia kembali. Belanda dengan penuh minat hendak menjalankan praktek imperialisme kembali. Mereka ingin kita jadi bangsa terjajah.
Tapi anak-anak muda kala itu tak berdiam diri. Kobaran kenekatanya tersulut saat Sekutu datang lalu ingin melucuti senjata hasil rampasan serdadu Jepang. Dilawanya sekutu bahkan pasukan Nica dengan semua senjata yang ada. Terjadilah apa yang mirip sebagai revolusi: tarung habis-habisan dengan kekuatan yang pasti tak seimbang.
Kini sekutu itu datang bukan sebagai pasukan tapi perusahaan. Mereka punya niat yang hampir serupa: menimba laba dengan memproduksi apa yang dimiliki oleh negeri ini. Sumber daya alamnya hingga tenaga kerjanya. Pastilah bung Karno akan terperangah oleh kekayaan menggunung banyak perusahaan karena pernah mengeksploitasi kekayaan alam disini.
Bung Karno aku lapor
Proklamasi kini kubaca dengan huruf baru
Kami bangsa Indonesia dengan ini memutuskan untuk membangun hutang demi memacu kemajuan. Soal bunga dan pembayaranya biarkan anak cucu kami yang memikirkanya. Hal-hal yang menyangkut cicilan serta bayaranya bukan lagi urusan kami tapi rakyat yang niscaya akan membayarnya.
Betapa malangnya negeri ini yang timbunan hutangnya luar biasa. Soal jumlah bisa diperdebatkan tapi yang pokok utang makin menumpuk. Tak bisa disalahkan hanya pada pemerintah hari ini karena utang menumpuk sejak penguasa sebelumnya.
Kalau diusut sejak Soeharto berkuasa bantuan luar negeri mengucur begitu rupa. Bukan hanya bantuan uang tapi juga bantuan konsep dalam membangun. Diajari bangsa ini untuk bagaimana menjual diri dengan cara apapun agar tumbuh ekonominya.
Sawah dilipat jadi pabrik lalu tenaga kerja diupah dengan seadanya. Saksikan jika tak percaya jutaan buruh dilempar dalam pasar tenaga kerja yang kejam. 1 Mei jadi peringatan akan kondisi buruh yang masih jauh dari layak.
Tak hanya buruh tapi juga kehidupan kian berat karena hampir semua kebutuhan harus diimpor. Beras yang kita makan setiap hari kini diimpor. Garam yang memenuhi lautan ternyata juga diimpor. Yang tak kita impor tapi perlu sebenarnya adalah pejabat yang punya wibawa, pintar dan sederhana.
Bung Karno aku lapor
Proklamasi kini kunyatakan dengan cara yang berbeda
Kami bangsa Indonesia dengan ini mengatakan maaf pada para pendiri karena tak mampu menjaga negeri ini. Kemerdekaan yang dulu dinyatakan kini hanya berlaku pada sebagian orang dan tak berlaku pada semua orang. Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan kami minta ampun karena tak bisa memenuhinya.
Baru saja hukum dijatuhkan pada seorang perempuan yang memprotes suara adzan. Dijatuhi hukuman satu tahun hanya karena dirinya keberatan atas suara sound yang menurutnya menganggu. Di awal mula protesnya memicu kerusuhan yang membuat tempat ibadah terbakar.
Mengapa kehidupan sosial kita mudah diracuni oleh prasangka, curiga dan fitnah? Bahkan kita layak untuk bertanya mengapa rakyat negeri ini kehilangan rasa maaf, tergusur rasa pedulinya dan tercabut dari sikap baik sangka? Jawaban sederhananya karena keadilan telah mulai kehilangan akarnya.
Keadilan yang menyakitkan terjadi ketika di Lapas Sukamiskin para tahanan korupsi bisa menikmati kemewahan. Penjara bukan tempat untuk menghukum dan membina tapi lembaga pelindung mereka yang kaya dan kuasa. Situasi itu terjadi berulang kali dan kita hanya bisa meredam kecewa.
Yang dibunuh pada tahun 65 dalam jumlah ribuan bahkan ratusan ribu tak bisa diadili. Yang diculik pada masa Orba juga tak ketahuan siapa penanggung jawabnya. Yang dianiaya di Aceh hingga Papua tak bisa diusut pelakunya. Kita hanya bisa tercenung atas kasus yang terjadi dan tak mampu menuntut pengusutanya lagi.
Begitu pula kita kesal pada korupsi yang dilakukan tanpa rasa malu. Membayangkan para tersangka keluar dari KPK dengan senyum serta rasa percaya diri membuat kita tahu kalau mereka kehilangan empati. Para politisi yang mencuri itu harusnya disita bukan hanya hartanya tapi kekayaanya sebaiknya dibagi rata pada rakyat miskin yang sudah menderita karena ulahnya.
Tidakkah wajar jika kekayaan para pejabat mengejutkan akal sehat. Kita bukan curiga tetapi pantaskah di sebuah negeri yang masih dilanda soal kesenjangan aparatnya memiliki kekayaan yang membuat terperangah warganya.
Keadilan hanya menjadi bunyi dari Pancasila. Hidupnya tidak ditentukan di pengadilan bahkan buktinya tak bisa dimuat sekedar dalam konstitusi. Keadilan memang pantas untuk diperjuangkan sekaligus dipertarungkan.
Bung Karno aku ingat kata-katamu yang melukiskan bagaimana nasib sebuah bangsa yang rakyatnya terus-terusan dilukai rasa keadilanya:
Ketidak-adilan sudah berlangsung terlampau lama: jiwa telah tumbuh menurut strukturnya. Kemampuan berpikir kerdil dan bengkok
Tak kubayangkan bagaimana pemimpin negeri ini bertemu denganmu di hari akhir nanti. Tak tahu apa yang musti mereka katakan, kecuali membunyikan proklamasi lagi
Kami pemimpin negeri ini menyatakan ampun berulang kali karena tak mampu mempertahankan kemerdekaan lagi.
Terimakasih
Maafkan dan ampuni kami