Tuhan akan melakukan untuk kita apa yang tak bisa kita lakukan sendiri, tetapi Tuhan tidak akan melakukan untuk kita apa yang seharusnya kita lakukan (Regina Brett)
Kau tidak bisa menyeberangi lautan hanya dengan menatap airnya (Rabindranath Tagore)
Ketika kehidupan memberimu jeruk sitrus, peraslah dan buatlah limun (W Clement Stone)
Setiap saat adalah guru (Joko Beck)
***
Hari ini ada jutaan mahasiswa menyerbu kampus. Ingin mereka dipanggil dengan sebutan istimewa: mahasiswa. Sebutan yang dulu punya arti suci dan makna besar. Suci karena mahasiswa pada masa lalu adalah intelektual muda yang bisa bawa obor gagasan besar. Maka kebesaranya diukur dari kemampuan mahasiswa dalam mendobrak arah zaman. Itulah yang membuat mahasiswa dapat julukan digdaya: agen perubahan sosial. Apakah memang keyakinan itu masih terpupuk?
Dunia mahasiswa nyatanya tak seperti itu lagi. Rendra melukiskan begitu rupa:
Inilah tangan seorang mahasiswa
Tingkat sarjana muda
Tanganku. Astaga.
……
Tanganku aku sodorkan
Nampak asing diantara tangan beribu
Aku bimbang akan masa depanku
Tangan petani yang berlumpur
Tangan nelayan yang bergaram
Aku jabat dalam tanganku
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan
Tanganku yang gamang
Tidak memecahkan persoalan
‘Tanganku yang gamang’ itulah potret mahasiswa hari ini. Tangan mereka kini hanya digunakan untuk membeli, menulis status hingga menggandeng sang pacar. Tangan itu kehilangan kekuatanya sebagai pemberontak dan pencipta zaman. Tak ada yang salah dengan tanganya tapi pendidikan yang mengasuhnya telah melemahkan tangan-tangan muda. Jauh sebelum mereka duduk di bangku perguruan tinggi sekolah telah merawat keyakinan semu tentang anak muda yang sebaik-baiknya. Anak muda yang tak harus punya mimpi tapi wajib memiliki prestasi.
Begitu lah sekolah mencetak pelajar-pelajar yang serupa segalanya: penampilanya sama, duduk di bangku dengan urutan yang sama dan membaca buku pelajaran yang sama. Dididik mereka untuk selalu menyesuaikan atau setidaknya mematuhi aturan yang telah diputuskan. Masuk pada jam yang tepat serta pulang pada jam yang sama. Begitu pula pelajaran yang penting dipahami materinya ketimbang disangsikan kegunaanya. Sekolah tidak mengajarkan bagaimana pengalaman menuju dewasa tapi menuntut anak untuk menjadi seperti yang diinginkan oleh mereka. Siapa mereka?
Mereka yang kini dianggap sukses, berhasil dan punya semuanya. Uang, jabatan, kedudukan dan pengaruh. Nikmatnya menjadi ‘orang’ seperti ini: dimana-mana dikawal, tak ada kesusahan yang dihadapi dan segalanya terasa mudah. Mirip dengan menonton sinetron dibiarkan anak memuja apa yang sepertinya diperoleh tanpa usaha: kaya raya di masa muda, jadi jutawan ketika tua dan kalau mati masuk ke surga. Bukan sekolah saja yang meyakini itu tapi juga media terus-menerus memasok hal-hal yang tak berguna. Seolah hidup itu berjalan pada alur yang datar dan tanpa bahaya.
Tentu hidup tak bisa dipusatkan dengan mimpi seperti itu. Anak-anak muda tahu kalau kondisinya tak selamanya seperti itu: kekayaan kadang berunsur perampasan, kemakmuran pada kenyataanya melahirkan kesenjangan dan keadilan ternyata tidak mudah terwujud. Pengertian itu muncul di kampus yang selalu menawarkan pengetahuan yang tidak didasarkan pada rasa percaya saja. Kampus melatih jiwa-jiwa kritis anak muda baik melalui kuliah maupun organisasi. Di dalam perkuliahan yang pertama-tama sebaiknya mahasiswa diberitahu ancaman pengetahuan di masa depan.
Ancaman itu sebagaimana dikatakan oleh Albert Einstein ketika memberi pesan pada mahasiswa di California Institute Technology. Katanya:
Mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita? Jawaban yang sederhana adalah-karena kita belum lagi belajar bagaimana menggunakanya secara wajar….ilmu yang seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan spiritual malah menjadikan manusia budak-budak mesin, di mana setelah hari-hari yang panjang dan monoton kebanyakan dari mereka pulang dengan rasa mual, dan harus terus gemetar untuk memperoleh ransum penghasilan yang tak seberapa…
Itulah hidup manusia yang menyedihkan dan keadaan yang hari ini bisa kita saksikan. Media sosial yang harusnya bisa menyatukan malah membelah tiap orang, media sosial yang jadi temuan baru tekhnologi malah bisa jadi amunisi untuk perasaan saling membenci bahkan media sosial yang dapat menawarkan tukar-menukar pandangan berbeda jadi tempat untuk memupuk fanatisme dan keyakinan yang serupa. Nyatanya tekhnologi yang merupakan capaian pengetahuan tak mampu meningkatkan rasa kemanusian kita: solidaritas, empati dan penghargaan pada yang berbeda tidak berlangsung disana.
Kini kampus yang didamba akan bisa mengubah kondisi itu. Mengapa musti kampus? Tempat inilah yang dihuni oleh banyak anak muda: sekitar 5 juta mahasiswa berada di 5 ribu kampus di Indonesia. Mereka dipencar dalam berbagai fakultas dan belajar dalam suasana yang jauh lebih baik. Fasilitas kampus kini menganggumkan: dilengkapi wifi, kelasnya ada yang ber AC bahkan bangunanya berdiri menawan. Seakan memang kampus yang elok itu jadi tempat baik untuk belajar anak-anak muda. Belajar mengenai pengetahuan, soal tentang dirinya dan ikhtiar untuk merakit masa depan.
Kampus mulai menanamkan bukan sekedar disiplin tapi kebebasan akademik. Dorong mahasiswa untuk punya pikiran kreatif,imaginatif dan unik. Jadikan kampus seperti tempat dimana anak-anak muda menemukan bakat serta mimpinya. Bakatnya dapat terpupuk melalui pintu organisasi yang disediakan begitu rupa di kampus dan mimpinya bisa dipahat kalau mahasiswa dikasih banyak kesempatan produktif. Itulah tempat yang pernah merakit seorang menjadi proklamator seperti bung Karno sekaligus seorang bisa jadi penentu arah zaman layaknya Steve Jobs. Dua-duanya hidup di sebuah kampus dalam sebuah zaman yang amat berbeda.
Arthur Schopenhauer pernah mengatakan:
Bakat menembak target yang tidak dapat ditembak siapapun, genius menembak target yang tidak dapat dilihat siapa pun
Adalah kampus yang bisa menciptakan seorang jadi genius atau mereka yang berbekal bakat. Tapi mahasiswa membentuk keyakinan untuk menjadi keduanya dengan semangat berani untuk berpetualang, tidak terlampau percaya dengan cara gampangan dan selalu menyediakan diri untuk memperoleh pandangan yang berbeda. Pintu untuk merawat itu tak lain dengan mengembangkan diri dalam aktivitas organisasi dan pengetahuan. Organisasi membuat dirinya menanggalkan kepentingan diri sendiri dan pengetahuan bisa menciptakan etos pikiran yang terbuka, adil dan kritis.
Lihatlah kini diri mahasiswa: ia anak muda yang punya mimpi dan ia anak muda yang harusnya berani. Biarkan mimpi yang dulu di masa kecil itu tumbuh dikembangkan begitu rupa. Latihlah kebiasaanya untuk meyakini jika mimpi itu bukan hal tak berguna, dorong minat intelektualnya untuk memastikan mimpi itu dapat terlaksana dan ajak perasaanya untuk meyakini kalau andaikan ia gagal meraihnya itu bukan berarti ia jatuh selamanya. Dunia mahasiswa baiknya diisi oleh kesangsian, harapan dan keyakinan.
Maka mahasiswa yang berdatangan dari banyak tempat bukanlah mereka yang dulu pernah datang ke tempat yang sama. Mereka selalu punya harapan baru, meyakini diri mereka berbeda dan memastikan kalau mereka memilih kampus yang tidak keliru. Kali ini latihlah mereka untuk melihat kenyataan dengan cara baru, memastikan bahwa rintangan itu biasa dalam hidup dan tanamkan bahwa mereka bisa melukis masa depan dengan lebih berwarna. Yang utama adalah biarkan mereka tahu bagaimana mereka itu adalah cendekiawan muda yang waktunya akan dihabiskan untuk berpikir, bergiat dalam pengetahuan dan belajar makna menjadi anak muda yang sebenarnya.
Guillaume Apollianaire-pujangga Perancis-buat puisi yang bisa menutup semuanya:
Ayo ke tebing, kata-Nya
Mereka bilang: Kami takut
Ayo ke tebing, kata-Nya
Mereka mendekat. Ia mendorong mereka
Dan mereka terbang………………….