Orang besar adalah nasib malang masyarakatnya (Pepatah Tiongkok)
Jangan biarkan kegelapan menyebar karena kita diam. Pancarkan terang dengan suara dan tindakan kita (Cleo Wade)
***
Tahun 1995 saya pertama kali bertemu. Saat itu pak Mahfud duduk sebagai Pembantu Rektor I Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Saya kebetulan mahasiswa yang masih semester 5. Seingat saya itulah pertama kalinya saya mencoba merumuskan ide penelitian yang berbeda. Yakni keinginan untuk melihat kualitas dosen UII dalam memberi kuliah serta mencari pandangan mahasiswa tentang bagaimana dosen ideal dalam mengajar. Saya masih ingat sikap pak Mahfud hari itu: mendengar, memberi pertanyaan dan menyetujuinya.
Kesan itu tertanam hingga hari ini. Dosen muda yang terbuka, berani dan mudah menerima ide berbeda. Hingga suatu saat saya cerita padanya tentang peristiwa penculikan mahasiswa yang terjadi pada masa Soeharto. Tawaran saya kala itu bisakah UII memberi tempat bagi mahasiswa yang baru bebas dari penculikan untuk bicara di kampus. Pak Mahfud dengan antusias setuju bahkan dirinya yang menjadi pendamping korban untuk bicara. Hingga ketika Orde Baru tumbang pak Mahfud juga yang mensponsori pendirian Pusat Studi HAM di UII.
Sampai saya kemudian mendengar dirinya menjabat pada posisi tinggi. Berturut turut jabatan besar dipegangnya: Menhan hingga ketua MK. Saya hanya bisa menyaksikan sebuah sosok yang terus berusaha mencoba untuk memberi isi bagi Republik. Tak habis-habisnya dirinya menjadi pusat berita terutama soal Konstitusi dan Ideologi. Peran yang kadang kontroversial tapi semua meyakini dirinya memang pantas diberi amanah itu. Hingga dirinya jadi panggung berita saat tidak terpilih menjadi cawapres bagi Jakowi. Drama yang menyertai kisahnya membuat kita terperangah, heran dan marah. Pak Mahfud menuturkan drama itu di acara ILC selasa yang lalu.
Terus terang pengakuan itu mengejutkan. Disebutnya banyak nama yang selama ini melakukan persekongkolan. Satu demi satu nama itu dinyatakan hingga kita semua meyakini semua itu akal-akalan. Walau kita semua tahu permainan politik yang brengsek ini memang diwariskan sejak masa Orba. Tapi kita terperangah pula karena pemimpin agama itut terlibat aktif di dalamnya. Mengancam, menekan hingga secara membabi buta menolak. Pak Mahfud dengan ringan menjelaskan itu satu demi satu sehingga kita seperti dapat kuliah tentang komplotan politisi.
Bahwasanya para aktor politik kita akan melakukan apa saja demi melestarikan kepentinganya. Seakan prinsip etis yang dinamai kejujuran, keadaban hingga akal sehat bisa ditiup begitu saja. Bayangkan saja para pembawa pesan ke pak Mahfud ini memakai istana untuk tebar janji kemudian dikhianati begitu saja. Hingga Presiden sekalipun tak bisa menolak karena tekanan ketua Partai. Tak habis pikir kita bagaimana politik dikelola dengan cara menghindar diri dari prinsip-prinsip moral. Sehingga kita bertarung merebut suara itu dengan cara apa saja dan melalui praktek yang hina sekalipun.
Tak hanya itu juga ormas agama dimanfaatkan dengan seenaknya. Terutama oleh para petinggi yang suka bawa nama agama segala. Busuk aroma itu saat pak Mahfud beberkan taktik Said Agil hingga Ma’ruf Amiin. Nama NU sempat disebut dengan gamblang sehingga kita memang percaya kalau ormas agama sejak awal dimanfaatkan untuk kepentingan sesat pengurusnya. Bongkaran cerita pak Mahfud membuat kita jadi maklum jika perkara alih jabatan pengurus ormas jadi rebutan yang dramatik. Mungkin itu sebabnya kita bisa meyakini jika politik kita sedang dalam bahaya.
Pertama para aktornya yang berperan ganda: apa yang dikatakan tak selalu persis sebagaimana yang diperbuat. Apa yang dijanjikan belum menjamin kalau akan dipenuhi. Pada sosok besar seperti pak Mahfud saja janji istana bisa berubah dan omongan politisi dapat berbeda. Apalagi jika itu hanya kerumunan rakyat yang namanya tak dikenal, posisinya tak penting dan urusanya juga tak seberapa. Setidaknya praktek politik kehilangan kemampuan untuk memenuhi sebuah janji.
Kedua dalam prakteknya keputusan politik terpenting dilakukan dengan mekanisme tak terbuka, selalu di luar yang kita duga dan dibiarkan kita meraba apa maksudnya. Seolah urusan politik yang punya konsekuensi publik itu cukup dirundingan dengan sejumlah petinggi lalu tiap warga diberitahu hasilnya. Hampir tak ada alasan yang memadai, masuk akal bahkan bisa diterima dengan sadar kenapa Jakowi memilih KH Ma’ruf Amin dan Prabowo memutuskan Sandiaga Uno. Disana tak dimungkinkan debat argumentatif karena itulah keputusan politik yang harus diterima.
Ketiga praktek politik bisa kehilangan kemampuan untuk empatik. Terutama pada soal prinsip dan mendesak. Cerita pak Mahfud membongkar apa yang selama ini jadi tabiat para petinggi partai hingga pejabat tinggi. Mereka bisa melakukan apa saja jika bersangkut paut dengan kepentinganya dan akan mudah saja untuk mengabaikan apa yang telah dijanjikan. Batas kesetiaan pada nilai-nilai agung tipis bahkan bisa dikatakan tidak ada. Melalui penuturan yang polos dan apa adanya-dari pak Mahfud- kita dapat menyaksikan bagaimana rakyat dikhianati harapanya oleh para pejabat tinggi hingga politisi. Suasana yang membuat politik jadi lebih banyak bertabur manipulasi, mimpi dan keyakinan palsu.
Keempat politik tak membutuhkan kesetiaan pada nilai tapi penyesuaian pada setiap kondisi. Membayangkan cerita pak Mahfud yang ditawari berbagai jabatan kemudian didorong untuk mempercayai apa yang dijanjikan telah menciptakan ruang kosong politik yang namanya: kedaulatan rakyat. Dimana transaksi politik berlangsung tidak di bawah tatapan rakyat tapi persekongkolan yang keji, culas dan menghina. Ringan saja pak Mahfud sebut daftar dosa-dosa politik yang ada di tiap aktor hingga catatan korupsi yang bisa jadi dipakai sebagai ancaman. Politik telah dibenamkan dalam kalkulasi untung rugi bukan lagi adil dan jujur.
Kelima jalanya politik tidak melahirkan agenda progresif tapi mengabadikan status quo. Sama persis ketika Andi Arief membongkar uang mahar yang disetor ke PKS dan PAN. Walau banyak politisi pada partai pendukung Prabowo menyatakan itu dinamika dan lupakan saja: tapi publik masih sedikit banyak bertanya apa memang ‘uang’ telah jadi Tuhan bagi kiprah parpol disini. Disebut Tuhan karena uang jadi penentu keputusan, pendorong dukungan hingga penetapan pencalonan. Kalau begitu memang partai sudah seperti korporasi yang bisnis utamanya adalah memproduksi pemimpin dan senator yang bisa berperan sebagai sales sekaligus pemeras kekayaan alam.
Sulit saya bayangkan kalau politik dijalankan sebagaimana cerita pak Mahfud. Kita bukan hanya sulit memperbaikinya tapi juga ditawan olehnya. Ditawan oleh pilihan politik yang serba dibatasi: tak ada terobosan yang berani, tak mungkin melompat pada mimpi yang tinggi dan sukar percaya kalau kita akan memihak pada kepentingan yang paling lemah. Jika soalnya itu bermuara pada praktek culas yang diperankan oleh para politisi mungkin harapanya bukan memperbaiki tapi kita berdoa semoga mereka secepatnya mati. Tapi berkaca pada Orba kematian Soeharto tak membuat perangai, sikap dan kebijakan yang mirip Orba ikut mati.
Hanya dalam politik kita harus tetap berani mempertahankan gairah untuk melawan. Bukan hanya melawan praktek politik yang culas melainkan akal sehat yang dirampok. Maka ketika saya mendengar kisah kemenangan kotak kosong di kota Makasar saya percaya rakyat tak mudah ditipu. Kita tak mau bernasib seperti pak Mahfud, maka kita juga tak harus bisa tegar seperti dirinya. Waktunya kita untuk mengatakan dan menyatakan terus terang ketika kita kecewa, marah dan kesal. Kita tak ingin politik dijalani dengan janji palsu dan komitmen yang menipu. Kita ingin politik tetap berpusat pada kehendak untuk menunaikan hajat publik dan berorientasi pada pemenuhan prinsip keadilan.
Andai saya ketemu pak Mahfud mungkin saya akan bilang:
‘terimakasih pak anda telah memberitahu pada kami apa yang terjadi sebenarnya. Kami sudah pasti kecewa dan jelas kami menyesal tak bisa membela anda. Tapi melalui keterus terangan bapak kami bisa punya alasan kenapa kami tak lagi percaya. Bukan hanya pada politisi yang anda sebutkan namanya tapi juga pada pernyataan yang diucapkan oleh pihak penguasa. Mungkin hari ini kami bisa memilih untuk bersikap: meniru orang seperti anda atau mengikuti saja orang yang telah menipu anda. Terimakasih pak Mahfud, terimakasih’