Kurban dan Moralitas Zuhud

Jayyidan Falakhi Mawaza – [Pegiat Social Movement Institute, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SUKA dan pegiat literasi di PP Al-Anwar Pacitan]

 

Tidak akan selama-lamanya daging dan darah unta (hewan kurban) itu mencapai (keridhaan ) Allah. Akan tetapi yang dapat mencapainya adalah ketakwaan (ketulusan dan sifat berserah) kalian. (QS. Al-Hajj 37)        

***

Tak lama lagi umat muslim di seluruh dunia kembali merayakan Hari Raya Idul Adha atau di Indonesia dikenal dengan istilah Hari Raya kurban, dimana pada tanggal 10 Dzulhijjah tersebut umat muslim disunnahkan untuk menyembelih hewan kurban yang telah ditentukan menurut syariat Islam.

Secara historis, Idul Adha tergolong  peristiwa yang fenomenal. Perayaan Hari Besar Umat muslim yang dirayakan setiap tahunya ini mengandung makna subtansial atas perjuangan nabi Ibrahim dalam menghadapi batu besar ujian yang merintanginya serta bagaimana cara nabi Ibrahim melewati rintangan batu ujian tersebut sebagai bentuk ketaatanya kepada Allah.

Ketika Ismail putera yang amat diidam-idamkan dan dicintainya itu baru memasuki masa remaja, muncul perintah Allah melalui mimpi untuk menyembelihnya. Sontak saja mimpi tersebut membuat Nabi Ibrahim gelisah, sedih dan tak tega jikalau harus menyembelih anak kesayanganya tersebut.

Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan: mengikuti perasaan hatinya dengan menyelamatkan Ismail atau mentaati perintah Allah dengan mengorbankanya. Ia harus memilih salah satu dari keduanya, cinta atau kebenaran. Cinta yang merupakan hidupnya dan kebenaran yang merupakan agamanya.

Dalam merespon mimpi tersebut muncul keraguan yang menghinggapi batin nabi Ibrahim. Kecintaan kepada Ismail merupakan sumber dari keraguan tersebut. Kecintaanya ini adalah satu-satunya kelemahan dirinya  di dalam perjuangan melawan setan. Ketika manusia memperlihatkan tanda-tanda ketakutan, kelemahan,keragu-raguan, keputus-asaan, kebodohan dan bahkan cinta sekalipun, maka disitulah setan tampil untuk melancarkan tipu daya yang jahat.

Ketika keadaan Ibrahim sedih dan hatinya hancur luluh setan menghampiri Ibrahim dan membisikinya untuk mengurungkan niat menyembelih Ismail. Namun dengan diselimuti keraguan tersebut akhirnya Ibrahim mengambil keputusan tegas dengan mematuhi perintah Allah dengan mengorbankan Ismail dengan menyembelihnya. Namun pada akhirnya Allah mengutus Jibril untuk menggantikan Ismail dengan seekor kibas untuk disembelihkan.

Dari sepenggal kisah Ibrahim dan Ismail diatas, kita hendaknya dapat mengambil beberapa pelajaran yang bijaksana. Bagi kita sekarang “Ismail” itu berupa pekerjaan, kekuasaan, kedudukan, pangkat dan kepuasan nafsu. Setiap kenikmatan yang membuat kita terlena, setiap sesuatu yang menyebabkan kita tidak dapat mendengar dan mengetahui kebenaran serta setiap sesuatu yang merampas kebebasan dan menghalangi untuk melaksanakan kewajiban kita.

Dari kenyataan hidup kita sekarang di era konsumsi yang bukan sekedar merupakan kehidupan yang mengakumulasi material namun juga mengkonsumsi barang-barang dan jasa yang memiliki makna simbolis dan makna idealitis. Kepemilikan atas barang-barang tertentu, tidak bisa dilepaskan dari imajinasi bahwa hal itu merupakan bagian dari gaya hidup.

Dalam era konsumsi ini periklanan memainkan peran penting dalam menjual gaya hidup yang kapitalistis melalui perluasan pasar dan pembentukan citra. Dalam dunia periklanan yang sesungguhnya sudah menjadi kesadaran masyarakat luas, agama saling bersaing untuk memperebutkan umat manusia sebagai target penyadaran.

Namun bagi sutradara iklan yang pintar, mereka tentu bisa mengemas agama menjadi sesuatu hidangan yang menarik agar terasa lebih lezat ketika dinikmati oleh konsumen.Maka tak heran jika barang-barang semiotik agama kini amat diburu dan digemari  karena selain menjadi tanda-tanda kesalehan namun juga berfungsi sebagai tanda prestise pribadi.

Iklan telah membentuk kesadaran palsu (false consciousness) yang hampir sempurna karena tidak ada dialog dan hanya menyediakan “kemimpian”. Namun kesadaran palsu tersebut tidak bisa kita biarkan memasuki relung hati kita. Era konsumsi yang berwajah hedonis dan berwatak kapitalistis ini harus kita lawan dengan menciptakan dikalangan masyarakat sendiri kekuatan moralitas yang resisten terhadap gaya hidup yang tidak manusiawi. Moralitas tersebut bisa dibilang dengan moralitas zuhud.

Moralitas zuhud ini selalu dimiliki oleh orang-orang yang kreatif dan aktif untuk selalu melakukan tawar-menawar serta mencari hakekat tentang apakah makna sesungguhnya manusia dalam kehidupan ini. Moralitas zuhud hanya dimiliki oleh orang yang makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Hidup di dunia ini bukanlah sekedar mengisi perut lalu tidur, bangun tidur lalu makan lagi layaknya seekor kambing. Akan tetapi hidup di dunia tentunya yang harus  dilakukan adalah mengabdi kepada allah dengan laku shaleh individual dan sosial.

Bukankah baginda Nabi Muhammad berulangkali mengingatkan kita “Makanlah setelah merasa lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Bagi orang miskin tentulah bukan hal yang sulit untuk menahan lapar toh menahan lapar sudah menjadi perjuangan hidup sehari-hari. Namun jika tantangan itu diberikan kepada orang kaya yang selama ini diuntungkan dan berada dalam singgsana kenyamanan dan serba keenakan maukah mereka mengembalikan gaya hidup dengan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup?

Saya kira mengembalikan gaya hidup dengan mengkonsumsi sekedar untuk memenuhi hidup merupakan Jihad Akbar. Sebab sejatinya jihad besar bukanlah perang terbuka secara fisik melainkan perang tertutup melakukan keegoisan nafsu kita sendiri. Dari kisah Ibrahim kita diingatkan untuk menyembelih nafsu-nafsu kebinatangan kita dan senantiasa rela untuk mengurbankan apa yang dicintainya demi meraih keridhaan sang maha pencipta.

Wallahu A’lam bissowab.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0