Oleh: Fajar Grobbelaar
***
Bertahun-tahun silam, seorang sepupu usai pulang dari lawatan laga tandang menceritakan perkelahian yang dilewatinya. Berhias senyum mengembang di wajahnya, dia berujar dengan nada kebanggaan yang tebal, bagaimana bondet [bom ikan] dilemparkan oleh suporter lawan. Dan dia selamat.
Tentu saja, bahan peledak itu sangat berbahaya. Bisa saja memisahkan kaki dan tangan sasarannya. Namun bagi pemuda seusia saya, pada masa itu, cerita sepupu saya ini terdengar menarik dan keren. Lantas bertanyalah saya kenapa dia rela berlaku sampai sejauh itu. Jawabnya singkat dan pelan,
‘Koen lanang opo duduk?’
[Kamu laki-laki apa bukan?]
Pada ‘Men Like Us, Boys Like Them’ [2008], Ramón Spaaij pernah mengulas perihal hooliganisme dan kekerasan dalam sepakbola. Sosiolog asal Universitas Amsterdam ini mendudukan hooliganisme sebagai fenomena kompleks, heterogen dan dinamis.
Menurutnya, hooliganisme mesti dipelajari dalam konteks sosial dan sejarah yang berbeda. Hooliganisme dikontruksi oleh beragam fitur domiman. Ia meliputi gairah emosional, maskulinitas, identifikasi wilayah, reputasi individu dan kolektif, solidaritas serta rasa kepemilikan. Disana juga bersemayam kedaulatan dan otonomi.
Spaaij juga memberi contoh bagaimana hooliganisme lebih jauh berhasil membentuk kode etik, kedisiplinan dan tata krama aktor-aktornya. Seorang anggota Inter City Culé, -sekelompok kecil penggemar FC Barcelona-, mengaku dirinya adalah hooligan. Artinya, dia bersedia terlibat kekerasan.
Walau begitu, menurut pengakuan hooligan asal Catalan ini, dia tidak akan pernah menyerang seorang ayah yang menghadiri laga sepak bola bersama puteranya, bahkan jika itu pendukung Real Madrid sekalipun. Seperti semua bentuk perikatan tradisional lainnya, terdapat cara main yang mesti ditaati pelakunya.
Archetti dan Romero dalam ‘Death and Violence in Argentinian Football’ menyatakan pada kasus kekerasan sepakbola di Argentina tersedia berbagai jenis hubungan saling pertentangan antar fans. Hubungan-hubungan ini menjadi ladang bagi persemaian awal benih firma-firma hooligan. Di Argentina firma-firma punya sebutan khas, Barra Bravas.
Salah satu relasi pertentangan diantara firma hooligan yang paling tradisional ialah derby: persaingan klub satu kota. Semisal Racing Club versus Independiente di Avellaneda. Pun ‘Clasico Rosario’ yang menempatkan Newells Old Boys dan Rosario Central dalam ceruk permusuhan berkarat.
Teritori kota yang berdekatan turut pula menyajikan peta rivalitasnya. Atlanta dan Chacarita Juniors berada dalam garis takdir yang semacam itu. Di Argentina, oposisi paradigmatik antar fans dicontohkan par excellence oleh perseteruan Boca Juniors kontra River Plate.
Ketidakakuran abadi sepasang raksasa Buones Aires ini ditajuki Superclasico. Keduanya merupakan klub dengan basis pendukung keseluruhan negeri, tanpa kecuali mencakup wilayah-wilayah terpencil. Superclasico sendiri mewakili imajinasi popular, pertentangan kelas sosial, mode bermain dan prestasi. Dan tentu saja, disana ada: kekerasan.
Hooliganisme juga sukar dipisahkan dengan politik. Hooligan Lech Poznan sebagai contoh, pada laga Liga Europa dua tahun lalu menegaskan identitas politiknya. Mereka mengadvokasi kampanye xenophobik bersamaan dengan banjir pengungsi di Eropa.
Di Stadion Miejski w Poznaniu mereka memampang spanduk : ‘Ini terang dan sederhana bagi kami. Kami tidak ingin pengungsi di Polandia’. Semangat sakit-sakitan dari ultra nasionalisme juga turut disebarkan hooligan Russia di hajatan Euro edisi terakhir. Kebanggaan jati diri Russia diperagakan lewat cara memukuli pemabuk Inggris yang buncit dan rapuh.
Sementara di negeri kita, hooliganisme serupa urat dari daging sepakbola yang mentah. Barisan suporter garis keras menyebar di hampir seantero klub, dengan kemampuan menakuti, mengkreasi kerusuhan serta talenta menumpahkan darah yang tak perlu diragukan.
Mereka memiliki curriculum vitae yang tak kalah mentereng dibanding saudara-saudari Amerika Latin atau Eropa-nya. Dalam derajat tertentu reputasinya bahkan lebih mengerikan, keji dan sukar diprediksi. Sebuah elan kekerasan yang mewakili kekhasan lokal bernama ‘Amok’.
Tahun demi tahun sepakbola di negeri ini tak letih menyusn kalender obituarinya. Bagaimana kelompok suporter saling menghabisi satu sama lain, tiap peluang itu datang, adalah bagaimana kompetisi sepakbola dijalankan.
Ada yang dipukul besi batok kepalanya, dihabisi di gerbong kereta, dihajar dalam perjalanan pulang atau disudahi tak jauh dari areal stadion. Cerita baku bunuh ini lantas menjalar jadi kudapan tengah malam bagi pemuda-pemuda tanggung di pojokan gang sambil diasapi aroma maskulinitas yang banal. Direproduksi.
Semangat membunuh rutin dinyanyikan di laga kandang, diipandu dirigen yang berdiri tanpa pernah menyadari, kosakata ‘dibunuh saja’ yang terus diulang-ulang masuk ke limbik alam bawah sadar. Ketika klub sepakbola kota kami meraih tropi juara misalnya, bocah-bocah yang kencing pun masih harus diantarkan orang tua, bernyanyi dan mengulang-ulang kata ‘dibunuh saja’ di tepi jalan sambil bergembira menikmati konvoi pameran piala.
Lagu ini boleh saja sudah sirna di beberapa stadion, tapi memorinya terlanjur menancap di kepala. Tumpuk-menumpuk bersama ingatan kekerasan dan kusumat yang tak pernah usai. Lebih dari dua tahun silam, di bilangan Kabupaten, upacara pemakaman seorang suporter yang terbunuh di Sragen dilaksanakan.
Dalam upacara pemakanan, bukan semata ditandai aksi sweeping, tapi juga spanduk di pertigaan jalan yang berbunyi: ‘Nyowo Bayar Nyowo!’. Orang yang meremehkan akan bilang ini hanya gertakan atau emosi sesaat yang kemudian akan mengawan.
Tapi orang-orang yang sama itu akan lekas bungkam demi mengetahui kematian demi kematian suporter ialah hajatan tahunan. Mereka benar-benar mengamalkan ancaman mereka. Bukan omong kosong, sepakbola bola kita memang dahaga prestasi, sekaligus haus darah.
Kecuali kalimat klise di media, otoritas sepakbola negeri ini tidak pernah punya proposal apapun mengenai masalah ini. Satu-satunya minat terbesar mereka pada dunia sepakbola hanya kedudukan, uang dan popularitas. Ketua umumnya sudah sukses pula memenangkan Pilkada.
Lantas anak-anak bangsa terus saja tewas bergiliran di jalanan. Seperti kemarin hari, nyawa seorang fan melayang di Bantul. Muhammad Iqbal, seorang pelajar SMK, meregang nyawa seusai laga PSIM kontra PSS Sleman. Kita berduka, tapi berduka saja tidak pernah cukup!